13. Tidur bersama

1520 Kata
_Acuh adalah salah satu bentuk pertahananku, aku takut tidak bisa mengendalikan diri, dihadapanmu_ Hari kedua dan seterusnya berjalan lancar. Dheana tidak menganggap lancar dalam artian baik. Tapi setidaknya sampai hari ini tidak ada lelaki hidung belang yang berani menyentuhnya lebih dari menyentuh wajah. Saat seorang tamu menyentuh wajah, Dheana terpaksa harus menganggap biasa. Perlakuan tidak menyenangkan itu pun harus diiringi senyum, setelahnya ia akan mendapatkan satu lembar uang seratus ribu. Apa bedanya dengan menjual diri, hanya saja tingkat keberaniannya saja belum sampai tahap membuka pakaian dan bertelanjang di depan laki-laki itu. “Lumayan, kan?” Sri menghampiri, sesaat setelah keduanya hendak pulang. Jam kerja masih berlanjut, bahkan beberapa pekerjaan memilih bekerja sampai pagi. Tapi Dheana selalu pulang di jam dua belas malam. “Nggak pulang?” Dheana balik bertanya. “Hari ini sampai subuh. Lo mau coba? Bayarannya besar, di jamin Lo bisa cepat kaya dan nggak perlu lagi numpang hidup pada orang asing.” Tidak semudah itu pindah rumah dari kediaman Wisnu. Lelaki itu memang tidak seperhatian biasanya, saat Dheana pulang pun Wisnu sudah berada di dalam kamarnya. Keduanya jarang bertemu, tinggal satu rumah tapi tidak pernah bertegur sapa. “Mau coba kerja sampai subuh? Tips nya nggak cuman satu lembar, tapi bisa tiga sampai empat lembar satu kali antar minuman. Lo nggak tergiur?” Godanya. Dheana dengan mantap menggelengkan kepalanya. “Nggak, segini udah cukup.” Ia mengacungkan empat lembar uang seratus ribuan, “Sehari segini kali sebulan aja udah lebih dari cukup untuk menutupi biaya hidup.” Dheana mengganti pakaiannya, seragam sialan itu harus segera dilepaskan dari tubuhnya dan menggantinya dengan pakaian longgar kesukaannya. “Bukan kaya yang kucari, tapi cukup. Aku pulang duluan, ya?” Sri hanya menganggukkan kepalanya saja, membiarkan Dheana pulang sendiri tanpa dirinya. Beberapa hari ini Sri kerja sampai pagi, sementara Dheana masih tetap pada pendiriannya pulang jam dua belas malam. Dengan menggunakan ojek online, Dheana pulang. Sama seperti malam-malam sebelumnya situasi rumah sepi saat ia pulang. Dheana menoleh ke arah kamar Wisnu, pintu kamarnya tertutup rapat bahkan lampu kamarnya pun gelap. Rasanya semakin tidak nyaman, apalagi setelah lelaki itu bersikap acuh padanya. Tapi situasinya tidak mudah jika ia pergi begitu saja tanpa persetujuan Wisnu, bagaimanapun juga lelaki itu amat berjasa selama ini. Dheana enggan di cap tidak tahu diri, cukup Iksan sana yang selalu menganggapnya seperti itu. Bekerja di bar sampai larut malam kerap membuat Dheana melupakan jam makan. Hingar bingar dunia malam, asap rokok, minuman beralkohol, membuat nafsu makan Dheana turun drastis. Dheana menatap dirinya pada pantulan pintu lemari pendingin, ia memperhatikan celana yang dikenakannya malam ini terlihat semakin longgar saja. Bukan karena celana tersebut kehilangan elastisitasnya, tapi karena Dheana kehilangan beberapa kilo berat badannya. “Lama-lama aku mirip anak sekolah SD.” Keluhnya, menatap prihatin pada dirinya sendiri. “Makin susah aja cari jodoh.” Dheana membuka lemari pendingin, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Wisnu memang tidak pernah membiarkan lemari pendingin kosong. Lelaki itu kerap mengisinya dengan berbagai jenis buah, sayur, daging dan makanan siap saji lainnya. Tapi Dheana tidak berani menyentuh apalagi sampai memasak tanpa seizin lelaki itu. Akhirnya yang dilakukan Dheana hanyalah mengambil dua lembar sayur sawi dan satu butir telur. Mie rebus adalah jalan ninja untuk mengembangkan kembali bentuk tubuhnya. Mitosnya sih seperti itu, tapi pada kenyataannya Dheana tidak akan terlihat gemuk, meski mengkonsumsi mie instan setiap malam. Ponselnya berdering saat Dheana hendak menikmati mie instan buatannya. Nama Erika muncul di layar ponselnya. Ada apa wanita itu menghubunginya di waktu seperti ini. Dheana pun segera menerima panggilan Erika dengan tergesa. “Kenapa Kak?” Pasti ada hal penting yang membuat wanita itu menghubunginya di jam satu malam seperti saat ini. “Dhe, kamu dimana? Sudah pulang?” Tanya Erika dengan nada khawatir. “Sudah, aku di rumah. Kenapa kak?” “Ke kamar Wisnu sekarang, tolok cek bagaimana keadaannya. Aku nggak bisa ke situ, ada acara keluarga di luar Jakarta. Besok pagi aku baru sampai di Jakarta,” meski tidak terlihat secara langsung tapi Dheana bisa merasakan kekhawatiran yang dirasakan Erika. “Pintu kamar Kak Wisnu tertutup.” “Buka aja. Dia nggak pernah kunci pintu kamarnya.” Dheana ragu, “Kak Wisnu nggak bisa di telpon?” “Nggak bisa, Dhe. Dari tadi aku coba telepon tapi nggak diangkat. Takut Wisnu kenapa-kenapa, siang tadi dia ngeluh sakit perut. Takut lambungnya kumat.” “Oh gitu,” Dheana menatap ragu ke arah pintu kamar Wisnu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana, tapi bukan berarti lelaki itu sudah berada di alam mimpi, bagaimana jika ia tergelak tidak sadarkan diri. “Kesana sekarang.” Perintah Erika. “Pastikan dia baik-baik saja, aku nggak tenang. Tolong, Dhe.” Mohon Erika. “Aku takut,” “Lebih takut lagi kalau Wisnu sampai pingsan disana. Kamu pastikan dulu, jika kondisinya baik, kamu hanya perlu keluar lagi.” Dheana beranjak dari tempat duduknya, mendekati kamar Wisnu. “Segera kabari aku, Dhe. Aku khawatir banget.” Wisnu memiliki riwayat asam lambung yang cukup parah. Pola makan yang tidak teratur, kurangnya jam istirahat kerap membuat penyakitnya kumat. Dan satu Minggu ini ia disibukkan dengan banyaknya pekerjaan, yang menuntutnya bekerja lebih keras lagi ditambah dengan jam makan yang tidak teratur. Sambungan terputus, saat Dheana berjalan perlahan menuju kamar Wisnu. Dengan ragu ia memegang gagang pintu, membukanya dengan sangat hati-hati. Benar saja pintu tersebut tidak terkunci. Bau maskulin langsung tercium saat pintu terbuka sedikit, bau khas Wisnu. Lampu dan situasi kamar sunyi, tidak ada suara apapun. “Kak Wisnu,” panggilan Dheana. Ia masih berada di ambang pintu, tidak berani lebih dekat lagi. “Kak Wisnu,” panggilnya untuk yang kedua kali. Gumaman terdengar tidak jelas, tapi suara itu berasal dari atas tempat tidur, bahkan Dheana melihat pergerakan yang tidak bisa dipastikan sebab lampu masih dalam keadaan mati. “Kak Wisnu sakit?” “Aku butuh obat,” Suaranya serak dan berat. “Air,” lanjutnya. “Kak Wisnu sakit?” Dheana segera mencari saklar lampu, agar bisa melihat apa yang terjadi. Lampu menyala, pandangan pun terlihat jelas saat ia menatap sosok lelaki yang terlihat pucat duduk di tepian tempat tidur. Rambutnya acak-acakan, lengkap dengan kedua mata sayu. Wisnu sakit. “Kak Wisnu sakit?” Dheana segera mendekat, kali ini tidak ada keraguan yang menahannya, tapi justru khawatir. “Kak Wisnu sakita apa?” Dheana segera menempelkan punggung tangannya di kening Wisnu. “Demam.” Ia pun memegang wajah dengan kedua tangannya. Kening, wajah dan leher Wisnu panas. “Udah makan? Obatnya dimana? Biar aku ambilkan.” Wisnu tersenyum samar melihat bagaimana wanita itu terlihat khawatir. “Ayo, keluar. Nafasku sesak di dalam kamar.” “Ayo,” Dheana mengulurkan tangannya hendak menggandeng Wisnu. “Nggak usah so, badan kamu kecil. Nggak akan kuat gandeng aku.” “Kak Wisnu pusing? Kalau pusing disini aja, aku ambilkan obat dan makanannya.” “Nggak.” Tolak Wisnu, ia berdiri dengan perkelahan. “Aku masih sanggup berjalan, Dhe. Aku cuman demam bukan lumpuh.” Dheana memperhatikan setiap langkah lelaki itu, mengikutinya dari belakang, menuju ruang depan televisi. “Duduk disini ya, aku ambilkan minum.” Dheana berjalan cepat mengambil air minum. “Udah makan belom?” Wisnu menggelengkan kepalanya. “Belum.” “Mau makan apa?” “Kamu punya apa?” Wisnu balik bertanya. “Mie rebus, tapi Kak Wisnu nggak boleh makan mie. Lagi sakit,” Tidak mungkin menghidangkan makanan siap saji seperti itu pada seseorang yang sedang dalam kondisi sakit. “Mau bubur, aku buatkan.” “Nggak usah, kelamaan. Masak apa aja yang cepet, jangan yang ribet dan lama. Aku lapar.” Dheana menganggukkan kepalanya, segera menuju dapur dan membuat hidangan dengan waktu secepat mungkin. Menu andalan nasi goreng. Setidaknya itu lebih baik dibandingkan mie rebus. “Kamu nggak makan?” Tanya Wisnu, sesaat setelah Dheana membawakan nasi goreng. “Lagi makan,” “Makan disini.” Dheana mengambil makanan miliknya yang sudah tidak jelas bentuknya. Mie rebus yang semula berkuah, berubah menjadi mie goreng dengan ukuran mie sebesar cacing. “Masih enak,” ucapnya sebelum lelaki itu protes. “Masakan kamu juga enak,” Wisnu berusaha menelan makanan dengan susah payah. “Agak asin dikit.” “Buru-buru, kukira gula tahunnya garam.” Dheana mengakuinya. Usai menyiapkan makanan, ia pun mengambil obat dan langsung memberikannya pada Wisnu. “Abis minum obat tidur, Kak.” Wisnu menganggukkan kepalanya. Ia tidak berniat kembali ke dalam kamarnya, merebahkan diri di atas sofa jauh lebih baik. “Mau aku ambilkan selimut?” “Boleh. Kayaknya enakan tidur di sini.” Dheana segera menuju kamar Wisnu untuk mengambil selimut dan bantal. Tapi tidak hanya untuk Wisnu tapi untuknya juga. “Kamu, ngapain?” Wisnu menatap heras. Saat melihat Dheana menaruh bantal di atas karpet bulu. “Tidur disini.” “Ngapain?” “Nemenin kak Wisnu. Siapa tahu nanti butuh minum atau mau makan lagi.” Wisnu mengerutkan keningnya. “Malam ini kita tidur bersama.” Dheana tersenyum, lantas merebahkan tubuhnya. “Selamat malam, Kak. Kalau butuh apa-apa bangunin aja ya,” Hanya dalam hitungan menit suara dengkuran halus terdengar. Rupanya Dheana sudah terlelap. Wisnu hanya menatap dan tersenyum ke arah Dheana, ia pasti sangat lelah setelah seharian bekerja dan harus membantunya menyiapkan makanan sampai pukul dua pagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN