"Pak Erik, Anda yakin ingin menemui Nyonya di kampusnya?" tanya Jayden, sekretaris pribadi sekaligus orang kepercayaan Erik.
"Memangnya kenapa?"
"Bukan apa-apa. Hanya saja ... bagaimana jika ada orang lain yang tau dengan pertemuan Anda ini? Bukankah Nyonya meminta agar pernikahan dirahasiakan?"
"Aku tau. Menemuinya bukan berarti aku akan mengumumkan pada semua orang jika aku sudah menikah dengannya."
Jayden mengangguk paham. Tak lagi bertanya. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dari Erik tersebut lekas menjalankan mobil mewah milik sang tuan menuju ke salah satu Universitas Negeri yang ada di kota ini.
Mobil melaju kencang membelah padatnya jalanan. Erik Candra yang duduk di kursi penumpang, mengedarkan pandangan pada kaca mobilnya. Kedua netra seolah sedang mengamati kondisi jalanan. Namun, pikirannya justru tertuju pada sosok wanita bernama Yurika Prastiwi.
Erik mengangkat tangan kanannya, memperhatikan jari manisnya yang tersemat sebuah cincin pernikahan di sana. Hela napas keluar dari sela bibirnya. Entahlah. Pikirannya sedang runyam membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya akan drama pernikahannya dengan Yurika.
Di mata Erik, Yurika bukanlah satu-satunya wanita cantik yang pernah ia temui. Hanya saja ada yang menarik dari diri wanita muda itu yang tertangkap mata saat pertemuan pertama mereka. Yuri masih cukup muda selisih usia sebelas tahun dengannya. Setara usia dengan keponakannya, Bagas.
Melihat Yuri, Erik seperti tidak asing lagi. Dan setelah dia ingat-ingat lagi, ternyata Erik pernah menjumpai wanita itu bersama Bagas. Tapi Erik sudah lupa kapan tepatnya. Mencoba abai dan tidak perduli, tapi entah mengapa masih juga terbesit rasa penasaran. Apakah benar Yuri dan Bagas saling mengenal?
"Pak Erik!" Panggilan dari Jayden, membuat Erik mendongak.
"Ya?"
"Kita sudah sampai," ucap Jayden memberitahu. Erik memutar kepalanya dan mendapati keberadaannya di area parkiran kampus. Oh, Tuhan. Sibuk melamun sampai dia tidak terasa jika Jayden begitu cepat membawanya sampai di tempat tujuan.
"Apa Anda ingin turun sekarang, Pak?" tawar Jayden ketika mengetahui sang atasan malah duduk diam sambil melamun.
Erik menimbang-nimbang sebentar. Lalu kepalanya terangguk. "Baiklah. Kita turun. Tapi aku tidak tahu ke mana kita akan mencari Yuri. Mungkin kamu bisa bertanya pada siapapun juga yang kita temui. Siapa tahu saja ada yang mengenal Yuri."
"Baik, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda menelpon Nyonya agar beliaunya ke sini saja menemui Anda. Daripada kita kesulitan mencari Nyonya di dalam gedung seluas ini. Bisa-bisa nanti Anda akan jadi pusat perhatian para mahasiswi."
Sial. Apa yang Jayden ucapkan benar. Erik menyadari dengan sepenuhnya bahwa dia memiliki wajah yang tampan dan rupawan. Ditambah penampilan yang selalu rapi dan elegan layaknya pengusaha muda sukses dan memiliki banyak uang. Siapa saja yang melihat, tidak mungkin untuk tidak terpesona padanya. Terlebih para kaum perempuan.
"Aku tidak punya nomor ponsel Yuri. Memangnya kamu bisa mencarinya?"
Jayden sedikit terkejut, lalu terkekeh lirih sebelum kembali diam dalam mode serius kala Erik memelototinya.
"Jangan menertawakanku, Jay! Kau tau sendiri kenapa aku dan Yuri bisa menikah. Semua karena papa. Jadi jangan salahkan aku jika aku tidak menyimpan nomor ponselnya karena memang aku dan Yuri tidak sedekat itu."
"Tapi Anda dan Nyonya sudah satu minggu menikah. Tidak kah ada komunikasi yang terjalin selama itu?"
"Sama sekali tidak. Tapi nggak tau lagi jika dengan papa. Mungkin papa masih berhubungan baik dengan Yuri."
"Kalau begitu kenapa Anda tidak menghubungi Tuan besar saja untuk menanyakannya?"
Double sial!
Erik tak ada pilihan lagi karena apa yang Jayden utarakan ada benarnya. Demi bisa menemui Yuri, tak apalah dia diomeli papanya. Setidaknya sebelum dia berangkat ke Dubai, ada hal yang ingin ia sampaikan pada sosok wanita yang bergelar sebagai istrinya itu.
Dengan mulut komat kamit membaca mantra pelindung diri, agar dia tidak diomeli dan diceramahi, Erik mengeluarkan ponselnya lalu men-dial nomor telepon papanya.
Cukup lama juga dia harus menunggu sampai sang papa menjawab teleponnya.
Dan baru saja Erik menyerah dengan mengakhiri panggilannya, ketika suara menggelegar tertangkap oleh telinganya. Sampai-sampai Erik harus menjauhkan ponselnya.
"Erik Candra! Ke mana saja kamu, hah! Tidak pernah menampakkan diri ... tiba-tiba malah telepon seperti ini."
Erik mencoba menahan diri dan mengalah saat menghadapi papanya ini. "Pa! Jangan marah-marah. Nanti darah tinggi papa kumat."
"Kalau penyakit papa kambuh itu karena kamu biang keroknya."
"Apa sih, Pa! Jangan berlebihan. Aku telepon papa karena ingin minta nomor hapenya Yuri."
"Untuk apa kamu tanya nomer hape Yuri? Mau bikin masalah kamu? Sudah lah habis nikah langsung ngilang tanpa kabar ... sekarang telepon-telepon malah ngajak perang."
"Astaga, Papa. Aku serius loh, Pa. Aku sengaja cari Yuri karena ada beberapa hal yang harus kami bicarakan sebelum aku berangkat ke Dubai."
Hening untuk sesaat sampai pada akhirnya Erwin bertanya, "Kamu serius jadi berangkat ke Dubai?"
"Kenapa papa malah bertanya? Bukankah rencana ini sudah lama aku utarakan ke Papa."
"Aku pikir setelah menikah dan punya istri kamu urung melakukannya."
"Justru karena aku sudah nikah itulah maka aku ingin mempercepat rencanaku untuk pergi."
"Lalu bagaimana dengan Yuri?"
"Bagaimana apanya?"
"Apa kamu tidak ingin membawanya ikut serta?"
"Memangnya Yuri mau?"
"Ya kamu paksa lah. Dia istri kamu."
"Aku tidak mau memaksanya kecuali jika memang dia beneran mau ikut secara suka rela. Menikah saja sudah dipaksa masak iya aku harus memaksanya juga agar mau ikut denganku. Sudah lah, Pa. Baik aku dan Yuri sudah sama-sama dewasa. Aku sengaja ingin menemuinya juga untuk membahas masalah ini. Jadi tolong kerjasamanya, Pa?"
Erwin Candra mendengus kesal. Tak ayal beliau pun memberikan nomor ponsel Yurika pada Erik.
"Terima kasih, Pa."
"Awas saja jika kamu berani menyakiti Yuri. Kamu akan berurusan dengan papa."
"Iya iya, Pa."
Setelah panggilan dengan sang papa berakhir, Erik memanggil asistennya.
"Jay! Ini nomornya Yuri. Telepon dia sekarang dan suruh datang menemuiku di sini."
Jayden mengerutkan keningnya. "Kok saya, bos? Nyonya kan istrinya Bos. Apa susahnya tinggal telepon saja."
"Yang bos di sini siapa? Jangan membantah jika tidak mau uang bonusmu hangus bulan ini."
Jayden menelan ludah. "Baik, bos. Saya laksanakan."
Pria itu pun tak mau membuang-buang waktu dan lekas menjalankan perintah sang atasan.
Sementara itu, kebetulan sekali hari ini Yuri sudah selesai dengan kelasnya. Sayangnya Tania tidak ke kampus karena sibuk mengurusi toko kue milik mamanya. Semenjak mamanya menikah lagi beberapa waktu yang lalu, mama dan papa tiri Tania pergi berbulan madu dan belum kembali hingga saat ini. Sehingga Tania keteteran sendiri mengurus toko kuenya. Untung ada Yuri yang ikut membantunya.
Rencananya Yuri akan lekas pulang ke kosan. Berganti baju lalu menuju toko kue yang menjadi tempatnya bekerja selama ini.
Namun, dalam langkah kakinya yang cepat, terpaksa berhenti lantaran terganggu dengan dering telepon yang terus-terusan berbunyi.
Yuri sempat ragu untuk mengangkat panggilan itu karena berasal dari nomor yang tak dikenal. Akan tetapi, setelah tiga kali panggilan tersebut dia dapat dari nomor yang sama, pikirannya jadi berkelana ke mana-mana. Apa mungkin dari rumah sakit tempat kakaknya dirawat.
Dengan cepat dan tanpa pikir panjang lagi, Yuri menjawabnya. "Halo?"
"Selamat siang, Nyonya. Saya Jay. Bisa kita bertemu sekarang di parkiran?"
Kening Yuri mengernyit mendengar suara seorang lelaki yang menghubunginya. "Nyonya siapa? Jay siapa? Anda salah nomor."
"Maaf, tapi ini benar nomor ponsel Nyonya Yuri, kan?"
Deg. Ia pikir salah sambung. Tapi kenapa orang tersebut tau namanya? Dan anehnya ada embel-embel nyonya. Begitulah berisiknya isi kepala Yurika saat ini.
Di tengah kebingungannya, lagi-lagi terdengar suara seorang pria di telinga. Kali ini suaranya berbeda. Lebih berat dan tegas.
"Yuri! Ini saya Erik. Saya tunggu kamu di parkiran. Datang ke sini segera!"
Klik.
Panggilan telepon terputus. Yuri menurunkan ponselnya yang menempel di telinga lalu memandangi layarnya.
'Ya, Tuhan. Untuk apa Paman Erik mencariku ke sini?'