Eps. 3 Bertemu Kembali

1144 Kata
Sardi menatap wanita yang berdiri di hadapannya dengan keringat yang mulai meleleh membasahi dahinya. Senyumnya yang terkembang, kini layu sudah dan gugur menatap sosok sangar di depannya yang siap meledakkan amarahnya. Sebenarnya ada apa ya, apa tugasku semalam gagal? Aku sudah melihat sendiri nona masuk ke kamar itu. batin Sardi, masih mendelik dari wanita itu. Sementara wanita berkulit putih dan berbody aduhai itu masih menatap tajam Sardi, meminta penjelasan darinya. Vita adalah salah satu wanita yang menyukai Tristan, pria yang merupakan pewaris dari Perusahaan Galaxy Group. Dia sudah mengetahui pria incarannya itu kini menyamar sebagai staf rendahan di sebuah perusahaan swasta, Laksana Maju menjadi seorang sekuriti. Meskipun Vita tidak bekerja di Perusahaan Laksana Maju, ia bisa mengetahui keberadaan Tristan dengan mudah. Dia punya mata-mata di sana. Tapi selain itu memang, ibunya Tristan mendukung dirinya. Bahkan bersama Nyonya Lidya, mereka berdua menyusun rencana ini. Rencana untuk menjebak Tristan agar tidur dengannya. Sehingga pria itu tak akan lari darinya. “Sardi!” panggil Vita, lebih tepatnya menghardik. Karena suaranya tinggi. “Ya, Nona.” “Apa semalam kau yakin tidak salah membawaku ke sebuah kamar?!” “T-tidak, Nona Vita. Kamar yang Anda tempati sudah benar, tak ada yang salah.” jawabnya masih terbata. Seingatnya memang benar kamar itu yang dipersiapkan sebelumnya, dan dia tidak salah. Atau jangan-jangan Dicky yang salah memasukkan target ke kamar. batin Rusdi menebak. “Tapi sampai pagi, bahkan hingga aku lelah menunggu lalu ketiduran, tak ada yang masuk ke sana ataupun membangunkan diriku.” terang Vita dengan mata membulat tampak sadis, juga menuntut. Sardi tampak merinding melihat tatapan tersebut. Menurutnya jika memang kasusnya demikian, berarti Dicky yang salah, bukan dirinya. Tapi menyalahkan temannya itu di saat seperti ini, sungguh tak mungkin. Yang ada dia akan di cincang oleh Nona Vita, meski bukan dirinya yang bersalah. “Katakan, kenapa Tuan Tristan tak masuk ke kamar yang kutempati.” Kini bahkan tangannya sudah mendarat di kedua pinggangnya. Sardi menunduk sejenak sembari menarik nafas berat. Tak ada pilihan lain bagi dirinya. Terpaksa ia menutupi kesalahan temannya itu agar dia dan Dicky selamat, yang. paling utama tips mereka tidak hilang. Pada akhirnya ia mengarang cerita. “Nona, saat itu lewat tengah malam barulah Tuan Tristan masuk ke kamar Nona. Tapi sepertinya Anda sudah tidur. Jadi hanya sebentar, Tuan lalu kembali.” bohongnya dengan lancar, mencari alasan yang paling logis. “Apa?!” Sepasang mata Vita kembali membulat lebar. Ia sampai syok mendengarnya. Mempercayai apa yang diucapkan Sardi. “Kau! Kenapa tidak membangunkan aku saja jika tahu kasusnya begitu?” hardiknya kesal dengan meremat tangan gemas. “M-maaf Nona, aku tidak berani masuk ke kamar Nona berada. Takut. Takut jika aku masuk ke kamar, ternyata Nona sedang tidak memakai baju.” balasnya, masih bisa berkilah. Malahan pria itu kini membayangkan yang tidak-tidak pada wanita di depannya. “SARDI! Hentikan pikiran kotormu itu. Jangan pernah berani sedikitpun memikirkan ataupun membayangkan tubuhku!” hardiknya lebih keras, melihat pria itu sampai meneteskan saliva di sudut bibir. Apalagi jika bukan pikiran pria itu kotor, m***m. Sampai meneteskan saliva, menjijikkan. Tak lama setelahnya, Sardi merasakan pipinya berdenyut terkena tamparan dari Nona Vita yang cukup keras. “Rasakan ini! Kerjamu tak becus!” Tak hanya Vita menampar pipi Sardi, kini ia mencakar pipi pria itu dengan ujung kuku panjangnya yang runcing. Hiss! Sardi hanya bisa berdesis kecil menahan perih di pipinya, pasti pipinya saat ini luka kena cakaran tadi. Vita pergi berlalu dengan sesak di d**a. Ia sudah mempersiapkan semuanya dengan matang sebelumnya, namun harus berakhir gagal seperti ini. Setelah kepergian Nona Vita, Sardi pun langsung menelepon Dicky untuk membuat perhitungan dengannya. Satu jam kemudian, Joanna baru datang ke kantor setelah pulang sebentar ke tempat kontrakannya untuk berganti baju. Karena sebelumnya ia terlihat sangat berantakan sekali. Meskipun penampilannya kini sudah tak berantakan lagi, namun hatinya tetap berantakan hancur berkeping-keping. Jujur saja ia merasa hancur-sehancurnya. Sekarang dirinya bukan wanita utuh dan tersegel lagi. Mengingat itu saja, membuat air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Joanna Mentari, ini di tempat kerja. Kau tak boleh menumpahkannya sembarangan di sini atau akan menjadi bahan gunjingan nanti. batin Joanna bicara sekaligus menyemangati dirinya sendiri. Di tengah jalan dia berpapasan dengan teman seruangannya yang juga merupakan teman dekatnya, Devi. “Joanna, kenapa matamu basah? Apa kau ada masalah?” tanya gadis berkerudung putih itu menghampiri. Joanna menggeleng, dan tersenyum tipis. Melihat Joanna yang mengusap mata semakin membuatnya yakin, jika temannya itu memang sedang ada masalah. “Ada apa, ceritakan padaku.” desak Devi. “Tidak, tidak ada masalah. Aku hanya bertengkar dengan Dimas saja.” jawab Joanna beralasan. Namun mengingat nama Dimas, membuat hatinya tersayat dalam. Bagaimana jika sampai kekasihnya itu tahu jika dirinya sudah tak suci lagi. Apakah dia masih mau menerimanya nanti. Haah! Joanna merasa sesak bersarang di dadanya. Devi ikut membuang nafas panjang. Dia tahu jika temannya itu beberapa kali memang sering adu mulut dengan Dimas. “Tenang saja Joanna. Pria jika marah terkadang memang begitu. Mengumpat kata kasar sembarangan tanpa berpikir lebih dulu. Tapi mereka dalam waktu singkat lupa pada yang mereka ucapkan, tidak tahu jika kita masih mengingat perkataan mereka.” tuturnya panjang lebar. Joanna tersenyum kecil membuat genangan mata di pelupuknya urung untuk jatuh dan masih tertahan di sana dengan ucapan Devi yang lucu namun masuk akal. Hiss! Joanna meringis menahan sakit di bagian intinya saat berjalan. Jujur, ia masih merasakan perih, nyeri yang teramat sangat saat benda tumpul keras itu menerobos paksa dirinya, meskipun sekarang sudah tak bersarang lagi pada dirinya. Namun seolah rasanya tetap mengganjal di sana, yang membuatnya sakit saat berjalan. “Sudah jangan dipikirkan.” ujar Devi lagi. "Ya, aku tak memikirkannya.” Joanna jadi teringat lagi kejadian semalam, dan ia buru-buru membuang pikiran itu jauh-jauh. Ia pun berjalan dengan menahan sakit sambil menggigit bagian bawah bibirnya, memaksa kakinya berjalan normal seperti biasanya. Di tengah jalan mereka melewati para petugas sekuriti yang sedang apel pagi rutin. Jika dihitung, saat ini ada tiga puluh orang berseragam biru donker, seragam lain security. Joanna tiba-tiba berhenti sejenak. Ya Tuhan, pakaian itu mengingatkanku pada pria yang menyentuhku semalam. batin Joanna memejamkan mata. Tubuhnya tiba-tiba bergetar dan hatinya kembali berdesir. “Joanna, kamu kenapa?” tanya Devi, melihat temannya itu nampak melamun. “Tidak ada, ayo kita jalan lagi.” Baru berjalan tiga langkah meninggalkan para petugas sekuriti yang belum selesai apel pagi tadi, tiba-tiba dari arah depan ada seorang pria berjalan dengan cepat, terburu-buru. Dan tanpa sengaja menubruk Joanna. “Akh!” rintih Joanna saat ia jatuh ke lantai. Seorang pria berseragam biru donker yang menubruknya. “Ma-maaf aku tidak sengaja.” ucapnya, tanpa bisa melihat dengan jelas siapa wanita yang di tabraknya karena wajahnya tertutup oleh rambut hitam panjangnya. Ia bahkan menarik dan membantu wanita itu berdiri. Hingga tatapan mereka berdua saling beradu. “Kamu ?!” pekik Tristan dan Joanna bersamaan saat saling menyadari, siapa yang mereka lihat. Sedangkan Devi hanya diam membisu dan baru mendapati mereka berdua saling kenal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN