3

965 Kata
~Tersenyum dalam tangis adalah hal paling menyakitkan dalam hidup~ *** Zahira segera mengusap wajahnya yang banjir air mata saat dia mendengar gedoran keras dari luar kamar mandi. Zahira tau itu pasti ulah Arkan karena selain menggedor keras dia juga berteriak menyuruhnya keluar dengan segera. "Nggak usah caper dengan air mata itu karena sampai kapan pun saya tidak akan peduli dengan kamu!" Luka yang tadi pagi Arkan torehkan belum sembuh, tapi dia kembali menusuk hatinya dengan kata-kata yang lebih menyakitkan. Zahira tetap diam, dan harus membiasaan diri dengan segala sikap kasar Arkan. Saat dia melangkah melewati suaminya yang berdiri di ambang pintu, telinganya mendengar suara peringatan yang cukup serius dari Arkan. "Jangan keluar kamar sebelum saya perintah! tutupi semua kesedihan kamu dan tersenyum lah di hadapan keluarga saya!" Setelah mengucapkan itu Arkan langsung masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan kasar. Lutut Zahira terasa lemas dan terduduk di lantai setelah sosok Arkan tak terlihat di hadapannya. Air mata yang dia tahan-tahan dari tadi kembali meluncur bebas. Bagaimana caranya dia bersandiwara di depan semua orang sedangkan dia bukan pemain film yang sangat pandai merubah keadaan yang penuh kesedihan menjadi penuh kebahagiaan. Zahira tekankan lagi, dia hanyalah seorang istri bukan seorang pemain film yang pandai bersandiwara di depan semua orang. Tuhan ... tolong berikan kekuatan pada hamba-Mu yang lemah dan tak berdaya ini. ** Arkan dan Zahira tak saling sapa sama sekali meski mereka berada dalam ruangan yang sama. Zahira menunggu Arkan bersiap di atas sofa sambil diam-diam mencuri pandangan pada suaminya yang sedang merapikan rambutnya yang di cukur rapi. "Kenapa lihat-lihat?!" Zahira buru-buru menundukkan kepalanya saat Arkan mulai bersuara lagi. "Ayo keluar, katakan pada semuanya kalau kita baik-baik saja dan jangan sekali-kali kamu menunjukkan ekspresi kesedihan apalagi air matamu yang tidak berharga!" Zahira mengangguk samar dan mengikuti langkah Arkan di belakangnya. Tapi saat mereka keluar dari kamar tiba-tiba Arkan meraih tangannya dan menggenggamnya sampai mereka sampai di meja makan yang sudah dipenuhi orang, salah satunya ibunya yang kini menunjukkan senyum bahagia yang jarang sekali dia lihat. "Maaf kami telat." Arkan menarik kursi untuk Zahira yang berada di samping kursinya layaknya sepasang pengantin baru yang sangat bahagia dan harmonis. Sandiwara Arkan benar-benar keren sampai semua orang takjub melihat tingkahnya uang sangat romatis pada Zahira. "Nggak apa-apa sayang, kita juga baru kumpul kok," jawab Maya dengan senyuman yang tak kalah lebar. Arkan menyapa dengan lembut pembantu rumahnya yang kini berstatus sebagai ibu mertuanya. "Nak Arkan, ibu titip Zahira tolong beri dia kebahagian dan kasih sayang yang berlimpah karena Zahira sudah menjadi milikmu sepenuhnya." Zahira ingin menangis lagi saat melihat ibunya terlihat sangat mengandalkan Arkan dan menaruh harapan besar pada dia. Zahira benar-benar tak akan sanggup jika suatu saat ibunya mengetahui yang sebenarnya, pasti batinnya akan langsung terguncang dan sangat sedih. "Jangan sekali-kali menyakiti hati istrimu Arkan karena sekali saja kamu menyakiti-nya jangan harap pintu surga akan terbuka untukmu." Ardi sangat sungguh-sungguh saat mengatakan ini karena dia adalah salah satu pria yang sangat menghormati dan memuliakan seorang wanita terutama istrinya. Arkan tersenyum dan mengangguk seakan tidak terjadi sesuatu hal yang buruk dengan pernikahannya dengan Zahira. "Rara, kok kamu diam aja, biasanya kan kamu paling suka meramaikan suasana." Zahira langsung mendongak dan bingung mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Maya. "Semenjak masuk pondok Rara udah nggak cerewet seperti dulu lagi, bu Maya." Mendengar jawaban ibunya Zahira langsung bernafas lega dan berterimakasih sebanyak-banyaknya di dalam hati. "Ngobrolnya dilanjut nanti lagi sekarang kita haru sarapan dulu." Arkan memberi kode pada Zahira untuk melayaninya layaknya seorang istri pada umumnya karena rencananya dari awal adalah membuat semua keluarganya yakin kalau dia dan Zahira baik-baik saja jadi dia bisa dengan mudah meminta izin pada kedua orang tuanya untuk tinggal berdua saja dengan Zahira agar dia bisa semakin bebas. Setelah sarapan dan membantu ibunya yang masih menjadi ART di rumah ini, Zahira mulai kebingungan karena tak ada hal yang bisa dia lakukan selain duduk-duduk manis di atas sofa atau kembali ke kamarnya dengan Arkan. "Rara kamu kenapa kok bingung gitu?" Tanya ibunya yang sedang mengelap meja dan beberapa barang mewah milik majikannya. "Rara bingung mau ngapain lagi. Disini beda banget sama di rumah kita, bu." Sumiati tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan putrinya. "Kamu ini ada-ada saja, ya jelas beda kalau dibandingin dengan rumah kita yang kecil dan sepi." "Tapi lebih enak di rumah kita bu, apa-apa enggak perlu sungkan atau minta izin dulu." "Daripada kamu ngintilin ibu kemana-mana lebih baik kamu temenin suami kamu di kamar, pahalanya lebih besar." Ibunya salah besar, bukan pahala yang dapat dia dapat melainkan rasa sakit hati dan dosa besar untuk Arkan. "Udah buruan temenin suami kamu." Sumi tetao berusaha memaksa putrinya pergi menghampiri suaminya. "Enggak deh bu, aku disini aja." Tolak Zahira secara halus agar tidak terlalu memperlihatakan ada masalah diantara dirinya dengan Arkan. "Ra, jangan begitu. Ibu tau kamu masih belum terbiasa berduaan dengan suami kamu, tapi menemani suami itu salah satu kewajiban istri." Zahira menatap wajah ibunya yang sudah mulai di penuhi kerutan tanda penuaan. Andai ibunya tau bagaimana sikap Arkan yang sebenarnya pasti dia tidak akan membiarkan pernikahan ini terjadi. "Ayo sana temui suami mu ajak dia ngobrol biar kalian bisa lebih akrab lagi." Akhirnya mau tak mau Zahira tetao melangkah menuju kamar dengan sangat berat hati. Apapun yang Arkan katakan padanya nanti akan dia telan mentan-mentah. Ternyata, saat dia masuk ke dalam kamar, Arkan sedang sibuk video call. Nada suaranya terdengar merdu dan sangat romantis. Bahkan jika dilihat sekilas seperti bukan Arkan saking berbedanya. Melihat Zahira akan duduk di atas spring bed yang juga tengah dia duduki, Arakan memberi kode agar Zahira tidak duduk disitu karena semua yang berada di kamar ini hanya miliknya seorang. "Cepat pergi!!" Mendengar sentakan itu Zahira langsung ketakutan dan segera mengambil duduk di atas sofa sambil mendengarkan suaminya mengobrol manis dengan perempuan lain. Sabar ... Zahira pasti bisa miahat ini semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN