Yurika berlari sejauh yang ia bisa. Nafasnya tersengal dan dadanya terasa sesak, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena luka yang baru saja menganga. Entah sudah berapa banyak air mata yang membanjiri pipinya sejak ia meninggalkan unit apartemen itu. Pikirannya kacau, jantungnya berdebar keras seperti ingin meloncat dari tempatnya.
Ia menemukan tempat yang tenang di antara taman kecil yang mengelilingi danau buatan di kompleks apartemen. Danau itu tampak sunyi, permukaannya tenang memantulkan cahaya lampu taman yang kekuningan. Beberapa bangku taman berjajar di tepi danau, dan Yurika memilih salah satunya yang agak tersembunyi di balik semak-semak pendek.
Dia duduk, memeluk tubuhnya sendiri, dan menangis lagi.
"Sakit... Kenapa harus begini?" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Semua kenangan manis tentang Bagas terputar di kepalanya seperti film yang tak diminta untuk diputar ulang. Senyumnya, perhatian kecilnya, dan cara Bagas membuatnya merasa spesial... semua itu kini tampak seperti kebohongan besar yang telah ia telan bulat-bulat. Padahal, ia sudah memberikan hatinya seutuhnya.
Ponsel di dalam tasnya bergetar. Yurika merogohnya dan melihat sekilas ke layar ponsel miliknya. Nama Tania muncul. Pesan masuk dari sang sahabat ia dapatkan.
[Yuri, kamu di mana? Aku tunggu kamu kenapa jam segini belum datang? Setengah jam lagi acara akan dimulai.]
Yurika menggigit bibir bawahnya. Tangannya gemetar saat membalas.
[Maaf, Tan. Aku nggak bisa datang. Aku... sakit. Badanku nggak enak banget. Tolong sampaikan permintaan maafku pada Tante. Aku doakan semoga acaranya berjalan lancar.]
Butuh waktu lama untuk mengirimkan pesan itu. Yurika menatap layar yang menyala sesaat, lalu padam. Ia tahu, cepat atau lambat Tania akan tahu alasan sebenarnya. Tapi untuk saat ini, ia tidak sanggup. Ia tidak sanggup berdiri di tengah keramaian dan berpura-pura baik-baik saja. Tidak ketika hatinya terasa seperti dihancurkan berkali-kali.
Ia kembali menyandarkan tubuhnya di bangku kayu. Matanya menerawang ke danau, seakan air di hadapannya bisa menyerap seluruh kesedihan.
“Kenapa aku bisa sebodoh ini...?” bisiknya.
Dari kejauhan, suara air mancur kecil di tengah danau menjadi satu-satunya suara yang menenangkan.
Ponselnya kembali bergetar.
Pesan dari Tania. [Sakit apa? Ya sudah nggak papa. Meski sebenarnya aku akan makin bahagia jika kamu datang, Yuri. Kamu istirahat saja dan semoga lekas sehat kembali.]
Yurika terisak kecil. Tania memang selalu begitu. Peduli dan perhatian, tidak pernah berubah sejak mereka pertama kali bertemu di kampus. Tapi kali ini, Yurika benar-benar ingin sendiri. Ia butuh ruang untuk bernapas dan menata ulang perasaannya.
Tangannya mengusap wajah yang sudah basah oleh air mata. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi luka di dadanya masih terlalu baru, terlalu dalam.
"Aku harus keluar dari hubungan ini sepenuhnya... harus bisa lepas dari Bagas. Harus..." katanya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba bayangan Bagas dan wanita tadi berputar di ingatan. “Argh! Bagas sialan!” teriak Yurika frustasi dan tanpa sadar dia malah melemparkan ponsel di tangan.
Plung
Suara ponselnya yang jatuh ke dalam air danau membuat Yurika panik di saat yang tidak tepat.
“Ponselku? Oh, tidak!” teriaknya panik.
Gadis itu lekas berdiri di pinggiran danau, melongok pada air yang tenang dan tak nampak keberadaan ponselnya lagi di sana. Makin panik saja Yurika dibuatnya.
“Apa aku harus melompat ke dalam dan mencari ponselku di sana? Tapi kalau airnya dalam gimana? Ya, Tuhan. Bodoh sekali aku!” pekiknya frustasi sendiri.
