9. Rumah Baru

1034 Kata
Yuri menatap sendu pada beberapa jenis makanan yang ada di atas meja. Erik sungguh keterlaluan. Memesan banyak makanan, lalu ditinggalkan begitu saja. Dipikirnya, perut Yuri sebesar apa hingga bisa menampung banyak makanan. Andai saja Yuri tidak ingat tempat, mungkin dia akan meminta pada pelayan untuk membungkusnya lalu bisa ia bawa pulang untuk Vino, keponakannya. Sayangnya, karena resto ini adalah tempatnya para orang berduit makan, jadilah Yuri masih ada rasa malu untuk rela meninggalkan banyak makanan yang tak tersentuh olehnya lantaran kekenyangan. Berjalan gontai keluar dari dalam resto. Bahkan saking insecure-nya, Yuri tak berani menoleh ke mana-mana. Berdiri di teras resto, membuang napas panjang sebelum ia melangkahkan kaki menuju gerbang depan untuk mencari kendaraan umum yang akan membawanya pulang. Namun, Yuri justru dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di hadapannya. Menghalangi jalannya. Seseorang berseragam safari keluar dari dalamnya. Berlari kecil membuka pintu mobil bagian penumpang. "Nyonya! Saya diminta oleh Tuan Erik untuk menjemput Anda." Untungnya pria itu menyebut nama suaminya sehingga tanpa berpikir panjang, Yuri menurut saja. Daripada naik kendaraan umum dan akan menghabiskan uangnya, lebih baik dia ikut saja menumpang pada mobil mewah yang kali ini berbeda dengan mobil Erik yang ia naiki sebelumya. Entah sekaya apa seorang Erik Candra, pria yang telah menikahinya. Sampai-sampai mobil mewah yang dimiliki pun lebih dari satu buah. Ketenangan Yuri dalam menikmati kenyamanan berada dalam mobil yang melaju membawanya, harus terusik lantaran tanpa harus menyebutkan alamat rumahnya di mana, sang sopir justru mengambil arah jalan yang berbeda. Tidak menuju tempat kosnya, tidak juga ke alamat rumah kakak lelakinya, Yoga. Dan entah ke mana dia akan dibawa. Yang pasti Yuri mulai panik. "Stop!" teriaknya membuat sang driver terkejut. Tidak lantas berhenti seperti apa yang Yuri minta, melainkan mendongakkan kepala melihat pada kaca spion untuk dapat menatap pada Yurika. "Maaf Nyonya. Tapi kita belum sampai." "Kamu mau bawa aku ke mana? Jangan-jangan kamu penculik ya?" "Maaf Nyonya. Saya bukan penculik. Saya sopir pribadinya Tuan Erik. Dan Tuan Erik telah memerintahkan pada saya untuk mengantar Nyonya pulang ke rumah." "Rumah? Rumah siapa? Ini bukan jalan menuju rumahku." "Tapi ini akan menuju ke rumah Anda yang sudah disiapkan oleh Tuan Erik." "Apa?!" Dan yah ... Yuri baru ingat tentang rumah yang tadi sempat Erik ceritakan padanya. Padahal dia sudah menolak. Tapi ternyata Erik sungguh keras kepala dan tetap memintanya menerima rumah yang Yuri sendiri tak tau seperti apa bentukannya. "Iya, Nyonya. Saya hanya mengikuti perintah Tuan Erik saja." Yuri tak mampu berkata-kata lagi. Dalam hati, ada rasa penasaran tapi juga ada ketakutan. Benarkah dia akan dibawa ke rumah Erik? Ataukah dia sedang diculik? Yurika menggeleng-gelengkan kepala berusaha mengusir semua pikiran negative yang menakutinya. ••• "Selamat datang di rumah ini, Nyonya!" Mulut Yuri menganga lebar. Sungguh seperti mimpi. Mirip dengan drama yang sering dia tonton yang mana rumah sebesar ini ... rumah bak istana megah, berhasil dia tapaki. Untuk kali pertama Yuri memasuki rumah orang kaya. Ditambah sambutan dari para perempuan berseragam pelayan yang berjejer rapi menyapa penuh hormat kepadanya. "Ah, iya. Tapi ... jangan panggil saya Nyonya. Nama saya Yuri." Begitulah Yuri mulai memperkenalkan diri. Tersenyum dengan canggung menatap satu per satu sembari menghitung dan wow! ada sepuluh orang yang ada di hadapannya ini. Mereka semua menundukkan kepala dengan tangan saling bertaut ke depan badan. Hanya satu orang yang paling tua dari semua, melangkah maju mendekatinya. "Mana berani kami hanya memanggil Nyonya dengan nama saja. Kami bisa dimarahi Tuan Erik nanti. Oh, ya. Perkenalkan. Nama saya Bik Yanti. Saya adalah kepala pelayan di sini. Jika Nyonya membutuhkan sesuatu ... jangan segan untuk meminta bantuan pada kami semua. Kami di sini selalu siap sedia untuk Nyonya." Kembali Yuri membuka mulutnya tak percaya. Benarkah dia menjadi orang kaya sekarang? Tidak ... tidak. Yuri merasa tak pantas berada di rumah sebesar ini. Semua ini milik Erik. Dan Yuri tidak mau terlena akan kemewahan dunia. "Nyonya, mari saya antar Nyonya ke kamar," ucap Bik Yanti membuat Yuri terkesiap. "Oh, kamar? Tidak ... tidak. Tidak perlu. Saya ke sini hanya singgah sebentar. Ini saya juga mau cepat pulang." Yuri gegas membalikkan badan. Namun, ditahan oleh Bik Yanti. "Nyonya, tunggu! Anda mau ke mana? Ini rumah Anda, Nyonya. Saya mohon Nyonya tetap di sini agar Tuan Erik tidak marah pada kami." Yuri mengerjabkan matanya. Mengembuskan napas panjang. Bahunya merosot tajam. Dia sungguh tidak menyangka bisa terdampar di tempat ini dan semoga saja Erik tidak memiliki rencana untuk mengurungnya di rumah sebesar ini. Bisa gila Yuri dibuatnya "Mari Nyonya, silahkan ikut saya." Dan dengan terpaksa Yuri mengekor di belakang Bik Yanti. Menaiki undakan demi undakan tangga melingkar yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua rumah ini. Tangan Yuri bahkan sudah gemetar saat menyentuh pegangan tangga. Rumah yang sangat mewah dan rasanya dia tidak cocok tinggal di tempat seperti ini. Yuri sadar siapa dirinya. Jadi, sebisa mungkin Yuri akan tetap menjadi dirinya sendiri. "Silahkan, Nyonya!" Bik Yanti membuka lebar pintu kamar. Dengan langkah ragu Yuri melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar yang sangat luas dengan ranjang lebar di tengah ruangan. Silahkan Anda berisitirahat dulu. Nanti saya akan menjemput Nyonya ketika makan malam telah disediakan. Untuk semua kebutuhan dan keperluan pribadi Nyonya ... sudah ada di dalam kamar ini. Silahkan Nyonya mengeceknya dan jika masih ada yang kurang, Nyonya tinggal katakan saja. Kami semua yang ada di sini selalu siap melayani Nyonya. Kalau begitu saya permisi dulu." "Ah, tunggu, Bik!" "Iya? Apakah ada yang Nyonya butuhkan lagi?" "Eum ... tolong jangan perlakukan saya seperti ini. Jadinya canggung begini. Tidak enak sekali," ucap Yuri sembari menggaruk tengkuknya. "Saya ini hanya orang biasa sama seperti kalian semua. Jadi ... bisakah kita berinteraksi lebih akrab lagi? Seperti teman misalnya?" Bik Yanti mengulas senyuman. Suka sekali dengan pembawaan sang istri majikan. Begitu polos dan baik. Selain itu, Yuri juga memiliki wajah yang cantik. "Baiklah, Nyonya. Kalau begitu saya permisi dulu. Jika Nyonya butuh sesuatu ... bisa panggil kami melalui interkom yang ada di sebelah ranjang." Yuri mengangguk. "Terima kasih, Bik Yanti." "Sama-sama." Bik Yanti meninggalkan Yuri. Saat perempuan itu menuruni anak tangga, ponsel yang ada dalam saku seragam kerjanya berbunyi. Dengan sigap menjawab panggilan tersebut. "Selamat sore, Tuan?" "Apa dia sudah datang?" "Sudah, Tuan." "Baiklah. Jaga dia baik-baik. Laporkan padaku apa saja yang dia lakukan di rumah itu." "Baik, Tuan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN