Petugas sekuriti yang datanh itu boleh ke samping tapi tak ada siapapun di sana, hanya ada boss nya seorang.
Tadi aku seperti mendengar suara keributan di sini, tapi kenapa sekarang sepi? batinnya.
“Kau mencari seseorang di sini?” tanya Tristan.
“Tidak, Boss. Aku kemari untuk melihatmu,” jawabnya sedikit gugup lalu mengalihkan pandangan pada Tristan. Tatapannya kemudian terkunci pada bibir Tristan. “Boss, ada apa dengan bibirmu?”
“Tak apa. Ada sedikit keributan tadi. Apa ada masalah lainnya?”
Tristan lalu mengusap bibirnya yang masih terasa perih dan mengusap darah segar yang masih terasa mengalir.
“Tidak ada, Boss.”
Petugas sekuriti itu kemudian berjalan bersama Tristan kembali ke pos. Sesekali dia menoleh ke belakang. Masih ada yang mengganggu pikirannya.
Siapa sebenarnya yang buat masalah dengan Boss? Namun itu hanya ia ucapkan dalam hatinya saja tak berani ia tanyakan langsung, atau Tristan akan mencatatnya sebagai masalah.
Sebenarnya bukan masalah. Tapi sesuatu yang dipermasalahkan. Bossnya itu tergolong tegas. Jika saja ada anggotanya yang bermasalah dan itu tidak bisa di tolerir, maka akan segera digantikan kedudukannya dengan petugas yang baru. Mengerikan bukan?
Mereka berdua tiba di pos. Petugas sekuriti tadi segera bertugas setelah mengambil HT dari meja pos lalu berjaga di pintu keluar.
Sedangkan Tristan duduk sebentar di sana kembali mengambil kotak peralatan P3K.
“Hais! Joanna memang wanita tipe bar-bar. Dia membuat bibirku terluka seperti ini,” Rintih Tristan, sembari mengobati bibirnya berdarah.
Baru kali ini dia mendapatkan perlakuan kasar dari seorang wanita seperti Joanna. Sebelumya banyak wanita yang mengejar dirinya. Bahkan mereka semua rela melemparkan tubuhnya pada dirinya. Sampai melakukan berbagai cara untuk mendapatkan dirinya. Namun sayang, dia tak tertarik pada mereka semua.
Jujur saja sampai detik ini dia masih belum ingin menikah, masih belum ingin menjalin hubungan serius. Dia juga belum menemukan wanita yang pas untuk dirinya.
***
Joanna kembali ke ruangannya. Niatnya pergi ke toilet untuk meredakan sedikit stress yang menekan dirinya. Namun nyatanya dia malah mendapatkan stress berlebih setelah bertemu dengan Tristan.
“Ada apa dengan dirimu sebenarnya, Joanna?” Devi bertanya. Ia dari tadi melihat suasana hati temannya itu yang kurang baik.
“Tidak, tak ada apa-apa. Aku hanya lelah saja.”
Joanna lalu membanting tubuhnya ke kursi dengan kasar, masih kesal dengan sikap Tristan yang sembarangan tadi. Setelah kejadian semalam, pria itu masih mencoba mengambil keuntungan lagi dari.
“Apa kau ada masalah lagi dengan Dimas?” tanya Devi menebak.
Joanna menggeleng sembari menarik napas kasar. Kenapa siap Iya tampak kaca selalu dikaitkan dengan Dimas? Padahal kan belum tentu juga dia ada masalah dengan pria itu.
“Lalu kenapa?” ulang Devi.
Joanna tidak menjawab. Malas dia menjawab pertanyaan seputar Dimas. Untuk membuat Devi tak menanyakan hal itu padanya lagi Ia mempunyai trik jitu.
Langsung saja Joanna mengambil dokumen yang ada di meja dan mulai mengerjakannya. Jika ia mulai fokus mengerjakan tugas maka Devi tak berani menyenggolnya sedikitpun. Karena jangan ditanya. Jika Joanna mengerjakan tugas kita tak bisa bicara dengan siapapun jika sedang serius.
"Tuh kan mulai lagi?” Devi hanya membuang napas kasar lalu ikut mengerjakan pekerjaannya yang harus selesai hari ini.
***
Sore hari di jam pulang.
“Tumben Boss masih ada di sini?” tanya seorang petugas sekuriti pada Tristan.
“Ya, aku sedang tak ada kerjaan, sedikit santai. Jadi tak masalah di sini sampai sore.”
Biasanya Tristan tak lama berada di sana. Paling lama biasanya tiga jam dalam sehari. Sisanya dia pulang ke kontrakan. Di sana dia akan semua pekerjaan perusahaan Galaxy, milik keluarganya.
Meskipun dia sedang dalam pelarian dan tak pernah ke kantor, tapi dia rajin memonitor perusahaannya itu. Agar tetap mempunyai performa baik dan stabil.
“Kau boleh kembali ke pos. Biar aku yang melakukan pengamanan di jam pulang,” ujar Tristan.
Petugas sekuriti itu mengangguk, kapan lagi dia bisa duduk santai di saat kerjaan sedang ramai begini. Tak biasanya bossnya itu bermurah hati seperti ini.
Di saat Tristan berjaga tiba-tiba datang sebuah mobil yang masuk begitu saja tanpa lapor terlebih dulu pada petugas sekuriti.
“Mobil siapa itu?” Langsung saja Tristan yang saat itu melihatnya segera mendekati mobil hitam tersebut untuk mengklarifikasinya.
Pengemudi mobil kemudian keluar dari mobil dan berjalan dengan santai.
“Tunggu! Pak, apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Tristan segera setelah melihat pria tersebut karena karyawan perusahaan ini, tak punya ID card perusahaan.
“Aku mau menjemput seseorang. Apa ada yang salah?”
“Ya, harusnya untuk tamu harap lapor dulu tidak sembarangan masuk begini.” Tristan mengingatkan.
Namun pria berkacamata itu sepertinya salah tanggap dan membuatnya sedikit emosi.
“Aku tidak ingin bertamu di sini tapi hanya ingin menjemput.” pria itu bersikeras mempertahankan pendapatnya, karena menurutnya dia benar.
“Sama saja baik bertamu ataupun menjemput di sini aturannya sama jika masuk ke kantor harus lapor dulu pada petugas sekuriti,” tegas Tristan.
Namun sepertinya terjadi kesalahpahaman lagi di antara mereka berdua. Sehingga pria tadi akhirnya berdebat dengan Tristan.
Keduanya merasa argumen mereka benar. Jadi tak ada yang mengarah diantara mereka berdua.
Hingga keributan itu terdengar dan mengundang banyak perhatian para karyawan yang sedang pulang saat itu.
“Ada apa di sana? Kenapa petugas sekuriti itu ramai dengan seseorang?” gumam Joanna melihat dari kejauhan.
Tak jelas siapa dengan siapa yang sedang berdebat saat itu. Tapi yang jelas tak biasanya petugas sekuruti tak pernah ramai dengan seseorang.
Hal itu mengundang perhatian Joanna. Ia pun menghentikan motornya sejenak tak jauh dari area petugas sekuriti itu ramai. Niatnya hanya ingin menyaksikannya saja sebentar tapi ternyata sesuatu cukup menyita perhatiannya.
“Kenapa dia terlihat mirip dengan Dimas, ya?” pekik Joanna.
Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri ia pun berlari mendekati mereka berdua. Ternyata ia tak salah melihat.
“Dimas? Kenapa kau di sini?”
Baik Tristan maupun Dimas kemudian berhenti berdebat, sama-sama mengalihkan pandangan pada Joanna.
“Joanna? Kau sudah pulang? Aku datang menjemputmu,” ujar pria berkacamata dengan rambut hitam klimis berpakaian serba putih.
Joanna diam tak merespon. Ia beralih menatap petugas sekuriti di samping Dimas yang ternyata adalah Tristan.
Dia kemudian menghela napas panjang sebelum bicara. Kenapa dua pria ini membuat rongga dadanya sesak saja?
“Dimas, kenapa kau tak meneleponku jika ingin menjemputku? Aku naik motor.” Joanna menatap Dimas.
“Dan kau Tristan...” Baru kali ini Joanna mengucap nama Tristan. “Kenapa kau berdebat dengannya?” Joanna beralih menatap Tristan.
Baik Tristan dan Dimas saling menatap dengan tatapan permusuhan, kemudian beralih menatap Joanna.
“Kau kenal dia?” tanya Tristan dan Dimas bersamaan.