**
Erwin Candra duduk di kursi belakang mobil hitam mewah yang perlahan meninggalkan area parkir apartemen. Pandangannya kosong menatap ke depan, namun dalam hatinya masih bergemuruh amarah dan kecewa terhadap cucunya sendiri, Bagaskara. Sudah lama Erwin merasa Bagas makin tidak bisa diandalkan. Dan sekarang, ketika seharusnya keluarga berkumpul dalam acara pernikahan Bayu, putra sulungnya yang juga merupakan ayah kandung Bagas, cucunya itu malah menciptakan masalah dengan wanita yang sepertinya bukan main-main.
"Anak itu sungguh keterlaluan..." gumam Erwin sambil menggeleng pelan.
Mobil berjalan menyusuri jalanan pelataran apartemen. Erwin memalingkan wajah ke jendela, berharap bisa menenangkan pikirannya dengan memandang taman kecil dan danau buatan yang ada di kawasan elite tersebut. Namun, matanya justru membulat kaget saat melihat sosok gadis berdiri di tepi danau.
"Berhenti!" perintahnya cepat pada sang sopir. Mobil mendadak mengerem.
"Ada apa, Tuan besar?"
"Itu gadis yang tadi menabrakku! Dia... dia terlihat seperti ingin melompat ke danau!"
Seketika itu juga, Erwin membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Kakinya yang sudah tak secepat dulu tetap ia paksa melangkah cepat menuju arah danau. Napasnya memburu, khawatir benar dengan apa yang ia lihat barusan.
"Hey! Nona! Tunggu!"
Yurika yang sedang berdiri mematung di pinggir danau, dikejutkan oleh suara teriakan tersebut. Tubuhnya refleks menoleh dan menemukan pria tua tadi kini tengah berlari kecil ke arahnya. Wajahnya tampak cemas dan panik.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau berdiri di sana?!" tanya Erwin setengah terengah saat berhasil mendekat.
Yurika memalingkan wajah, menyeka cepat air matanya. "Saya... tidak apa-apa, Kek... Saya hanya butuh udara segar. Kakek kok ada di sini?" ganti Yurika yang terkejut melihat keberadaan pria tua yang tadi ia tabrak hingga merusak ponsel beliau.
"Udara segar tidak perlu dicari di pinggir danau seperti ini. Kau hampir membuat jantungku copot!"
Yurika cengo tak mengerti dengan apa yang pria tua itu maksudkan. Tiba-tiba saja Erwin menarik tangan Yuri membawanya menjauh dari tepian danau karena Erwin masih ketakutan andai saja gadis muda itu akan menceburkan diri ke dalam danau.
Erwin menghela napas panjang. "Kau menangis sejak tadi? Apa yang terjadi?"
Yurika menatap Erwin sejenak, lalu kembali menunduk. Dalam kondisi biasa, mungkin ia tak akan menceritakan apapun. Tapi saat ini, hatinya sedang rapuh, dan pria tua itu entah kenapa memberi kesan seperti sosok ayah yang menenangkan.
"Saya baru saja mengetahui kalau kekasih saya berselingkuh. Saya menangkapnya sendiri bersama wanita lain di apartemennya."
Erwin mengepalkan tangannya. Entah kenapa, hatinya ikut panas mendengar kisah si gadis yang disebabkan oleh cuucnya. Namun, Erwin tak akan memberitahu jika Bagas adalah cucunya. Erwin sendiri juga merasa marah dan geram dengan Bagas.
Erwin memandangi Yurika dengan seksama. Wajah gadis ini bersih, matanya tulus, dan meski sedang menangis, ada kesan tegar yang terpancar.
"Kalau kau bersedia, ikutlah denganku sebentar. Aku akan mengantarmu pulang. Atau jika kau ingin berbicara, kita bisa duduk sebentar di taman sana."
Yurika menatap pria itu, lalu akhirnya mengangguk pelan. Ia terlalu lelah untuk menolak apa pun. Bahkan Yurika juga melupakan ponselnya. Tak tahu juga kenapa bisa semudah itu bercerita pada orang yang baru dikenal akan masalah yang baru melanda.
Erwin lalu menuntunnya berjalan perlahan menjauhi tepi danau. Mereka duduk di bangku taman yang menghadap langsung ke danau. Terpaan angin mengusap lembut wajah mereka. Yurika menunduk, masih dalam diam. Erwin pun tak memaksa bicara. Ia hanya ingin memastikan bahwa gadis itu merasa aman.
Beberapa menit berlalu dalam sunyi sebelum akhirnya Yurika bersuara lirih, "Terima kasih, Kek... karena sudah peduli pada saya. Bahkan saat kita belum benar-benar saling mengenal."
Erwin tersenyum kecil. "Mungkin ini memang pertama kalinya kita bertemu, tapi bukan berarti aku tak bisa bersikap seperti seorang kakek pada cucunya."
Yurika menahan air matanya yang kembali ingin jatuh. Ia tak menyangka masih ada orang yang peduli padanya. “Terima kasih, Kek.”
"Mau saya antar pulang?"
Yurika terkejut. "Tidak perlu repot-repot, Kek. Saya bisa naik taksi.”
“Kamu yakin?”
Kepala Yurika mengangguk.
“Siapa nama kamu, Nak?”
“Nama saya Yuri.”
“Yuri, kakek tahu kamu pasti sedang patah hati karena dikhianati oleh kekasihmu. Tapi … hidup itu tetap harus berjalan. Jangan kamu korbankan masa mudamu hanya untuk lelaki tidak baik begitu karena kakek yakin masih banyak lelaki baik yang cocok buat kamu.”
“Terima kasih untuk nasehatnya, Kek.”
“Satu lagi. Jangan sampai sekali-kali berniat untuk bunnuh diri.”
Kening Yurika mengernyit, “Bunnuh diri?”
“Iya, seperti yang ingin kamu lakukan tadi.”
Yurika malah jadi tertawa. Kesedihannya sirna karena merasa aneh jika sang kakek mengira jika dia akan bunnuh diri.
“Kek, saya tidak ingin bunnuh diri. Mengakhiri hidup dan melawan takdir Tuhan itu perbuatan dosa.”
“Lah, tadi ngapain kamu mau nyebur ke danau?”
Seolah diingatkan akan satu hal, tubuh Yurika lemas seketika. Ponselnya tak akan mungkin bisa ia selamatkan lagi.
“Ponsel saya kecebur ke dalam danau, Kek.”
“Hah! Kok bisa?”
“Nggak sengaja saya lempar,” jawab Yurika dengan nada lirih dan penuh penyesalan.
Kini giliran Erwin yang tertawa. “Kamu ini ada-ada saja. Sedih boleh, tapi ngapain kamu korbankan ponsel dan kamu lempar ke danau segala.”
“Namanya juga nggak sengaja, Kek.”
“Jadi beneran kamu tadi hanya mau ambil ponsel dan nggak akan bunnuh diri?”
“Sumpah, Kek!”
“Kamu pikir dengan nyebur ke dalam danau bisa menyelamatkan ponselmu?”
Kepala Yuri menggeleng. Sang kakek menyentuh tangan Yuri. “Tenang saja. Kakek akan belikan kamu ponsel baru.”
“Hah!”
“Iya. Kakek akan ganti ponselmu. Gimana?”
Kepala Yuri menggeleng. “Enggak usah, Kek. Makasih.”
“Loh, saya serius, Yuri.”
“Tapi, Kek. Saya bisa beli sendiri nanti kalau sudah ada uangnya.”
Erwin Candra langsung mengeluarkan ponsel miliknya yang muncul retakan di sana akibat ulah tak disengaja Yurika tadi.
“Kamu tulis alamat kamu di sini. Nanti kakek kirimkan ponsel baru untukmu.”
“Jangan, Kek. Nggak usah repot-repot. Bahkan seharusnya saya bertanggung jawab mengganti ponsel Kakek yang tadi saya jatuhkan.”
“Sudah, nggak apa-apa. Anggap saja ini sebagai salam perkenalan kita. Bagaimana?”
Melihat keseriusan dan ketulusan sang kakek, Yuri pun menyerah dan mengalah. Ia pun menuliskan alamat kosannya di sana.
“Kamu tunggu saja, ya. Dalam satu atau dua hari ini, insyaallah akan kakek kirimkan ponsel baru untukmu.”
“Terima kasih, Kek.” Tetap saja Yuri mengucapkan demiakn meski dia tak berharap apa-apa. Toh, dia dan si kakek baru saja saling kenal.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Kek.”
“Bener kamu nggak mau saya antar?”
“Tidak usah, Kek. Nggak apa-apa saya naik angkutan saja.”
Yuri beranjak berdiri. Berpamitan pada Kakek Erwin. “Saya pamit, Kek. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Baru juga Yuri melangkah menjauh, Erwin kembali memanggil. “Yuri!”
Gadis itu menolehkan kepalanya. “Iya?”
“Kamu mau tidak menikah dengan putra bungsuku?”