17. Bagas Lagi

1468 Kata
"Selamat datang kembali ke rumah ini, Nyonya!" sapa Bik Yanti yang memimpin penyambutan istri majikannya. "Halo, Bik. Senang sekali bisa kembali ke rumah ini." "Kalau begitu silahkan Nyonya beristirahat dulu. Kami akan siapkan makan malam untuk Nyonya." Yuri mengangguk. Dia pun melangkahkan kaki menuju tangga setelah menyapa para asisten rumah tangga yang berjajar menyambut kedatangannya. Wanita itu memasuki kamar dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat empuk. Rasanya sangat lelah tak hanya tubuhnya saja tapi juga pikiran. Di hari pertamanya bekerja, ada saja masalah yang menerpa. Entah apa salahnya kenapa masih saja ada orang yang tidak menyukainya. Namun, Yuri tak akan menyerah. Dia akan tunjukkan pada mereka bahwa dia adalah wanita yang kuat. Akan Yuri hadapi siapapun yang ingin menjatuhkannya. Tok tok tok Suara pintu kamar yang diketuk dari luar, menyentak lamunan Yuri. Gadis itu menatap pada pintu seraya meminta pada siapa saja yang ada di luar kamarnya agar masuk ke dalam. "Masuk saja!" Tak lama, suara derit pintu terdengar. Sosok wanita muda berseragam pelayan menyembulkan kepalanya. "Selamat malam, Nyonya. Saya diperintahkan oleh Bik Yanti untuk membantu Anda. Mungkin Anda ingin mandi?" "Iya. Tapi tidak perlu dilayani. Aku bisa mandi sendiri." "Kalau begitu biar saya siapkan air hangatnya." Tanpa menunggu jawaban dari Yuri, wanita itu sudah melesat menuju kamar mandi. Yuri beranjak berdiri. Menyusul ke dalam kamar mandi mewah dan rasa-rasa ingin berendam begitu kuat. Kapan lagi dia bisa menikmati kemewahan di rumah ini yang belum pernah ia dapatkan selama hidupnya di dunia. Yuri harus banyak-banyak berterima kasih pada Erik karena meski lelaki itu tidak pernah hadir di sisinya, akan tetapi pria itu memperlakukannya dengan sangat baik. "Nyonya, air hangatnya sudah siap. Silahkan. Saya akan siapkan handuk dan baju gantinya." ••• Hampir satu jam lamanya ketika pada akhirnya Yuri melangkah keluar dari dalam kamar mandi. Sang pelayan sudah menyambutnya. Memberikan ia minuman hangat yang langsung disesap oleh Yuri. Rasanya lebih rileks dan semua beban serta masalah yang ada di dalam kepala, sirna sudah. "Nyonya mau makan malam sekarang? Sudah saya siapkan." Tadi Yuri memang meminta pada wanita itu agar membawa makanannya ke dalam kamar karena ia malas turun ke bawah. "Terima kasih. Ayo kita makan." "Tapi Nyonya? Saya akan makan di belakang saja dengan yang lainnya." "Aku tidak bisa makan sendirian," jawab Yuri melangkah menuju sofa. Pemandangan luar kamar dengan gemerlap lampu jalanan terlihat dari tempatnya duduk yang sekarang sebab tirai jendela yang ia buka. Yuri menolehkan kepala pada wanita itu. "Duduklah. Jangan segan padaku." Dengan kikuk, wanita itu pun duduk di kursi seberang yang diduduki oleh Yuri. "Jika aku lihat-lihat, sepertinya kamu seumuran denganku. Berapa usiamu?" "Saya ... dua puluh lima tahun, Nyonya." "Wow, tuaan kamu. Jangan panggil aku Nyonya. Panggil nama saja. Kita bisa jadi teman akrab nantinya. Siapa namamu?" "Nama saya Bela." "Baiklah, Bela. Mulai sekarang kita berteman. Rumah ini terlalu besar dan aku akan merasa kesepian jika tidak memiliki teman dekat. Apa kamu mau menjadi temanku?" Bela menganggukkan kepalanya. Yuri tersenyum lebar. "Ya sudah. Ayo kita makan! Jangan sungkan. Kita kan teman?" Bela mulai rileks karena melihat keceriaan di wajah sang Nyonya. Keduanya kini mulai menyantap hidangan yang ada. "Makan yang banyak Bela. Kulihat badanmu kurus sekali." "Nyonya juga harus makan yang banyak agar Tuan Erik tidak memarahi kami nanti karena dianggap tidak becus mengurus Nyonya." "Apa Paman Erik semenakutkan itu?" "Tidak juga. Hanya saja ... Tuan Erik memiliki pembawaan yang tegas. Sehingga membuat kami jadi sungkan dan takut jika beliau marah." "Kamu sudah lama kerja di sini?" "Sekitar dua tahun. Sejak rumah ini mulai ditempati." "Apa Paman Erik juga sering pulang ke rumah ini?" "Tidak setiap hari. Kalaupun pulang ... paling di rumah juga hanya sebentar. Datang malam, pagi-pagi sudah pergi lagi. Tuan Erik adalah sosok pekerja keras." "Aku mau tanya sesuatu yang rahasia padamu. Tapi kamu harus menjawab jujur." "Apa itu, Nyonya?" "Ish, kamu ini. Bisa tidak jika hanya panggil aku Yuri saja." "Saya takut kelepasan memanggil Nyonya demikian jika di depan banyak orang. Bisa-bisa saya dipecat oleh Tuan Erik." "Segitunya. Haish! Kenapa jalan hidupku jadi kaku begini?" "Anda adalah satu-satu perempuan yang beruntung telah dinikahi oleh Tuan Erik, Nyonya." "Oh ya? Apa selama ini tidak ada perempuan yang menjalin hubungan dengannya?" "Setau saya tidak ada. Anda lah satu-satunya wanita yang saya kenal dekat dengan Tuan Erik." "Huft, Bela. Panggil aku Yuri jika kita hanya berdua. Kita kan teman? Aku janji akan melindungimu dari Paman Erik dan dia tidak akan marah sama kamu kalau semisal ketahuan kamu memanggil namaku tanpa embel-embel Nyonya. Ini hanya nama panggilan. Bukan masalah yang besar." Bela diam sebentar. Mencerna apa yang sang nyonya minta. Setelahnya, Bela pun mengangguk setuju. "Baiklah, Yuri." Yuri tersenyum lebar. "Begitu dong! Kesannya jadi lebih akrab dan tidak kaku." ••• Di kediaman Bayu Candra. Malam ini Tania dipaksa datang oleh mamanya untuk makan malam bersama. Selama ini, lebih tepatnya setelah hampir satu tahun sang mama menikah lagi, Tania memang memilih untuk tetap tinggal di rumah lamanya. Sementara sang mama pindah rumah mengikuti suaminya. Tania beruntung memiliki ayah sambung yang begitu baik padanya. Hubungan mereka juga terjalin sangat baik pula. Namun, jika dengan Bagas, Tania kurang dekat. Bagas sendiri juga tetap tinggal di apartemen. Sehingga hanya dalam acara makan malam bersama seperti inilah Tania baru akan dipertemukan dengan Bagas. "Ayo, Tan. Makan yang banyak," pinta Bayu sembari menyodorkan piring berisi udang goreng tepung kepada anak sambungnya. "Sudah, Pa. Ini saja belum habis." "Oh ya? Gimana hari pertama kamu bekerja? Lancar, kan?" Tania menganggukkan kepalanya. "Lancar, Pa." "Tapi tadi papa dapat laporan. Katanya ada karyawan baru yang terkunci dalam ruang arsip. Apa kamu tau siapa?" Deg. Tania mendongak. Dia sungguh tak tau menahu tentang berita ini. "Karyawan baru, Pa? Kok bisa terkunci? Kira-kira siapa?" "Papa juga belum tahu pasti siapa dan bagaimana ceritanya. Papa pikir kamu tau sesuatu. Makanya papa tanya kamu." "Aku malah nggak tau, Pa. Atau ... jangan-jangan Yuri?" "Yuri?" Kali ini Bagas ikut ambil suara lantaran mendengar nama sang mantan kekasih. Bagas menatap Tania penuh tanya. "Yuri kerja di kantor papa sama kamu?" Tania menganggukkan kepala dengan terpaksa mengaku. Berharap dalam hati agar kakak sambungnya itu tidak membuat masalah dengan sahabatnya. ••• Pagi harinya, Yuri telah bersiap untuk pergi bekerja. Dengan dibantu oleh kehadiran Bela yang mulai malam tadi secara resmi diangkat menjadi pelayan pribadi Yurika. Padahal Yuri hanya membutuhkan teman di rumah besar ini agar tidak kesepian. "Bel, apa ini tidak berlebihan?" tanyanya sembari mematut diri di depan cermin. Pasalnya, semua baju-baju yang telah tersedia di dalam lemari merupakan baju branded yang Yuri tebak harganya pasti mahal-mahal. Semua baju masih berlabel. Bahkan Yuri mengambil baju kerja tersimpel dan sederhana. Namun, tetap saja jatuhnya terkesan mewah saat dipakai olehnya. "Tidak. Kamu sangat cantik jika dandan begini. Terlihat lebih dewasa dan elegan. Tuan Erik sangat pandai memilihkan model baju untukmu, Yuri. Berbahagia sekali kamu sudah diperistri oleh Tuan Erik." Yuri mengerucutkan bibirnya. "Apa iya ini semuanya paman Erik yang membelinya?" "Betul. Sebelum beliau pamit untuk pergi ke Dubai, Tuan Erik mendatangkan banyak barang beserta baju dan semua perlengkapan perempuan. Siapa sangka jika semua itu untukmu, Yuri." "Tapi, Bela. Apalah artinya barang bagus dan mahal jika orangnya saja tidak ada di sini." "Yang sabar ya, Yuri. Tuan Erik sedang mengais rejeki demi masa depan kalian." Yuri tertawa. "Kamu lucu sekali. Bahkan jika aku taksir, banyaknya harta Paman Erik tidak akan habis digunakan sampai tujuh turunan tujuh tanjakan." "Kamu bisa saja." "Ya sudah aku mau berangkat kerja." "Kalau begitu saya panggilkan Zakwan." "Tidak perlu. Aku akan naik taksi saja." Bela pun tak bisa membantah dan mengekor di belakang Yuri menuju teras depan di mana Zakwan sudah siap dengan mobilnya. "Zak, biarkan aku naik taksi saja." "Tapi Nona?" "Aku sudah order tadi. Kamu tidak perlu repot-repot antar aku ke kantor pagi ini." Setelahnya, Yuri melenggang meninggalkan Zakwan dan Bela yang saling pandang. "Sudah biarkan saja Nyonya ingin mandiri sepertinya," ucap Bela memberi tahu Zakwan. Nyonya mudanya ini memang unik dan lain dari kebanyakan wanita yang akan sombong ketika dihadapkan pada banyaknya harta. Jika Yuri, tetap saja bergaya hidup sederhana meski rumah yang telah disiapkan oleh majikannya ini sangat besar, mewah dan megah. Kendaraan pun tinggal pakai dan ada sopir pribadi. Tapi malah memilih naik taksi. "Tapi gimana kalau Tuan marah jika tau kita membiarkan Nona naik kendaraan umum?" "Asalkan kamu tidak mengatakan apa-apa, Tuan Erik juga tidak akan tau nantinya. Atau ... jika kamu nggak tenang, buntuti saja. Pastikan Nyonya selamat sampai tujuan." "Ide yang bagus. Baiklah aku pergi dulu keburu Nona Yuri hilang jejak." Zakwan masuk ke dalam mobil, lalu Bela masuk ke dalam rumah. Sementara Yurika, gadis itu baru saja turun dari taksi online begitu sampai di kantor. Hendak memasuki lobi saat mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. "Yuri!" Yuri membalikkan tubuhnya dengan mata melotot. "Bagas!" Ah, kenapa Yuri bisa lupa jika perusahaan tempatnya bekerja ini adalah milik ayah tiri Tania yang artinya adalah milik keluarga Bagaskara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN