Zahira duduk termenung di balkon kamar sambil memikirkan perubahan sikap Arkan yang cukup mencolok dan tiba-tiba. Bukannya dia keberatan dengan perubahan sikap Arkan tapi dia penasaran kenapa tiba-tiba Arkan seperti itu apalagi dia juga mengatakan kalau ibunya lah yang memberinya pesan. Itu terliht tidak mungkin karena dia sama sekali tak pernah melihat Ibunya dan Arkan berbicara empat mata.
Lagi-lagi Zahira berdecak kesal karena pikirannya selalu penuh tentang Arkan dan pikiran-pikiran lain yang lebih penting terkadang sampai dia lupakan tanpa sadar.
Zahira berdiri dan kembali masuk ke dalam kamar setelah itu mengambil ponsel barunya dan mulai berselancar di internet untuk mencari ide agar dia tidak bosan saat semua orang meninggalkannya di rumah.
Hal yang pertama yang dia temui adalah merajut benang-benang wol menjadi sebuah hasil karya yang lucu, tapi sayangnya dia tidak memiliki skil dalam merajut. Akhirnya dia terus menggulir halaman yang tengah dia baca sampai akhirnya dia menemukan ide yang cukup bagus untuk mengisi hari-harinya yang kosong.
Menjadi seorang penulis novel, mungkin tidak ada salahnya dia mencoba ide satu ini karena dari dulu dia sangat suka merangkai kata dan sering mencurhakan isi hati kedalam tulisan. Zahira kembali mencari-cari aplikasi yang menerbitkan cerita secara online dan bisa dibaca oleh semua orang agar dia bisa menyebar ilmu yang dia miliki ke dalam tulisannya. Selain itu Zahira juga berharap mendapat teman-teman baru karena sebagian besar temannya ada di pondok pesantren dan dia cukup kesepian saat tak memiliki seorang sahabat dekat yang bisa mendengar keluh kesahnya.
Setelah menemukan satu aplikasi yang sedang ramai dikalangan remaja sampai ibu-ibu setengah baya, Zahira mulai memikirkan cerita apa yang akan dia tulis nanti.
Namun, saat dia akan merancang ide-ide berlian yang sudah bertaburan di dalam kepalanya tiba-tiba pintu kamarnya terketuk.
“Waalaikumsallam bi Nur, ada apa?” Tanya Zahira saat mendapati sang pembantu sudah berdiri di depan kamarnya.
“Ada kakak kamu di depan katanya mau jemput.”
“Bang Danan?”
“Iya nona, ayo temui dulu.”
“Makasih ya bi aku samperin Abang dulu.” Zahira menutup pintu kamarnya dan bergegas menemui kakaknya yang sudah menunggu. Sore ini dia tidak ingin mendengar kabar buruk jadi setiap langkahnya Zahira selalu mengucap doa agar kakaknya tidak membawa kabar buruk kali ini.
“Assalamu’alaikum Abang.”
“Wa’allaikumsallam adik abang yang cantik jelita.” Danan langsung berdiri dan menyambut uluran tangan adikny yang akan mencium punggung tangannya.
“Kata bi Nur, abang mau jemput aku apa ibu baik-baik aja?” Tanya Zahira.
“Ibu sudah baikan Rara tapi masih Abang larang buat kerja dulu.”
“Alhamdulillah kalau ibu sudah nggak sakit lagi aku lega banget dengarnya.” Dari kecil hal yang Zahira takuti adalah ibunya sakit jadi setiap ibunya mengeluh sakit dia tak henti-hentinya khawatir dan berfikir macam-macam.
“Hari ini ibu ngajak kita jalan-jalan katanya udah lama banget nggak qwality time bareng.”
“Bertiga bang? terus mau jalan-jalan kemana?”
“Kalau suami kamu sudah pulang ya kita ajak sekalian.”
“Belum ada yang pulang bang, ini masih jam 4 sore.”
“Terus kamu sudah mandi apa belum? jangan bilang belum, ibu sudah nunggu dirumah.”
Zahira hanya cengengesan karena kenyataannya dia memang belum mandi karena sibuk memikirkan Arkan yang saat ini masih bekerja. “Aku mandi sebentar ya bang.”
“Yaudah buruan ibu udah nunggu loh.”
“Iya sebentar aja bang.” Zahira langsung berjalan cepat kembali ke kamarnya untuk mandi dan bersiap berjalan-jalan dengan keluarganya setelah sekian lama tidak melakukan qwality time bersama.
***
Pukul lima kurang seperempat mereka bertiga yaitu Zahira, ibunya serta kakak laki-lakinya sudah berada di dalam mobil dan menuju salah satu pusat perbelanjaan karena keinginan Danan.
“Ra, kamu sudah pamit suami kamu?” tanya Sumi disela-sela obrolan Zahira dengan kakak laki-lakinya.
“Astagfirullah Rara lupa belum pamit siap-siapa.”
“Hayo kebiasaan kamu tuh suka ceriboh, ayo cepat kasih kabar nanti semu cariin!”
Zahira buru-buru merogoh tas selempang dan mengambil ponselnya untuk menghubungi Arkan dan juga ibu mertuanya. Dia benar-benar ceroboh sampi melupakan hal sepenting ini padahal Maya sudah sering mengingatkan agar selalu memberi kabar saat dia akan meninggalkan rumah.
Orang pertama yang dia telfon adalah ibu mertuanya yang sudah mengiriminya beberapa pesan yang berisi pertanyaan tentang keberadaannya saat ini. Dengan penuh penyesalan Zahira meminta maaf dan memberi tahu dimana dia berada dan dengan siapa saja dia hari ini.
“Sekali lagi Rara minta maaf Ma, Rara lupa kalau sekarang Rara sudah punya hape baru buat komunikasi,” ucap Zahira dengab polosnya.
Setelah mengakhiri obrolan singkat dengan ibu mertuanya Zahira langsung menelfon Arkan untuk berpamitan kalau dirinya mungkin tidak ada di rumah saat Arkan pulang nanti.
“Assalamualaikum Mas Arkan.”
“Ya, kenapa?” Jawab Arkan dengan nada terkesan dingin dan tidak suka saat Zahira menghubunginya.
“Aku mau pamit kalau hari ini aku keluar sama ibu dan Mas Danan.”
“Ya, salam buat ibu dan kakakmu.”
“Mas Arkan dimana?”
“Nggak perlu tau!”
Zahira hanya bisa memandang miris layar ponselnya saat Arkan langsung memutus panggilannya secara sepihak tanpa memberi jawaban atas pertanyaannya.
“Sudah dikasih izin?”
Zahira mengangguk dan langsung menyembunyikan ekspresi kesedihannya. “Sudah ibu, Mas Arkan juga sudah kasih izin.”
“Hubungan kamu dengan Arkan gimana, Ra? kakak lihat Arkan orangnya cuek dan sedikit keras.”
Dari tatapan mata kakaknya yang bisa dia lihat lewat kaca mobil pria itu telihat mulai curiga tentang hubungannya dengan Arkan. Tak bisa dipungkiri Danan adalah pengamat terbaik dan pandai membaca pikiran seseorang terutama pikirannya. Jadi dia harus sangat berhati-hati dengan Danan jika ingin drama pernikahannya dengan Arkan sukses.
“Mas Arkan emang agak cuek tapi dia selalu perhatian kok sama Rara.”
“Kamu nggak diperlakukan semena-mena kan sama dia?”
Meski Danan duduk di depan dan dia duduk di belakang bersama ibunya tapi aura mengintrogasi ala Danan sangat mencekam.
“Danan kamu apa sih kok nanya begitu, ibu yakin Arkan tidak akan berbuat seperti itu.”
Akhirnya Zahira bisa bernafas lega karena ibunya menyelamatkannya dari introgasi kakaknya yang bisa membut dramanya dengan Arkan hancur berantakan.
“Kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang ke Abang. Sebenarnya dari dulu Abang kurang setuju kalau kamu buru-buru menikah seperti ini, bukannya abang nggak terima dilangkahi tapi umur kamu masih 20 tahun dan belum saatnya menjalankan ibadah yang penuh rintangan ini.”
“Sudahlah Danan kamu jangan terus-terusan berfikir negatif, Rara pasti bisa menjalankan rumah tangga ini dengan baik ibu juga sangat yakin kalau Arkan bisa membimbing adik kamu ke janahnya Alloh.”
Danan tersenyum tipis dan mengangguk meski hatinya belum sepenuhnya percaya pada Arkan yang notabennya pria kaya yang memiliki relasi sangat luas dan berbanding terbalik dengan adiknya yang sederhana dan tidak memiliki pengalaman apa-apa.
Sesampainya mereka di mall Danan benar-benar memanjakan dua wanita yang selalu dia jaga dan lindungi dengan sepenuh hati. Ibunya dia belikan beberapa gamis serta alat masak yang lebih baru sedangkan adiknya dia memilih beberapa novel serta bacaan islami yang belum dia miliki.
“Bang makasih banyak ya,” ucap Zahira setelah mereka keluar dari dalam toko buku yang masih berada di dalam mall.
“Iya Rara, kalau dipikir-pikir sudah lama Abang nggak jajanin kamu buku.”
“Sekarang Rara udah bisa beli sendiri bang jadi lain kali nggak usah habisin uang abang buat beliin buku-buku buat Rara ya. Mending uangnya disimpan buat halalin kak Riana.” Zahira tertawa melihat Danan yang langsung salah tingkah saat dia mulai membahas tentang wanitanya.
“Sudah ah lebih baik kita cari makan sekarang.”
Ketiganya berjalan menyusuri mall yang penuh gemerlap dan juga dipenuhi oleh orang-orang yang berpenampilan berkelas. Zahira sibuk mengobrol dengan sang ibu dan beberapa kali memotret ibu dan kakaknya di ponsel barunya.
Saat mereka akan memasuki restoran pilihan mereka Zahira meminta izin untuk ke toilet.
“Ra, nggak mau ibu temani?”
“Enggak usah bu, Rara bisa kok sendiri lebih baik ibu sama bang Danan masuk duluan aja.”
Setelah mendapat izin Zahira langsung berjalan cepat menuju toilet terdekat karena dia sudah tidak tahan menanhan kencing.
Saking buru-burunya Zahira tak sengaja menabrak tubuh seseorang sampai tubuhnya sedikit terpental dan terjatuh.
“Astagfirullah maaf mbak saya tidak sengaja.” Zahira segera berdiri dan menghampiri wanita modis yang sedang menggerutu karena beberapa barangnya ikut terjatuh.
“Kalau jalan matanya juga dipakai dong!” Tegur wanita itu tanpa melihat wajah Zahira yang penuh penyesalan.
“Sekali lagi saya minta maaf mbak.”
Saat wanita itu mendongak dan menatap ke arah Zahira seketika wajah wanita itu mengeras dan penuh kesinisan. “Oh pantesan wanita kampung yang baru pertama kali masuk mall ya.”
Wanita yang Zahira tabrak tak lain dan tak bukan adalah Rosalia, kekasih Arkan yang selalu angkuh.
“Heh anak kecil, ini tuh mall bukan pasar yang biasa lo masuki!!”
“Maaf.” Zahira menunduk dan berusaha menunjukkan kesopanannya.
“Yuk ikut sebentar.”
Zahira tersentak saat tangannya ditarik paksa oleh wanita yang dia tabrak tadi keluar dari toilet wanita. Beberapa kali dia berusaha meronta dan ingin melepaskan diri tapi cekalan wanita itu cukup kuat dari tenaganya.
“Sayang sepertinya dia punya dendam sama aku karena kamu lebih cinta sama aku daripada dia ISTRI kamu.”
Tubuh Zahira langsung membeku saat melihat Arkan sedang berdiri di hadapannya.
“Mas ....”
“Apa yang kamu lakukan sampai kekasih saya marah?!”
Zahira menelan ludahnya susah payah dan seluruh tubuhnya gemetaran saat Arkan menegurnya dengan tajam dan cukup keras.
“Aku ... aku enggak sengaja,” jawab Zahira dengan gugup.
Arkan menarik tangan Rosalia yang masih berdiri di samping Zahira dan merengkuh pinggangnya mesta di hadapan istri sah-nya seperti memberikan petunjuk jika Rosalia lah satu-satunya wanita yang berhak mendapat cintanya.
“Jangan pernah ulangi ini lagi, awas kalau kanu sampai buat kekasih saya marah!” Setelah mengucapkan itu Arkan langsung beranjak meninggalkannya sendiri dengan tubuh gemetar dan air mata yang langsung turun dengan deras karena hatinya ikut terluka melihat suaminya memanerkan kemesraannya dengan wanita lain.
“Insyaallah aku sabar, Mas ...,” ucapnya dengan nada pelan di sela-sela kesedihannya.
****