Suamiku, seburuk apapun engkau tetaplah menjadi imam keluarga yang akan membawa anak istrimu menuju janahNya Allah.
***
Sudah menjadi alarm, saat qiraat berkumandang merdu matanya akan langsung terbuka lebar dan tubuhnya bersiap memulai hari baru.
Zahira mengigil karena tak terbiasa tidur dengan AC yang dingin. Apalagi semalam ia tak memakai selimut yang membalut tubuh.
Tangannya refleks menepuk pelan perutnya juga terasa sangat kembung karena masuk angin.
Zahira bangkit dan merenggangkan otot-otot yang terasa kaku. Ekor matanya memperhatikan ke arah sang suami yang masih terlelap dengan balutan selimut tebal di atas ranjang empuk.
Zahira mengulas senyum dan selalu berusaha ikhlas dan bersyukur. Ia akan membuang jauh-jauh rasa benci yang perlahan mulai merembet ke ulu hati.
Sebenci apapun Arkan padanya, Zahira akan membalas kebencian itu dengan cinta yang luar biasa. Karena tugas seorang istri adalah memberikan cinta dan kasih sayang yang tulus untuk suami.
Puas memandangi sang suami yang masih tertidur pulas, Zahira berdiri dan mendekati ranjang Arkan. Istri salihah itu tengah berusaha membangunkan sang suami dan berharap bisa salat subuh berjamaah.
"Mas, udah subuh. Salat dulu." Zahira mengguncang lembut bahu Arkan.
Namun, jawaban yang Arkan berikan adalah sentakan kasar sampai tangan Zahira terhempas dari bahu kokoh suaminya sendiri.
Zahira menjauhkan tangannya dari Arkan. Meski mendapat penolakan yang tak pantas di terima seorang istri, yang bisa ia lakukan hanya tersenyum tipis dan beristigfar. Batinnya tiada henti merapalkan doa agar Arkan cepat mendapat hidayah dariNya.
Sekarang, ia bukan Zahira yang dulu sering berteriak cempreng karena tuan mudanya tak kunjung bangun saat azan subuh berkumandang.
Zahira kecil tak pernah takut sentakan kasar Arkan. Dan tak pernah sakit hati saat Arkan membentaknya.
Tapi, itu semua sudah tak berlaku lagi. Tangannya bergetar dan dadanya bergemuruh takut saat erangan dan sentakan suami menyentuh kulitnya.
Zahira Nur Aina, yang kini berada satu kamar dengan tuan muda, sudah sah menjadi istri sah di mata agama dan negara.
Zahira merapikan karpet yang ia gelar semalam dan mengembalikan satu bantal yang arkan lempar padanya semalam.
Setelah semua rapi, Zahira menghampiri kopernya dan mengambil gamis biasa berwarna pink dan memasuki kamar mandi untuk bersih-bersih dan berwudhu.
Usai salat subuh dan berzikir, Zahira mengambil alquran saku yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi.
Dengan suara pelan karena takut mengganggu Arkan, Zahira melantunkan ayat demi ayat alquran dengan sangat fasih.
Sudah menjadi kebiasaan, setiap subuh Zahira akan mengaji setidaknya 4 lembar sebelum memulai aktivitas.
Kalau di pondoknya dulu, setelah kuliah subuh para santri senior seperti dirinya ini akan berjalan bersama menuju pasar untuk belanja kebutuhan pondok dan dilanjut memasak bersama-sama untuk santri lainnya.
Satri seperti Zahira ini biasa di sebut santri ndalem (rumah) dan pengurus. Santri senior yang dipercaya untuk membantu mengurus pondok dan rumah Kyai, dan bayarannya akan di bayarkan untuk kebutuhannya selama di pondok.
Kenangan indah yang tak akan Zahira lupakan. Teman-teman, dan adik-adik di pondoknya pasti merindukan kidung sholawat yang rutin ia lantunkan saat waktu luang.
Zahira harap, suatu hari nanti ia bisa berkunjung kembali ke pondok pesantren itu.
Setelah mukena terlipat rapi, Zahira mengambil jilbab instan berwarna biru navy, sesuai corak yang ada di gamisnya.
Sebelum keluar kamar Zahira berdiri di depan cermin rias dan memastikan matanya tidak sembab karena semalam menangis.
Zahira bersyukur, ternyata matanya tak meninggalkan bekas sembab yang parah, di tutup dengan celak hitam yang biasa ia pakai matanya sudah terlihat seperti biasanya.
**
Rumah mewah dan besar ini terasa sangat asing bagi Zahira meski masa kecilnya ia habiskan di rumah ini.
Zahira ingat, dulu, setiap pagi dirinya harus membangunkan Arkan yang malas salat subuh.
Anak majikan ibunya akan langsung terbangun ketika mendengar teriakan cempreng Zahira kecil. Jadi, setiap pagi tugas Zahira adalah membangunkan Arkan.
Meski tak terlalu akrab karena sifat Arkan yang cuek, Zahira kecil sangat suka menjahili pria itu agar mau mengeluarkan suara untuknya.
Zahira kecil memang sangat berani dan cerewet. Namun, setelah memasuki pondok dia lebih menjaga sikapnya.
"Eh, mantu Mama jam segini sudah cantik."
Zahira tersentak, saat matanya tengah asik menyusuri berbagai foto keluarga Melviano, Mama mertuanya tiba-tiba datang menyapa.
"Kebiasaan dari pondok, Ma. Biasanya jam segini Rara udah mejeng ke pasar."
"Kamu pengen ke pasar? Mama bisa antar kamu," ucap Nyonya Melviano yang Zahira yakini tak pernah menginjak pasar tradisional.
"Eh, nggak usah, Ma. Jam segini pasar lagi rame-ramenya." Zahira hanya takut Mama mertuanya akan kaget bila mengetahui bagaimana kondisi pasar tradisional di pagi buta.
"Ya sudah, kapan-kapan kita belanja ke Mall aja."
Zahira hanya tersenyum. Seumur hidup, hanya beberapa kali Zahira memasuki Mall besar di kota ini. Berbeda dengan Mama mertuanya yang hampir setiap hari mengunjungi Mall.
"Arkan sudah bangun? kamu kan paling jago kalau bangunin dia."
Zahira mengulum bibirnya malu. Meski sama-sama cuek, Arkan dulu tak seganas sekarang. Dulu dirinya memang pawang Arkan, tapi kini sudah tidak lagi.
"Rara sudah bukan pawangnya, Mas Arkan. Jadi, Mas Arkan nggak mau bangun," jawab Rara.
"Loh bukan gimana? Rara kan udah jadi istri Arkan. Biasain diri ya, nak, Arkan memang suka kelewatan." Seperti paham dengan kondisi Zahira, Maya meraih tangan Zahira dan mengusapnya lembut.
Mama mertuanya memang sangat baik pada dirinya dan keluarga.
"Mama balik ke kamar dulu ya, kamu bangunin Arkan lagi."
Setelah kepergian Maya, Zahira bingung ingin berbuat apa. Ingin kembali ke kamar tapi takut Arkan terganggu, mau mengerjakan yang lain tapi semua sudah di handel oleh seluruh ART.
Akhirnya Zahira memilih kembali ke kamar dan membangunkan Arkan sebisa mungkin. Ia tak bisa membiarkan suaminya melewatkan salat subuh yang berharga ini.
"Mas, bangun salat dulu." Zahira mengguncang pelan bahu Arkan.
"Maaf aku nggak bisa diam lihat kamu tidur di jam berharga seperti ini," lanjutnya lagi.
"Ayo mas."
Arkan berdecak keras dan lagi-lagi menyentak tangan Zahira yang beraninya menyentuh tubuhnya.
"Lama-lama kamu ngelunjak ya! pergi! saya nggak butuh kamu disini!"
Hati Zahira terguncang seketika saat mendengar bentakan kasar yang keluar dari bibir suaminya sendiri. Ia tak menyangka Tuhan memberikan takdir seburuk ini.
"Cepat pergi!!" Bentak Arkan lebih kasar lagi membuat Zahira mau tak mau harus keluar dengan hati yang terluka parah.
Karena tak kuasa menahan tangisannya Zahir masuk ke dalam kamar mandi luar dan menangis sepuasnya di sana.
Zahira berdoa pada Yang Maha Kuasa meminta ketabahan dan ketegaran hati agar dirinya bisa mempertahankan rumah tangga yang sangat berat ini.
Ia juga memohon agar pintu hati Arkan bisa terbuka lebar untuknya suatu saat nanti.
****
Sungguh sakit sekali, menjadi sudah menjadi istri namun tidak bisa menjalankan kewajibannya
Hati rasanya sudah seperti di cabik-cabik sangat dalam.
Tak ada yang bisa di ucapkan lagi selain untaian doa pada Sang Maha Pencipta.
Semoga keikhlasan-nya akan di balas kebahagiaan yang luar biasa indah suatu hari nanti.
Zahira Nur Aina, berjanji akan terus berada di samping suaminya meski harus berteman luka setiap harinya.
Insya Allah, Zahira akan ikhlas menerima semuanya. Karena ini takdirnya dari Allah SWT.