_Ingin menghindar, tapi kenyataannya aku justru semakin membutuhkanmu_
Pulang larut malam, setelah mengantongi uang sebesar dua ratus ribu rupiah. Jumlah yang sangat sedikit dibandingkan Sri yang bisa mengantongi uang sebesar lima ratus ribu rupiah. Dheana masih dianggap pemula, ia tidak bisa menjual banyak minuman pada tamu. Selain itu juga Dheana merasa tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakannya, minim dan sangat terbuka.
“Besok targetnya harus ditingkatkan lagi, Dhe. Kalau penghasilannya di bawah dua ratus ribu, Lo bakal rugi.” Ucap Sri sesaat setelah ia mengantar Dheana sampai ke depan rumah Wisnu.
“Aku nggak nyaman,” jujur Dheana. “Tangannya pada nggak mau diem.” Keluhnya.
Tidak dipungkiri saat pengunjung memanfaatkan kesempatan untuk memegang bagian tubuh Dheana. Misal lengan, wajah atau nyaris memegang area sensitifnya seperti d**a. Hal tersebut ternyata dianggap wajar, tapi tidak dengan Dheana yang merasa sangat terganggu dengan sikap para tamu.
“Cuman pegang, nggak bakal bikin badan Lo lecet. Udah masuk sana, tidur. Besok Lo harus kerja lebih semangat lagi. Ingat, Ibu butuh banyak biaya, Dhe.”
Dheana tidak menjawab, ia hanya mengangguk saat motor yang dikendarai Sri perlahan pergi meninggalkan area rumah Wisnu.
Fakta bahwa ibu memang membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya, juga karena Dheana mulai merasa tidak nyaman tinggal satu rumah dengan lelaki itu membuatnya terpaksa menerima tawaran kerja Sri. Pantas saja gaji yang ditawarkan cukup besar, nyaris dua kali lipat gaji di toko bunga milik Bening tapi ternyata resikonya pun jauh lebih besar.
Dheana tidak mungkin mundur, ia akan tetap bekerja di tempat itu sampai akhirnya ia bisa mengumpulkan banyak uang dan menyusul ibu ke Penang.
Situasi rumah sepi, beberapa lampu sudah dalam kondisi gelap. Sepertinya Wisnu sudah berada di dalam kamarnya dan mungkin saja lelaki itu sudah berada di alam mimpi.
Dheana sengaja menerima tawaran kerja di Minggu ini, sebab Wisnu dalam keadaan sibuk. Jika sudah dalam mode sibuk, lelaki itu kerap banyak menghabiskan waktu di dalam kamarnya dan hanya sesekali saja keluar untuk mengambil air atau makanan di dalam lemari pendingin. Satu Minggu ini Dheana bisa pulang tengah malam dengan leluasa, setelah memastikan Wisnu sibuk. Tapi Dheana tetap harus mengantisipasi kemungkinan lelaki itu menyadari keterlambatannya, dimana Dheana harus bisa memberikan alasan yang bisa membuat Wisnu percaya.
Esok paginya, Dheana bangun lebih awal untuk mencuci pakaian. Selain itu ia pun memiliki tugas membersihkan ruang depan yang sudah terlihat sangat kotor.
“Kak Wisnu,” Dheana terkejut melihat sosok lelaki itu sudah berada di ruang kerjanya. Seharusnya ia masih berada di dalam kamarnya, apalagi waktu masih menunjukkan pukul lima pagi.
Beberapa kali Wisnu mengusap, sepertinya lelaki itu masih ngantuk.
“Semalam pulang jam berapa?” Tanya Wisnu.
“Kenapa nggak bilang pulang telat.” Tatapannya penuh selidik, menuntut penjelasan.
“Dari rumah teman.” Jawab Dheana. Ia menghindari tatapan Wisnu, takut lelaki itu menyadari kebohongannya.
“Ngapain?” Satu alisnya terangkat.
“Bantuin buat catering. Kebetulan ibunya buka Usaha catering.” Bohongnya.
“Siapa?” Wisnu tidak akan mudah percaya begitu saja. Dia lelaki dewasa, bukan lagi remaja labil yang mudah percaya hanya dengan alasan sederhana seperti itu.
“Sriyani.”
“Sriyani?” Dari ekspresi yang ditunjukkannya, sepertinya Wisnu tidak mengenal sosok wanita yang namanya baru saja disebut Dheana.
“Iya. Teman lama, kami sangat akrab.” Dheana memanfaatkan situasi dengan berusaha meyakinkan Wisnu.
“Namanya nggak asing, tapi nggak ingat yang mana wajahnya.”
Akan lebih baik Wisnu memang tidak mengenal sosok Sri. Akan sangat berbahaya jika sampai diketahuinya.
“Kak Wisnu pasti nggak kenal, kapan-kapan aku kenalkan.”
“Beneran kerja di sana? Maksudnya ikut kerja di catering?”
“Iya. Jadi mulai hari ini dan seterusnya, aku pulang malam. Kak Wisnu nggak usah tunggu aku, mungkin saja dalam waktu dekat aku cari rumah kontrakan supaya nggak repot bolak-balik ke sini.”
Tatapan lelaki itu berubah tajam.
“Kamu boleh kerja sampai larut malam atau kalau kuat bisa sampai pagi, tapi kamu tetap tinggal di sini sampai Iskan dan ibumu kembali.” tegasnya.
“Tapi, kak.”
“Nggak usah nyuci, mau di bawa ke laundry. Cucian kamu nggak bersih.” Wisnu beranjak dari tempat duduknya, melewati Dheana dengan tatapan dan ekspresi kesal.
Dheana tidak bisa mencegah, ia hanya menatap kepergian lelaki itu dengan tatapan sedih.
Wisnu benar-benar memasukan pakaian kotor miliknya ke dalam kantong plastik, rencananya ia akan membawa pakaian tersebut ke laundry terdekat.
Bukan karena Dheana tidak bersih mencuci pakaiannya, hingga akhirnya Wisnu kembali memilih jasa laundry untuk solusi pakaian kotornya. Bukan juga bermaksud untuk menyinggung Dheana dengan mengkritik hasil kerjanya, tapi karena ia merasa kesal saat Dheana mengungkap keinginannya untuk tinggal di tempat lain.
Kenapa ia merasa begitu kesal?
Seharusnya ia membiarkan wanita kecil itu pergi saja, dengan begitu ia tidak akan lagi merasa khawatir atau melakukan hal konyol seperti bolak-balik ke toko bunga hanya untuk memastikan apakah Dheana sudah pulang atau belum.
“Bete banget sih, kenapa?” Erika datang menghampiri, saat Wisnu berada di pantry untuk membuat kopi. Suasana hatinya benar-benar kacau apalagi setelah melihat Dheana pergi begitu saja tanpa menghiraukan keberadaannya. Seharusnya dirinyalah yang bersikap seperti itu bukan dia.
Tapi situasinya justru terbalik, membuat paginya begitu menyebalkan.
“Belum sarapan, laper.” Ia berusaha tersenyum.
“Mau sarapan apa? Aku beliin mau?” Erika selalu bersikap baik dan perhatian, ia kerap meluangkan waktu hanya untuk mengatur jadwal makan Wisnu setelah ia didiagnosa memiliki penyakit asam lambung. Begadang dan kopi adalah satu paket lengkap yang tidak bisa dipisahkan, Wisnu kerap mengkonsumsi minuman berkafein itu secara berlebihan.
“Mau bubur ayam Mas Tejo?” Salah satu menu sarapan favorit Wisnu.
“Boleh. Tapi kamu juga harus ikut sarapan.”
Erika menganggukkan kepalanya, lantas memesan bubur tersebut secara online. Lokasinya memang tidak jauh dari area kantor, hanya butuh berapa menit saja, tapi Erika selalu memesan secara online dan akan meminta bantuan OB untuk mengambilnya.
Ketulusan dan kebaikan Erikas sudah dirasakannya sejak lama. Hubungan yang sudah dijalani sejak beberapa tahun lalu pun semakin menunjukkan keseriusan. Wisnu memang berencana untuk melamar Erika dalam waktu dekat hanya tinggal menunggu persetujuan pihak keluarga saja. Tapi semenjak kehadiran Dheana di hidupnya, ia merasa Erika bukan lagi prioritas utama. Ia kerap mengkhawatirkan Dheana, dimana wanita itu tidak memiliki hubungan saudara apalagi hubungan lainnya, tapi ia merasa begitu khawatir.
Wisnu sadar ia sudah terlalu berlebihan mengkhawatirkan wanita kecil itu hingga ia mengabaikan Erika, calon istrinya.
“Maaf, akhir-akhir ini sering sibuk.” Wisnu meraih tangan Erika, mencium punggung tangannya dengan lembut.
“Nggak apa-apa. Aku tahu kamu sibuk karena pekerjaan, aku bisa maklum. Tapi kalau sibuk karena hal lain, aku marah ya.”
Wisnu tersenyum. “Sibuk karena kerja ko, bukan karena hal lain.” bohongnya.
Kebohongan yang mungkin bisa disembunyikan untuk saat ini.