Kehadiran Jamie membuat Keenan sedikit kesulitan mengontrol emosi dan rasa panas di dalam d**a. Dengan tanpa bepikir bertanya, bahwa dia mengira dialah satu-satunya lelaki yang pernah masuk ke dalam rumah Aretha.
Pertanyaan yang kemudian menjadikan mata wanita itu terbelalak lebar. “Ba-bagaimana?” engahnya gugup.
“Aku kira, hanya aku lelaki yang pernah memasuki rumahmu selain tukang reparasi!” tukas Keenan cemberut, menatap kesal selama sepersekian detik, lalu kembali menatap pintu lift.
“Tuan tahu dari mana kalau Tuan adalah satu-satunya lelaki yang pernah masuk ke rumah saya?”Makin lebar mata ibu satu anak itu karena terkejut bukan main.
Tidak menjawab tahu dari mana, pemilik Raymond & Co justru balik bertanya, “Benar atau tidak kalau aku satu-satunya lelaki yang masuk ke rumahmu?”
Pintu lift terbuka, Aretha cepat melangkah keluar tanpa menjawab. Degup jantungnya masih tidak normal dengan pertanyaan itu. Ia membalikkan tubuh, memaksa diri untuk tersenyum, lalu pamit dengan sopan.
“Saya permisi dulu, Tuan. Saya akan segera mengerjakan sisa desain perhiasan yang diminta oleh bagian produksi,” ucapnya mengangguk, lalu cepat memutar tubuh dan berlari.
“Jawab dulu benar atau tidak, Aretha!” seru Keenan melongokkan kepala dari dalam lift, memanggil kencang karena karyawannya itu sudah berlari.
Masih cemberut, ia mendengkus kesal, lalu kembali berdiri tegak di dalam lift. Pintu perlahan tertutup, kemudian ia berpikir sendiri. ‘Bodoh! Buat apa aku bertanya benar atau tidak aku satu-satunya lelaki yang memasuki rumahnya?’
‘Kamu bodoh, Keenan! Bodoh sekali! Dengan begini, dia jadi takut padamu! Ah, sial! Kenapa aku bisa semarah itu melihat dia mengobrol dengan Jamie?’
‘Aku ingin pecat saja yang bernama Jamie itu! Di divisi mana dia? Aku akan suruh Russel mencari dan mendepaknya keluar dari Raymond & Co! Berani sekali dia ikut-ikutan aku mendekati Aretha!’
Gemuruh di d**a Keenan kian menggebu sampai dadanya kembang kempis. Namun, ia kembali berpikir. ‘Ah, tapi aku terlalu kejam kalau sampai memecat Jamie! Itu namanya aku pengecut, benar? Seakan takut bersaing, jadi aku memecat dia!’
‘Tidak, tidak boleh! Aku tidak boleh menjadi pengecut begitu! Aku harus menjadi gentleman! Lagipula, kasihan juga kalau dipecat. Sekarang, mencari pekerjaan susah!’
Ia menggeleng, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, “s**t, kenapa aku jadi seperti orang gila begini?”
***
Aretha telah duduk kembali di meja kerjanya. Mata menatap pada desain perhiasan, tetapi pikiran melanglang buana ke tempat lain.
‘Tuan Keenan tahu dari mana kalau tidak ada lelaki lain pernah memasuki rumahku? Kenapa informasi sedemikian detail bisa ia ketahui? Ini sungguh aneh!’
Queen tidak tahu kalau anaknya yang telah membocorkan informasi tersebut. Ia tidak mendengar saat kedua lelaki itu berbicara dengan berbisik-bisik di ruang tamu.
‘Lalu, kenapa dia memaksa sekali ingin tahu apakah itu benar atau tidak? Memangnya kalau benar kenapa? Kalau salah kenapa? Dia tadi ramah, tiba-tiba menjadi ketus setelah aku berbicara dengan Jamie?’
Mata Aretha terbelalak, ia menarik napas terkejut. Bahkan, saking terkejutnya sampai ia menutup bibir yang menganga dengan telapak tangan. ‘Apa dia cemburu!’
Melihat ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada yang mendengar jeritan hatinya. Terengah, ‘Mungkinkah dia cemburu? Ah, tidak mungkin!’
‘Dia hanya baik kepadaku karena aku menyelamatkan nyawanya. That’s it! Aku yakin hanya itu saja. Karena merasa berhutang budi padaku, makanya dia merasa harus membalas dengan menyenangkan aku!’
‘No, tidak, dia tidak mungkin suka apalagi jatuh cinta denganku! Siapalah aku? Dia pemilik perusahaan berlian paling terkenal di Amerika, bahkan di dunia! Ada ratusan bahkan ribuan wanita antri untuk bersamanya!’
Aretha terus menggeleng, meyakinkan diri sendiri kalau Keenan tidak mungkin memiliki rasa suka dengannya. Melakukan ini agar ia tak perlu bersikap apa pun kepada lelaki itu selain sikap bawahan kepada atasan. Juga agar ia tidak berharap apa pun, karena selama ini sudah selalu bisa berdiri di atas kaki sendiri, tanpa lelaki siapa pun.
‘Sudah, jangan berpikir macam-macam, Retha! Kamu yang paling tahu bagaimana lelaki tampan, kaya, dan muda seperti dia tidak pernah memiliki niat serius dalam berhubungan, bukan?’
‘Jangan melakukan kesalahan yang sama. Ingat, kali ini sudah ada Paris! Jangan sampai Paris ikut merasakan kesedihan yang kamu rasakan lima tahun lalu, ditinggal oleh orang yang sangat disayangi,’ lirihnya menahan pilu dan kebekuan di dalam kalbu.
Wajah dua lelaki dari masa lalunya melintas. ‘Neil … Troy ….’ Ia panggil dua nama tersebut. Nama yang saat Gracia sebut sontak membuatnya remuk redam di dalam.
‘Kalian … bagaimana kabar kalian? Aku sama sekali tidak tahu kabar kalian, dan juga tidak mau tahu. Tapi, apa kalian tahu bahwa aku menjadi seperti ini karena kalian?’
Ia tersenyum lirih, ‘Neil, apakah kamu sudah berbaikan dengan Jayce? Setelah aku meninggalkan luka di hati istrimu, apa dia bisa memaafkanmu?’
‘Dan Troy, apa kamu sudah menikah lagi? Apa kamu sudah memiliki anak lagi dengan wanita lain? Apa Paris pernah terlintas dalam pikiranmu? Apa pernah meski hanya satu detik saja, kamu memikirkan dia, ingin tahu kabarnya?’
‘Tidakkah kamu tahu, Troy? Putramu telah tumbuh menjadi anak yang pintar dan tampan, persis seperti kamu! Dia sering bertanya kenapa dia tidak punya ayah? Lalu, aku harus menjawab apa?’
“Aretha? Kamu baik-baik saja?” colek Loraine di pundak secara tiba-tiba. “Kamu melamun apa? Kenapa wajahmu sedih sekali?”
Terkejut karena sahabatnya ada di samping, Aretha cepat mengusap mata yang sempat digenangi air tipis satu detik lalu. Ia tertawa sambil menganggeleng, “Aku baik-baik saja. Tidak, aku tidak sedih.”
“Apakah kamu menangis? Ada apa? Jenny membuat masalah? Aku dengar dari karyawan lain dia menggila karena desainnya dibatalkan oleh Tuan Keenan!” engah Loraine menggeret kursi dan duduk di hadapan teman kerjanya.
Senyum Aretha terbit untuk menutupi sayatan masa lalu. “Oh, ya? Menggila bagaimana?” Dan ia tetap menutup semua kesakitannya dengan rapat. Entah cerita kelabu sekian waktu dulu, atau apa yang baru Jenny lakukan padanya di kamar mandi.
Loraine melirik ke kanan kiri, lalu berbisik, “Aku mendengar gosip, dia marah-marah sendiri. Membanting desain yang dibatalkan. Lalu, dia menangis dan pergi dari meja kerja. Ada yang bilang, dia segera mendatangi Tuan Brice.”
Lalu, wanita berambut cokelat dan berkaca mata itu terkekeh, “Aku senang akhirnya d******i Jenny di perusahaan ini runtuh! Sudah waktunya kamu bersinar, Aretha!”
“Desainmu selalu elegan dan disukai banyak orang. Jenny gila itu yang selalu mencuri desainmu dan mengambil semua spotlight untuk dirinya sendiri! Ish, aku benci sekali dengan makhluk satu itu! Akhirnya ada yang menyadari betapa hebatnya kamu dan betapa tidak bergunanya dia!”
“Sudah, jangan berlebihan. Desainku biasa saja. Tapi, mungkin Tuan Keenan merasa cocok dengan apa yang kubuat. Perhiasan itu masalah selera,” ucap Aretha merendah, lalu tertawa pelan. “Dan jangan bahas lagi soal Jenny selalu mencuri desainku. Nanti kamu kena masalah dengannya!”
“Ah, tidak, tidak! Desainmu selalu yang terbaik! Pokoknya, aku senang Jenny berhasil dikalahkan. Dia tidak mengganggumu, ‘kan? Kenapa kamu menangis?”
Tawa Aretha meluncur ringan, “Aku tadi terjatuh di kamar mandi hingga lututku lecet. Pipiku juga agak sakit karena mengenai wastafel. Aku tadi hanya merasa bodoh, kesal dan sakit saja gara-gara terpeleset, makanya ingin menangis.”
Loraine merangkul sahabatnya. “Ya, sudah. Aku akan turun ke kantin dan membelikan minuman kesukaanmu. Semoga bisa mengurangi sakitmu, ya! Anggap saja sekalian sebagai perayaan karena karyamu terpilih oleh Tuan Keenan!”
Senyum Aretha mengembang. “Loraine! Kamu adalah sahabat terbaikku!”
***
Di kamar hotel yang mewah dan rahasia, sepasang anak manusia baru saja melepas hasrat birahi mereka. Lelakinya sudah memiliki tunangan dan akan menikah beberapa bulan lagi, sementara yang wanita adalah karyawannya sendiri.
“Uuhh, aku suka saat kamu di atas, Love! Kamu sungguh seksi!” kekeh Brice membelai pipi Jenny.
“Kalau tunanganmu yang di atas, kamu juga senang?” sahut Jenny menyindir, tersenyum pahit. Ia kemudian duduk di pinggir ranjang, menyalakan sebatang rokok, menyembur asapnya ke udara. “Kamu akan mengunjungi dia di Washington selama satu minggu, pasti dia akan terus ada di atas dan di bawahmu!”
Brice tertawa, “Buat apa memabahas wanita itu? Aku tidak mencintainya lagi, aku mencintaimu! Ayolah, jangan cemburu begitu. Duniaku menjadi lebih berwarna sejak adanya kamu,” rajuk lelaki mata keranjang itu mengusap paha lembut.
Jenny menatap malas, “Sudah di sini karyaku dibatalkan oleh sepupumu. Eh, kamu juga harus ke Washington untuk menemani tunangan sialanmu itu membuka swalayan baru! Nasibku sungguh sial!”
Lengan Brice melingkar di pinggang yang polos tak tertutup sehelai benang. Ya, mereka masih sama-sama tak berpakaian. Kecupan sang pria hadir di pundak dan punggung. “Aku akan mengatasi Keenan. Tenanglah, tak lama lagi pasti posisi CEO akan diberikan kepadaku.”
Menoleh, lalu Jenny bercerita. “Aku tadi menghajar Aretha di kamar mandi. I swear, Brice! Aku benci sekali dengan dia! Seharusnya, dari dulu sudah kita tendang dia keluar Raymond & Co supaya aku tidak punya saingan!” desisnya.
“Kamu hajar bagaimana? Kenapa kamu berbuat itu! Kalau dia melapor pada Keenan semua akan menjadi runyam! Tahanlah emosimu, Jenny! Kita harus melakukan segala sesuatu dengan diam-diam!” erang Brice tidak menyetujui kelakuan barbar kekasih gelapnya.
Terkekeh sinis, wanita itu menjawab. “Aku mendorongnya hingga dia terjatuh di kamar mandi. Lalu, aku tendang lututnya hingga lecet dan berdarah.”
“Kamu jangan begitu lagi! Dia bisa melapor kepada Keenan dan tamatlah riwayatmu!” tukas Brice menatap serius.
“Aku sudah mengancamnya! Kalau dia berani lapor kepada Keenan, aku akan membuat hidupnya sengsara. Bahkan, aku ancam anaknya akan kehilangan ibu kalau dia berani macam-macam!” kikik Jenny, mengepulkan asap putih dari bibir merahnya.
Brice ikut duduk di sebelah wanita simpanannya, mengambil batang rokok dari jemari lentik, lalu menghisapnya dalam. Sambil mengeluarkan asap, ia berkata, “Kamu harus hati-hati. Aretha memang sejak dulu lemah dan selalu diam saat desainnya kamu curi.”
“Tapi, dulu kamu selalu memiliki aku untuk back up dan menyelesaikan semua masalahmu. Sekarang, Keenan sudah menggantikan aku menjadi CEO. Sekarang, aku hanya direktur humas yang tidak punya kuasa apa pun lagi, Love. Kamu harus memahami itu, okay?”
Jenny mengerutkan bibir, cemberut dengan kenyataan yang memang benar. Lelaki yang selalu ia andalkan bernama Brice Raymond itu sudah tidak lagi memiliki kuasa apa pun. “Kapan kamu bisa jadi CEO lagi? Aku muak menjadi orang yang tidak berdaya seperti sekarang!”
Brice tersenyum, “Sebentar lagi kita akan memasuki Winter Campaign. Sebagai direktur humas, semua publikasi iklan, pers conference dan sejenisnya akan menjadi tanggung jawabku. Aku yang akan mengatur semuanya.”
Mantan CEO itu terkekeh culas. “Dan aku akan mengacaukan semuanya. Aku akan membuat Keenan nampak buruk di mata direksi. Winter Campaign kali ini akan gagal total! Produk Aretha tidak akan berhasil di pasaran.”
Jenny tersenyum lebar, lalu mencium bibir kekasihnya dengan bernafsu. “Dan saat itu terjadi, kamu akan meminta posisi CEO dikembalikan kepadamu, bukan?”
“Tentu saja, Love! Saat itu terjadi, CEO akan dikembalikan kepadaku! Lalu, kita akan kembali menjadi raja dan ratu di Raymond & Co!”
***
Weekend, seperti yang pernah Paris katakan, dia dan ibunya biasa menghabiskan hari libur dengan menonton film di rumah sambil memesan makanan antar saja.
“Coba Mommy kemarin terima ajakan Paman Keenan untuk jalan-jalan ke pantai. Pasti sekarang kita sudah bersenang-senang di sana,” gumam sang bocah sedikit cemberut.
Aretha menghela lirih, lalu menatap sendu. “Paman Keenan itu orang sibuk. Kita jangan mengganggunya, ya? Memangnya kamu sudah tidak suka lagi menghabiskan waktu dengan Mommy di rumah?”
Paris bermanja di pundak ibunya, “Tentu saja aku suka dengan Mommy di rumah. Tapi, aku juga ingin ke pantai. Setiap selesai weekend, saat masuk sekolah, ada saja teman bercerita kalau dia baru selesai liburan.”
“Ada yang ke gunug, ada juga yang ke pantai. Aku tidak pernah bisa bercerita apa-apa. Kenapa kita tidak pernah liburan, Mommy? Kenapa kita hanya di rumah saja?”
Hati Aretha teriris. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa gajinya sudah habis untuk membayar kebutuhan rumah tangga, gaji Gracia, perbaikan ini itu, dan juga untuk tabungan kuliah sang bocah.
Di Amerika, biaya kuliah per tahun bisa mencapai belasan bahkan puluhan ribuan dollar. Maka, selama empat tahun menempuh pendidikan, ia harus menyiapkan puluhan hingga ratusan ribu dollar. Bagaimana caranya jika tidak mulai menabung dan investasi dari sekarang?
Apalagi, dia adalah seorang single mother. Semua biaya ditanggung sendiri tanpa hadirnya seorang partner untuk berbagi beban.
“Aku ingin seperti anak-anak yang lain, Mommy,” tandas Paris menatap sedih.
Tatapan sedih itu menghunjam hati terdalam Aretha, membuatnya jauh lebih sedih karena tidak bisa memenuhi keinginan anaknya. Meski tahu ini adalah yang terbaik, tetap saja ia merasa sebagai ibu yang kurang baik jika hal ini terjadi.
“Mommy akan usahakan kita bisa berlibur, ya? Nanti Mommy pikirkan lagi,” jawab Aretha membelai kepala penyemangat hidupnya.
Entah bagaimana caranya, mungkin ia akan mengurangi biaya makan siang di kantor supaya bisa pergi berlibur sesekali dengan anaknya ini. Apa yang tidak akan dilakukan seorang ibu untuk menyenangkan buah hati?
Suara bel pintu terdengar, Paris segera bangkit. “Aku saja yang membukanya.”
Aretha mengangguk, lalu kembali menatap lirih pada televisi. ‘Maafkan Mommy yang belum bisa memberikah kehidupan layak untukmu, Paris ….’
Langkah lelaki mungil mendekati pintu, lalu membukanya. Apa yang kemudian ia serukan membuat Aretha sontak menoleh ke belakang.
“Paman Keenan!”
“Halo, Paris!”
Aretha ternganga, tidak percaya melihat bosnya ada di depan pintu rumah. Apalagi, lelaki itu membawa satu buket mawar merah. ‘Tuhan, mau apa dia kemari?’
Keenan mengadu pandang dengan Aretha, lalu melambaikan tangan sambil berucap, “Hai ….”
“Masuklah, Paman! Ayo, masuk ke rumahku!” Paris sontak menarik lengan sang lelaki dan menggeretnya menuju Aretha. “Mommy! Lihat siapa yang datang! Iron Man yang datang, Mommy!”
Mendengar itu, Keenan tertawa lepas karena disebut Iron Man. Ia sampai di depan Aretha yang masih duduk termangu menatapnya bingung. “Hai, Aretha. Aku membawakan sesuatu untukmu.”
Lalu, ia menyodorkan satu buah buket bunga mawar merah. Mungil memang, tetapi sangat indah dan segar. “Untukmu …,” ulangnya karena Aretha masih bengong.
Gracia muncul dari dapur, mengambil bunga tersebut, “Saya akan letakkan di vas. Bunga yang sangat indah, Tuan Keenan! Anda memang sangat mengerti keinginan Nyonya Aretha!” kekeh baby sitter itu mengedipkan mata.
JIka Paris dan Gracia begitu gembira menyambut kehadiran Keenan, Aretha justru terus tergagu, “Se-selamat siang, T-Tuan … Tuan Keenan. A-ada apa kemari?”
Keenan mengusap tengkuknya untuk mengatasi rasa gugup, “Uhm, aku tadi ada perlu dekat sini. Jadi, aku putuskan untuk mampir. Siapa tahu acara pergi dengan teman-temanmu tidak jadi. Ternyata, kamu memang di rumah.”
“Oh, yaaa,” engah Aretha salah tingkah. “Ya, uhm … acaranya dibatalkan mendadak karena ada yang sakit!”
Sudah jelas ketahuan kalau dia memang kemarin berbohong soal pergi dengan teman-temannya. Saat itu ia menolak untuk diajak pergi, dan ternyata di sinilah Keenan, tetap datang meski sudah ditolak.
Paris berbisik pada Gracia. “Kenapa Mommy berbohong? Katanya berbohong itu dosa? Mommy tidak ada acara apa pun yang dibatalkan?”
“Psst! Orang dewasa boleh berbohong jika dibutuhkan!” jawab Gracia terkikik.
Keenan masih menatap lekat. Mata lelaki itu begitu teduh, menggetarkan jiwa wanita mana pun jika sedang menatap. “So, uhm … aku ingin mengajakmu dan Paris jalan-jalan ke pantai. Gracia juga boleh ikut kalau mau!” ucapnya sumringah, bergurau, penuh harap mendengar kata iya.
Paris terbelalak, lalu melompat kegirangan. Ia menghampiri Keenan, memeluk pria itu sambil terus melonjak-lonjak. “Kita ke pantai, Paman? Bermain di pasir? Membeli es krim dan bermain layangan?” pekiknya mengingat semua keseruan yang sering diceritakan oleh teman-teman sekolah.
“Yeah, sure! Kita juga akan membeli hotdog, minuman dingin, semuanya!” angguk Keenan balas memeluk, membiarkan bocah itu melonjak riang meski terkadang kakinya terinjak dan sakit. Akan tetapi, ia terus tersenyum saja.
Paris ganti memeluk, melompat-lompat di depan ibunya. “Please, Mommy? Please, please, please! Just say yes, please? Katakan iya, Mommy!”
Bergemuruhlah d**a Aretha. Ia sebenarnya tidak mau berangkat karena tidak mau ada kedekatan lebih dengan bosnya sendiri. Namun, melihat mata putranya yang begitu memelas, ibu mana yang tega?
Menghela pasrah, “Ya, baiklah. Ayo, ganti baju dan kita ke pantai.”
***
Sampai di pantai Malibu saat hari menjelang sore, keindahan alam langsung menyambut mereka. Udara segar berbau aroma laut begitu menyenangkan.
Turun dari mobil SUV dengan merek Porsche, Paris tersenyum sangat lebar. Ia menggandeng tangan Gracia yang benar-benar ikut diajak oleh Keenan menuju gerbang masuk pantai.
Memang usaha Keenan tidak kaleng-kaleng. Semua yang dekat dengan Aretha ia ajak untuk disenangkan hatinya sore ini. ‘Anggap saja sebagai permintaan maafku sudah membuatmu bingung gara-gara Jamie kemarin,’ kekeh sang lelaki dalam hati.
Ketika rambut panjang Aretha bermain di udara terkena terpaan angin, Keenan tertegun dalam kekaguman. Ia seperti melihat sebuah pemandangan terindah dalam hidup. Khususnya karena pemandangan itu menghadirkan getaran tersendiri dalam jiwa.
Mereka berjalan bersama-sama. Tidak lupa Russel dan dua orang bodyguard mengiringi dari belakang.
“Sudah lama aku tidak ke pantai,” ucap Aretha tersenyum sendu, menyapu pandang pada lautan biru, menghampar di hadapan.
“Oh, ya? Well, aku senang kamu mau menerima ajakanku ke pantai,” sahut Keenan tersenyum sama sendu. Lalu, mereka saling bertatapan dengan sorot yang … begitulah.
Mendadak, terdengar seru riang Paris. Ternyata, ia bertemu dengan salah satu teman sekelasnya. Mereka saling menyapa dengan gembira.
Aretha mendekat bersama Keenan di sampingnya. Ia menyalami ibu sang bocah lelaki yang sedang bersenda gurau dengan anaknya. “Hai, saya Aretha, Mommy-nya Paris.”
“Hai, saya Lucille, Mommy-nya Timmy,” jawab wanita pirang itu menjabat tangan Aretha.
Anak lelaki yang bernama Timmy itu merupakan sahabat kental Paris di sekolah. Ia kemudian menatap pada Keenan dan bertanya, “Paris, apakah dia ayahmu?”
BERSAMBUNG