Tristan tak kehabisan akal. Setelah gagal menghubungi nomor Sardi, ia kembali menelepon nomor salah satu anggota sekuriti di tempatnya bekerja.
Tak sabar ia teleponnya segera diangkat. Pada deringan ketiga kemudian seseorang bicara di ujung sambungan.
“Boss ada apa menelepon, apa ada sesuatu yang tertinggal? ucap seseorang di telepon.”
Beberapa petugas sekuriti yang merupakan anggota timnya memanggilnya dengan sebutan boss. Jadi jika ada petugas sekuriti lain yang memanggilnya tanpa embel-embel boss, maka bisa dipastikan dia bukan anggota Tristan.
Tristan bukan satu-satunya supervisor sekuriti di sana, ada satu lagi supervisor di sana yang mengepalai sebagian kelompok sekuriti lainnya.
“Aku mencari Sardi tapi nomornya tidak aktif. Coba cari dia jika kau tidak sibuk Burhan. Bilang saja aku mencarinya,” terang Tristan.
Sengaja ia tak menjelaskan apa keperluannya dengan Sardi. Tak etis mengumbar masalah orang dan menceritakannya pada siapapun. Meskipun dia kesal setengah mati tapi dia masih bisa mengeremnya.
“Baik, Boss.”
Telepon kemudian terputus. Burhan bertanya-tanya kenapa bossnya itu mencari Sardi.
Pria berkepala setengah botak. Botak di bagian tengah saja dengan diameter empat senti itu menatap ke sekitar, mencari sosok Sardi.
“Aku tak melihatnya di sini. Apa dia shift dua?”
Burhan lalu beralih menatap jadwal yang terpasang di dinding sisi timur. Semua jadwal kerja sekuriti ada di sana.
Benar saja, nama Sardi ada di sana, di bagian kelompok shift dua.
Tapi pria yang sebenarnya masih muda namun nampak lebih tua dari usianya karena perutnya buncit itu tidak mencari Sardi.
Percuma juga jika mencarinya, pasti sulit menemuinya. Mengingat perusahaan ini luas, dan tak tahu pasti di mana lokasi pastinya bertugas.
Klik! Burhan pun memutuskan untuk menelepon saja melalui telepon yang ada di meja. Dia berpesan pada pos 1, pos 3 dan pos lainnya jika bertemu dengan Sardi supaya memberitahu untuk segera menghubungi boss mereka.
“Ya, baik. Aku akan sampaikan itu pada Sardi,” balas petugas sekuriti di telepon.
Siang bergulir.
Sampai detik ini Burhan belum juga melihat batang hidung Sardi. Bahkan telepon di depan meja juga tidak berdering, tak ada yang memberitahunya keberadaan Sardi.
“Di mana sebenarnya dia?”
Di lain tempat, di dekat kantin kantor terlihat Sardi sedang berjaga di depan kantin. Namun ia terlihat seperti cemas.
Berulang kali dia menatap ke jalanan di depannya, menatap siapa saja yang lewat di depannya.
Semoga saja Boss Tristan tidak kemari mencariku, batinnya cemas tingkat tinggi.
Beberapa waktu yang lalu Dicky memberitahunya jika Nona Vita sebelumnya marah karena salah memasukkan boss mereka ke kamar yang lain. Dari situ dia bisa menyimpulkan mencari dirinya apalagi jika tidak marah padanya?
“Sardi, Boss tadi mencarimu dan bilang agar kau segera meneleponnya,” ujar petugas sekuriti kebetulan lewat sana dan melihatnya.
“Ya, aku juga sudah tahu dari petugas sekuriti lain tadi. Setelah ini aku akan meneleponnya.”
Sardi terpaksa berbohong agar tidak terus dikejar. Tak hanya dua rekannya yang memberitahunya. Sudah ada lima orang sebelumnya dan juga memberitahukan hal itu.
Setelah rekannya tadi pergi, Sardi mengambil ponselnya. Ia tidak menelepon, hanya pura-pura menelepon saja.
“Ya, Boss. Nanti setelah turun jaga aku akan ke sana menemuimu,” ucapnya dengan suara lantang.
Sengaja ia mengeraskan volume suaranya agar rekannya tadi yang sudah berjalan tiga langkah darinya mendengarnya, sehingga tak berpikiran jika dia bohong.
Tugasku sudah beres jika begitu. Sardi langsung menelepon boss, batin petugas sekuriti tadi, setelah mendengar suara percakapan Sardi di telepon.
Dia benar-benar yakin jika rekannya itu menghubungi bossnya.
Hingga sore hari tak ada juga yang menelepon nomor Tristan.
“Sialan!! Kenapa sampai sekarang Sardi juga tak menghubungiku?!” umpat Tristan duduk di sofa abu-abu rumah kontrakannya.
Sejak tadi dia menunggu telepon dari Sardi bahkan sampai ia pun tertidur di sofa. Namun ternyata pria itu tak kunjung meneleponnya juga.
Bisa dilihat seperti apa marahnya Tristan saat ini.
Malam hari, di rumah Joanna.
Sejak sore tadi sepulang kerja, dia mengurung diri di kamar. Dia duduk di sudut tempat tidur, meringkuk. Terdengar suara lembut isak tangis.
Namun bantal yang dipegangnya saat itu sudah basah separuh, terkena air matanya dari beberapa jam yang lalu.
"Apa yang akan terjadi padaku nanti setelah ini? Apakah Dimas masih mau menerimaku?” ucapnya disela isak tangisnya.
Joanna mengusap air matanya yang menganak sungai, terus menetes tanpa henti, hingga panas dan kering rasanya kelopak matanya.
Ia ingin membagi rasa sakitnya itu agar berkurang bebannya, namun pada siapa ia harus bercerita?
Tak ada!
Maka dari itu hanya menangis yang bisa ia lakukan untuk meredakan semua rasa sakit di hatinya yang menguap bersama lelehan air matanya yang menguap.
Terdengar suara ketukan pintu tiga kali di luar.
“Joanna, waktunya makan malam. Kenapa kau tak keluar juga sedari tadi?” suara seorang wanita.
“Oh, Ibu.”
Seketika ia pun mengusap air matanya. Memang sejak tadi dia belum keluar dari kamar sama sekali. Bahkan mandi pun tidak. Apalagi makan. Perutnya tak lapar sama sekali. Yang ada hatinya yang perih, bukan perutnya yang perih.
“Joanna...” panggil ibunya lagi.
Karena tak ada jawaban maka wanita itu pun membuka pintu kamar putrinya yang ternyata tidak di kunci.
Langsung saja ia masuk.
Tatapannya lalu terkunci pada Joanna yang matanya tampak sembab dan bengkak.
"Joanna, kau kenapa menangis?” tanyanya langsung, melihat sisa bulir mata yang menitik di pipi putrinya.
Apa gerangan yang membuat putrinya itu sampai menangis. Padahal sampai saat ini dia jarang sekali melihat putrinya itu menangis.
Bahkan pernah dulu Joanna mengalami kecelakaan dan mengalami luka gores banyak di bagian tubuh, tapi sedikitpun putrinya itu tidak menitikkan air mata.
Celaka, aku lupa mengunci pintu kamar tadi, pekik Joanna dalam hati.
Ia menyesalkan sikap teledornya sampai lupa mengunci pintu sehingga ibunya mengetahui dirinya menangis.
“Aku tidak menangis Ibu, aku hanya kelilipan saja,” bantahnya.
Namun suaranya terdengar serak, tentu saja ibunya langsung tahu jika putrinya itu bohong.
Ia malah menghampiri Joanna untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa kau ada masalah dengan Dimas lagi?” tanya ibunya.
Beberapa waktu ini Joanna dan Dimas memang sering cekcok. Dan pemicu masalahnya sepele. Joanna, terkadang pulang lembur di saat akhir bulan ataupun di awal bulan karena tugas kantor memang menumpuk saat itu, jadi mengharuskannya untuk bekerja over time.
Tapi Dimas tak mau mengerti itu. Dia menginginkan Joanna pulang di jam normal setiap hari tanpa lembur. Bahkan meminta Joanna untuk berhenti kerja saja.
Dan tentu saja Joanna menolaknya keras.
“Tidak, Ibu. Masalahku dengan Dimas sudah beres,” bantahnya tegas dengan menggelengkan kepala.
“Jika bukan karena Dimas, lalu masalahmu apa?”
Joanna yang saat itu berdiri sampai kembali duduk di tempat tidurnya. Ia tak tahu harus bilang apa pada ibunya. Haruskah dia menceritakan hal itu padanya?