Eps. 7 Pikiran Kosong

1093 Kata
“Joanna ada apa?” Ibu mengulang pertanyaan. Ia yakin putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Semua bukti sudah nampak jelas. Dari mata yang bengkak juga tatapan Joanna yang sendu membuat hati Bu Halimah, ibunya Joanna sembilu. Pasti ada hal serius di balik tangis Joanna. “Tidak ada, Bu.” Joanna bersi keras terus menyangkal tak ada masalah. Padahal saat ini dia merasa sangat rapuh sekali. Rapuh karena ia merasa baru saja menerima musibah besar, besar sekali menyangkut masa depannya. Selama ini Joanna selalu menjaga mahkotanya dengan baik. Bahkan Dimas saja yang beberapa kali menggodanya untuk menyerahkan mahkota wanita tertinggi itu pada dirinya ia tolak berulang kali. Karena semuanya akan indah pada waktunya. Jika ia berikan di waktu yang tepat, setelah pernikahan. Bukankah rasanya puas jika memanen padi sudah menguning tinimbang memanen biji padi yang masih hijau? Tapi bagaimana sekarang dengan dirinya? Huh! Bu Halimah membuang napas pendek. Sebenarnya ia kesal, karena Joanna tak mau bercerita padanya. Tapi ia juga tak mau memaksa. Atau akan lebih buruk hasilnya nanti. Mungkin saja Joanna akan membencinya. “Baiklah, jika begitu keluar lah untuk makan malam bersama. Ayahmu sudah menunggumu.” Setelah berucap demikian, Bu Halimah yang sudah berjalan sampai di ujung pintu menutup kembali pintu bercat putih tersebut. Joanna menatap hampa pintu yang sudah tertutup seolah hatinya ikut terkunci. Ingin rasanya dia melebur menjadi satu dengan tanah yang menyelimuti bumi. Aku harus segera turun dan ikut makan malam atau Ayah akan lebih curiga padaku. Joanna lalu masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Ia membuka shower dan membenamkan dirinya di bawah guyuran shower. Rasa dingin setiap bulir air yang meresap melalui kulit kepala, kulit di tangan juga semua kulit di tubuhnya membuat hatinya yang panas sedikit dingin. Terlebih bulir air mata yang kembali mengalir dan melebur bersama curahan air membuat hatinya sedikit tenang. Ia menatap bekas merah di tubuhnya yang masih segar dan membekas dalam dengan mata sayu. Berulang kali ia menyapukan sabun ke seluruh tubuhnya terutama pada area d**a untuk menghilangkan tanda merah tersebut, namun tetap saja tanda itu bercokol dengan kuat di sana. Dia merasa dirinya kotor. “Aku harus segera keluar dari kamar mandi sebelum makan malam berakhir.” Joanna meraih handuk yang ada di gantungan untuk mengeringkan tubuhnya yang basah. Sebenarnya ia enggan keluar dari sana karena masih ingin berada di bawah shower. *** Joanna berjalan pelan menuju ke ruang makan. Dia merasakan bagian intinya masih sakit serta perih untuk berjalan, hingga ia berjalan sedikit menyeret. “Sayang, ada apa denganmu? Apakah kakimu sakit?” Tatapan ayah terkunci pada kaki Joanna. Khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu. “Tidak, Yah. Aku hanya lelah. Semalam ada acara jamuan di kantor jadi aku sibuk ke sana kemari.” Joanna segera menarik kursi hingga suaranya berdecit dan membanting pantatnya ke kursi. Bukan karena marah, tapi karena ia tak tahan lagi merasakan sakit di bagian inti tubuhnya yang sudah ternoda. “Apa kau sakit? Wajahmu tampak pucat, Nak,” ujar ayah lagi. Dan Joanna menggeleng. “Istirahat lah. Ambil cuti sehari dan pergunakan waktu dengan baik untuk beristirahat di rumah. Sepertinya kau kelelahan.” “Tidak, Ayah. Pekerjaanku sedang banyak dan menumpuk. Apalagi di akhir bulan seperti ini. Aku tak bisa ambil cuti.” Joanna kembali menunduk setelah selesai bicara. Ia tak berani menatap sepasang bola mata ayahnya karena takut pria