_Pelukannya mengalirkan sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, bernama nyaman_
“Kamu nggak apa-apa?” Wisnu melepas pelukan secara perlahan.
“Kenapa?” Wisnu menatap dalam kedua mata Dheana yang terlihat basah.
“Nggak.” Dheana mengusap wajahnya dengan ujung kemeja yang dikenakannya. “Kangen Kak Wisnu aja. Aku senang melihat Kak Wisnu sudah sehat.” Dheana tersenyum.
“Sengaja pulang nggak kasih kabar dulu, biar jadi kejutan.” Wisnu mengajak Dheana duduk di sofa.
Tangan gadis itu terlihat gemetar, apakah dia ketakutan?
“Bagaimana keadaan Kak Wisnu?” Dheana ingin tahu kondisi lelaki itu, tapi ia menahannya untuk tidak mengirim pesan atau menghubungi Wisnu terlebih dahulu.
“Sudah sehat?”
“Sudah.”
Dari raut wajahnya terlihat jelas kondisi Wisnu sudah lebih baik.
“Syukurlah. Di jaga pola makannya dan jangan bawa kerjaan ke rumah. Kurang istirahat juga bisa membuat asam lambung naik.”
“Sok tau!” Wisnu mengusap puncak kepala Dheana.
Untuk beberapa saat keduanya saling menatap satu sama lain, hingga perasaan canggung itu muncul.
Wisnu segara melepas tangan dari kepala Dheana, “Kamu pasti lelah, istirahat saja.”
Dheana menganggukkan kepalanya. “Iya. Kak Wisnu juga ya. Jangan tidur malam-malam.”
“Iya.”
Wisnu menatap kepergian Dheana menuju kamarnya. Wanita itu terlihat semakin kurus saja. Selama menjalani pengobatan di rumah sakit beberapa hari, Wisnu pun terpaksa tinggal di rumah kediaman orang tuanya untuk memastikan kondisinya benar-benar baik. Kurang lebih satu Minggu ia tidak melihat wanita kecil itu, hatinya benar-benar dibuat gelisah.
“Aku nggak bisa tidur, sebelum memastikan kamu pulang.” Gumam Wisnu, sebelum akhirnya ia pun masuk kedalam kamarnya.
Aktivitas keduanya kembali normal seperti biasanya. Wisnu pun kembali masuk kantor setelah satu Minggu istirahat.
“Hai, selamat pagi!” Sambutan hangat itu terdengar saat Dheana keluar dari dalam kamarnya. Bukan suara Wisnu, tapi suara Erika. Wanita cantik itu tengah menyiapkan sarapan di meja makan.
“Kak Erika,” Dheana menghampiri Erika.
“Mau sarapan bubur? Aku belikan bubur untuk kalian berdua.” Erika tidak hanya membeli bubur untuk kekasihnya saja, tapi juga untuk Dheana.
“Aku nggak sempat sarapan, mau langsung berangkat kerja. Udah telat.” Dheana melihat jam tangan di pergelangan tangannya. “Hari ini ada banyak pesanan buket bunga. Mbak Ning minta aku berangkat lebih awal.”
“Kalau begitu bekal aja.” Erika mengambil satu bungkus bubur, “Makan di tempat kerja.”
Layaknya perhatian seorang kakak pada adiknya, Erika pun membungkus bubur yang masih berada dalam styrofoam berwarna putih. “Masih hangat ko,” lanjutnya.
“Terimakasih, Kak.”
“Sama-sama.”
Dheana mungkin mudah terharu dan luluh mendapat perhatian sekecil apapun, hal tersebut terjadi karena ia kekurangan kasih sayang sejak kecil. Hadirnya sosok Erika dan Wisnu seolah menutup lubang kosong dalam hatinya.
“Makan yang banyak, sayang.” Erika menyiapkan sarapan untuk Wisnu.
“Jangan makan aneh-aneh dulu, apalagi kopi. Ingat lambung kamu udah mulai kolokkan.”
Wisnu tersenyum. “Iya, bawel.”
“Aku bukannya bawel, tapi aku sayang.” Erika mengalungkan satu tangannya di lengan Wisnu. “Kalau nggak sayang nggak mungkin perhatian kayak gini.”
Wisnu menjitak kening Erika. “Iya.” Balasnya.
“Kamu sayang aku juga, kan?”
“Iya.”
Wisnu menganggukkan kepalanya.
“Minggu depan Papih dan ayah minta ketemu. Gimana, bisa kan?”
Sudah lama Wisnu tidak bertemu keluarga Erika. Lebih tepatnya bertemu untuk membahas beberapa hal penting.
“Nanti tanya Ayah dulu,”
“Nggak harus sama Ayah. Kamu sendiri dulu, nggak mungkin juga Papih langsung tanya kapan kita lamaran.”
Jika dulu, Wisnu begitu bersemangat untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius, tapi saat ini semangat itu seakan surut secara perlahan. Bahkan Wisnu tidak tahu alasan yang membuat semangat itu tiba-tiba pudar.
Untuk saat ini ia belum menemukan alasan untuk hatinya yang mulai ragu, Wisnu pun mengiyakan ajak Erika untuk bertemu orang tuanya. Wisnu sudah bertemu mereka berapa kali, bahkan hubungannya sudah sangat baik, tidak ada lagi canggung diantara mereka. Jika hanya pertemuan biasa, tentunya ia tidak perlu mempersiapkan apapun.
Satu Minggu terlewati membuat banyak pekerjaan tertunda dan semakin banyak. Beberapa proyek tidak bisa dikerjakan orang lain, dan hanya dirinya yang bertanggung jawab menyelesaikan.
“Liburnya kelamaan, betah amat nginep di rumah sakit.” Mas Gian menghampiri Wisnu, lelaki berkacamata tebal yang baru saja memiliki anak itu ditugaskan untuk membantu Wisnu.
“Betah dong, mas. Di sana perawatnya cantik-cantik.” Wisnu mengerling jahil.
“Cuman tiduran aja, ada perawant yang sediain segalanya, gimana nggak betah coba.”
Erika yang ada di tempat itu pun langsung menatap tajam.
“Wah,, Wisnu mulai bernai nih! Punya banyak nyawa kayaknya dia.” Balas Mas Gian.
“Perawat kasih aku dua nyawa lagi, Mas. Jadi aku punya banyak nyawa cadangan.”
“Dasar!”
Mas Gian dan Wisnu bekerja sama untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang terbengkalai akibat sakit. Beruntung lelaki itu selalu bisa diandalkan.
“Dengar-dengar Iskan nitipin adenya sama kamu ya?” tiba-tiba Mas Gian bertanya.
“Iya. Mas Gian tau dari siapa?” Wisnu tidak pernah menceritakan apapun tentang Dheana, termasuk pada rekan kerjanya di kantor.
“Jeje yang bilang.”
Wanita yang kerap berpenampilan seperti lelaki itu memang seperti cctv berjalan. Apapun berita yang sedang terjadi, wanita itu tahu segalanya.
“Oh, pantesan. Dia memang cctv berjalan, apapun beritanya pasti tahu.”
“Kucing basement beranjak aja dia tahu.” Mas Gian mengiyakan, julukan untuk wanita tomboy itu.
“Tapi, kenapa Iskan nitipin adenya sama kamu. Padahal dia masih tinggal di Jakarta.”
Seketika Wisnu menoleh. “Masa sih, Mas.”
Gian menganggukkan kepalanya. “Iya. Memangnya kamu nggak tahu?”
“Iskan pindah ke Penang, untuk pengobatan ibunya.”
“Mau aja dikibulin si Iskan,” Gian tersenyum penuh arti. “Tu anak masih tinggal di Jakarta. Cuman kalau soal ibunya aku emang nggak tahu, mungkin iya, sedang menjalani perawatan di Penang.”
Wisnu tidak mungkin meragukan ucapan Mas Gian. Lelaki yang terkenal dengan kejujurannya itu tidak mungkin berbohong.
“Kalau nggak percaya, kamu bisa cari tahu sendiri. Jeje tahu dimana tempat tongkrongan si Iskan.”
Masih diliputi rasa tidak percaya, Wisnu bingung harus bersikap seperti apa.
“Jeje bilang si Iskan sering nongkrong di salah satu Bar ternama, kamu bisa pastiin kesana.”
Wisnu menganggukkan kepalanya. “Nanti tanya Jeje,” balasnya.
“Si Iskan ini sedikit mencurigakan, nitipin adenya sama kamu padahal dia masih tinggal di Jakarta.”
Bukan hanya Gian, Wisnu pun merasa aneh jika benar lelaki itu masih tinggal di Jakarta, kenapa ia tidak menjemput Dheana.
Karena penasaran, saat berpapasan dengan wanita tomboy yang kerap disapa Jeje, Wisnu langsung menghampirinya.
“Je,” panggil Wisnu.
Jeje langsung menoleh, “Iya. Kenapa, Nu?”
“Mau ngobrol bentar ada waktu nggak?”
Mereka bekerja di divisi yang berbeda, kesibukan yang mereka lakukan pun jelas berbeda.
“Boleh. Ada dua puluh menit, sebelum meeting keluar.”
“Oke, sebentar aja.”
Wisnu dan Jeje pun mencari tempat yang bisa mereka gunakan untuk bicara. Setelah menemukan tempat duduk, Wisnu pun langsung menanyakan beberapa hal inti yang ingin diketahuinya.
“Kamu tahu Iskan ada di jakarta?”
Jeje menganggukkan kepalanya. “Dia memang masih tinggal di Jakarta. Tapi ibunya nggak tau tinggal dimana.” Jeje sepertinya sudah tahu arah dan maksudmu pembicaraan Wisnu.
“Dimana kamu sering lihat Iskan?”
“Aku kasih alamatnya,” Jeje menyebutkan alamat salah satu Bar yang cukup terkenal di jakarta.
“Biasanya dia nongkrong di sana.”
Tempat yang tentu saja tidak diketahui Wisnu. Selama mengenal baik Iskan, mereka memang kerap menghabiskan waktu di sebuah bar atau cafe, tapi nama Bar yang disebut Jeje masih terdengar asing bagi Wisnu.
“Nggak setiap malam dia ada di sana. Hanya di waktu-waktu tertentu saja. Paling seiring Sabtu dan Minggu sih.” Jelas Jeje.
“Memangnya kalian udah nggak pernah ketemu lagi?”
Wisnu menggelengkan kepalanya. “Nggak. Terlahir dia bilang masih di Penang.”
“Kamu cuman dimanfaatin doang,Nu. Dianggap panti asuhan sama si Iskan.”
Kening Wisnu mengerut, tidak mengerti dengan ucapan Jeje.
“Dititipi adik, tanpa harus mengeluarkan uang, apa namanya kalau bukan panti asuhan? Mau aja sih dimanfaatin si Iskan.” Jeje tertawa, berbanding terbalik dengan suasana hati Wisnu saat ini yang mulai merasa kesal dan marah atas kebohongan yang dilakukan Iskan, yang sudah dianggapnya sebagai teman baik.
“Si Iskan itu licik, selain manfaatin kamu, dia juga sering godain si Erika. Udah tau Erika pacar temennya, tapi masih aja sering caper. Aku ngomong kayak gini bukan iri ya, tapi kasihan aja sama kamu dan Erika. Iskan itu lebih mirip musuh dalam selimut.”
Wisnu jauh lebih lama mengenal Iskan dibandingkan hubungannya dan Erika. Mereka berteman bukan hanya satu atau dua tahun, tapi sudah sangat lama. Ibaratnya Wisnu sudah sangat percaya pada lelaki itu, mereka tidak hanya saling membantu saat susah saja tapi mereka sudah seperti hubungan saudara. Saat Iskan mendapat masalah, dimana ibunya didiagnosa menderita penyakit ganas, Wisnu kerap membantunya. Entah dalam bentuk materi atau apapun, termasuk bersedia menampung Dheana di rumahnya sebagai salah satu bentuk kepeduliannya pada teman. Tapi jika ternyata kebaikannya hanya dimanfaatkan, Wisnu merasa sangat kecewa. Tapi sebelum mengetahui kejadian yang sebenarnya, Wisnu haru memastikan dulu keberadaan Iskan. Benarkah lelaki itu ada di jakarta dan tidak benar-benar pindah ke Penang.
“Kamu yakin mau kesana untuk membuktikan? Bisa saja Jeje salah lihat.”
Wisnu menceritakan apa yang diketahuinya tentang Iskan pada Erika.
“Jeje bisa saja salah lihat, tapi nggak ada salahnya untuk membuktikan sendiri.”
Wisnu tetap bertekad untuk membuktikannya, benar atau tidaknya ucapan Jeje akan segera diketahuinya nanti.
“Kamu nggak ikut, nggak apa-apa. Aku bisa sendiri.” Melihat keraguan di wajah Erika, membuat Wisnu sedikit kecewa. Erika tidak merasa penasaran seperti yang dirasakannya.
“Kamu juga sering dapat bunga dari Iskan, kan?”
“Apa maksudnya?” Erika balik bertanya, selama ini ia berusaha menutupinya bukan karena sengaja ingin merahasiakan perasaan Iskan untuknya. Tapi Erika ingin menjaga hubungan baik yang sudah terjalin diantara kedua lelaki itu. Ia sengaja tidak mengatakan apapun, meski Iskan kerap menunjukkan perhatiannya bahkan lelaki itu pernah beberapa kali mengungkapkan perasaannya.