itu mengetahui matanya yang masih bengkak kemudian akan bertanya apa sebabnya. “Sudah, Ayah. Nanti saja itu dibahas sekarang kita makan dulu sebelum semuanya dingin,” sela ibu. Betuntung lah Joanna ibunya menyelamatkan dirinya. Setelahnya ayah segera mengambil piring di depannya. Joanna pun ikut mengambil piring dan seporsi makan makan malam. Tatapannya kemudian terkunci pada kursi kosong di seberangnya. “Di mana Ariel, Bu?” Ariel adalah adik lelaki Joanna. Dia berusia 20 tahun, lima tahun di bawah usia Joanna. “Tadi adikmu itu menelepon dan memberitahukan jika dia ada kegiatan di kampus jadi pulang terlambat,” jelas Ibu. “Kita makan saja tak usah menunggu dia.” Joanna sebenarnya tidak lapar, tapi dia makan juga seporsi makan malam yang sudah diambilnya. Baru saja perutnya terasa perih Setelah dia menyebabkan sesendok nasi ke bibir. *** “Ku kira kau tidak masuk,” ujar Devi saat melihat Joanna masuk ke ruangan hampir terlambat. Kurang dua menit saja jam kerja sudah dimulai. Tak biasanya temannya itu berangkat terlalu mepet. Biasanya Joanna tiba 20 menit lebih awal sebelum jam masuk. Jika lebih dari itu dia belum tiba biasanya izin. “Ya, aku capek dan sebenarnya malas masuk hari ini jika saja kerjaanku tidak menumpuk begini.” Joanna duduk di kursinya menatap tumpukan dokumen di mejanya. Huft! Ia menarik napas cukup panjang. Tak tahu apakah semua pekerjaan itu akan bisa diselesaikannya dalam waktu sehari ini. “Sudah jangan dilihat. jangan saja nanti akan berkurang dan lama-lama habis sendiri semua dokumen yang ada di meja,” hibur Devi melihat muka Joanna yang kusut. Joanna merespon dan segera mengambil satu dokumen lalu mulai mengerjakannya. Entahlah, kali ini ia tidak mood sama sekali. "Ck, kenapa salah lagi?” decak Joanna. Ia salah memasukkan data dan terpaksa mengulangnya kembali. Jujur saja pikirannya sebenarnya masih kacau balau karena masalah Tristan semalam, membuatnya tidak fokus memasukkan angka-angka dalam komputer. Ia sampai membuang beberapa kali dokumen dan meremat lembaran hasil kerjanya yang salah menjadi bola kertas lalu membuangnya pada keranjang sampah di dekatnya. Apa Joanna ada masalah? Devi baru kali ini melihat temannya itu salah beberapa kali dalam bekerja. Biasanya Joanna selalu teliti saat bekerja dan jarang membuat kesalahan. “Oh, salah lagi.” Joanna sampai mengambil ban dan mengetukkan berulang kali pada pelipisnya. Dua jam kemudian dia keluar dari ruangan dan menuju ke toilet untuk membasuh mukanya. Mungkin kesegaran air bisa menyegarkan pikirannya yang sedang kacau seperti sebelumnya. “Aku tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar aku bisa menghibur diriku sendiri.” Joanna melihat tisu di dekat wastafel tapi dia tidak mau ngambilnya untuk mengeringkan mukanya. Beberapa menit selanjutnya keluar dari toilet. Ia berjalan melewati lapangan kembali ke ruangannya. Entah Kenapa tiba-tiba dia berhenti dan menatap rerumputan hijau di sana. Di tengahnya ada petugas sekuriti yang sedang apel dan briefing singkat harian. Joanna menatap punggung semua pria yang mengenakan seragam berwarna navy itu tanpa mengetahui siapa saja mereka. Hatinya berdesir kalau mengingat kembali malam panas bersama petugas sekuriti yang tak diharapkannya. “Boss, coba tengok ke belakang. Ada seorang gadis yang menatapmu,” ungkap seorang petugas sekuriti. Tristan memang ada di sana dan sedang memimpin briefing rutin. Ia pun berbalik menatap ke arah belakang. “Dia...” Sepasang bola mata coklat Tristan membeliak tatkala tahu sosok wanita yang sedang menatapnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN