Ch.08 Cemburu Buta

2177 Kata
Ketika melihat Jenny ternyata ada di belakangnya, bahwa teman kerjanya itu yang mendorong hingga terjatuh, bukan main terkejutnya Aretha. “Je-Jenny?” engah sang wanita menggeleng lirih. “Iya! Ini aku! Kenapa? Tidak terima, hah? Kamu itu b******k, Aretha!” maki Jenny mendadak menendang kaki lawannya, tepat di daerah lutut. Sontak, Aretha menjerit sakit dengan rasa nyeri menyarang di lutut sebelah kiri. “Aduuuh!” pekiknya secara reflek. Belum sempat ia berdiri dan mengambil sikap bertahan, apalagi melakukan perlawanan, Jenny sudah melayangkan satu tamparan kencang di pipi, berlanjut dengan sebuah jambakan di kulit kepala. Wanita kejam berdesis, “Apa kamu lupa siapa aku, hah? Berani-beraninya kamu membuat desain yang lebih bagus dari desainku hingga karyamu yang terpilih oleh Tuan Keenan! Bangs*t kamu, Aretha Queen!” Mencengkeram tangan Jenny, Aretha mulai merasa perih di bagian atas kepala. “Lepaskan rambutku! Sakit! Sakit!” rintihnya menggerak-gerakkan pergelangan musuh bebuyutannya tersebut. Akan tetapi, sepertinya cengkeraman Jenny makin kuat! Hal ini membuat kepalanya semakin sakit. Lengkap sudah! Lutut, pipi, hingga pucuk kepala semua kesakitan akibat ulah wanita brutal satu ini. Jenny kembali terkekeh, “Ingat, Aretha! Aku dan Brice Raymond memiliki sesuatu yang tidak kamu punyai di kantor ini! Sekarang, mungkin Tuan Keenan memiliih karyamu! Tapi, aku bisa membuatmu dipecat dari sini jika aku mau!” ancamnya dengan seringai berkuasa. Aretha yang sejak awal selalu memilih untuk diam dan hidup tenang kini mulai merasa ada sesak menyelinap di dalam jiwa. Pergantian CEO menyebabkan Brice Raymond tersingkir. Sudah jelas, pasti ada masalah internal di antara kedua sepupu tersebut. Dan sekarang, ia terjebak di dalam permasalahan tersebut. Suara Jenny kembali terdengar, justru kian mengancam. “Ingatlah! Ayah Brice masih saudara dan salah satu pemilik perusahaan ini! Aku bisa membuatmu terlihat sangat jelek dan tidak kompeten jika aku mau! HRD akan bertekuk lutut di bawah kakiku!” “Sekali lagi kamu mengagalkan aku dari mendapat pusat perhatian di Raymond & Co, hati-hatilah, Aretha! Bukankah anakmu sudah tidak memiliki ayah, hmm? Bagaimana jika dia tidak memiliki ibu juga? Apa dia akan masuk ke rumah yatim piatu?” Aretha menjerit, meronta, “Apa maksudmu! Jangan bawa-bawa anakku! Dia tidak ada hubungannya dengan ini!” Ibu satu anak itu menggelengkan kepala, berusaha melepas jambakan tangan Jenny dari atas kepalanya. Namun, semakin banyak dia bergerak, semakin keras cengekraman sang wanita berbisa, semakin sakit pula kepalanya. Jenny tertawa lepas, culas! “Ingat pesanku, bodoh! Jangan lagi kamu melebihi aku dalam hal apa pun! Kalau kamu masih terus berusaha mengalahkan aku, well … sebaiknya kamu mulai cari rumah yatim piatu dari sekarang!” “Kembalilah menjadi Aretha yang t***l dan diam setiap desainnya kucuri!” kekeh Jenny mengakui terus terang kalau dialah yang selama ini menjiplak karya rekan kerjanya. “Teruslah menjadi Aretha yang penurut seperti itu, maka posisimu aman!” Mendadak, Jenny menarik lengannya ke belakang hingga kepala Aretha makin terdongak, mata pun meringis sakit. Kekasih gelap direktur humas berbisik mendesis, “Berani lapor kejadian ini kepada Tuan Keenan, atau kepada siapa pun juga, aku tak segan menghabisimu!” “Percayalah, aku bisa membuat hidupmu menjadi neraka jika berani melapor pada Tuan Keenan! Pikirkan baik-baik sebelum kamu buka mulut!” “Sekarang, akan kumaafkan kamu meski sudah berani mengambil posisiku sebagai ikon koleksi musim dingin tahun ini! Tapi, aku tidak akan berbaik hati untuk selanjutnya!” Air mata Aretha sudah nyaris keluar saking sakitnya rambut dijambak ke belakang hingga kepala mendongak. Ia tak bisa menjawab apa-apa. Hanya bisa meneriaki diri sendiri kenapa jadi begini? Langkah Jenny terlihat menjauh, menuju pintu kamar mandi, lalu wanita itu memutar kuncinya dengan perlahan. Menoleh ke belakang, memberikan wajah culas dan bengisnya, lalu kembali mengancam. “Ingat! Buka mulut, jangan salahkan aku kalau anakmu menjadi yatim piatu! Hahaha!” desis sang wanita bermata sipit, kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi. Napa Aretha tersengal hebat ketika Jenny sudah keluar dari sana. Ia memandangi kedua telapak tangan yang gemetar akibat peristiwa barusan. Tidak hanya tangan, bibir pun ikut gemetar saking takutnya. Dengan mengumpulkan segenap tenaga, ia mencoba untuk berdiri. Meski tertatih, meski harus memegangi wastafel untuk dijadikan tumpuan, akhirnya kedua kaki bisa menopang berat tubuh, walau masih terasa sangat lemas. ‘Ya, Tuhan, kenapa aku jadi begini? Kenapa aku terjebak di antara Tuan Keenan dan Tuan Brice? Kalau sudah begini, sama saja aku seperti berada di tim Tuan Keenan melawan Jenny yang ada di tim Tuan Brice!’ jeritnya tanpa suara. Hanya satu tetesan bening yang meluruh membasahi permukaan wastafel yang menjelaskan kegundahannya saat ini. ‘Aku sudah hidup tenang selama lima tahun terakhir, kenapa Keenan harus datang dan mengusik semua?’ ‘Dia mengusik Paris dengan memberikan hadiah robot Iron Man yang mahal itu! Dia mendatangiku seakan dia menginginkan aku! Padahal, kita semua tahu bahwa pria kaya yang tampan semua adalah b******k!’ Ingin sekali Aretha menangis sesenggukan saat ini. Wajah mantan kekasih serta mantan suami yang sudah membuat hidupnya sedemikian pedih melintas bergantian. Merekalah yang membuatnya berpikir bahwa lelaki kaya yang tampan adalah sumber masalah. Menggeleng, meremat tangannya sendiri, lalu menatap pada kaca. Ada bekas merah, sisa tamparan Jenny di pipi kirinya. Perih? Tentu saja! Akan tetapi, ia lebih perih saat memikirkan hari-hari ke depan. Sudah begini, Jenny pasti akan terus mengganggu dan menjatuhkannya! Wanita itu tidak mungkin diam saja, bukan? ‘Aku harus lebih berhati-hati setelah ini. Ya, Tuhan, hidupku yang tenang sudah mulai kacau lagi. Kalau aku kembali menderita di Los Angeles, ke mana lagi aku harus pindah?’ ‘Aku tidak mungkin kembali ke Lake Camp! Di sana begitu banyak kepahitan serta rasa sakit bagiku! Kenangan buruk, membuatku tak pernah bisa tidur dengan nyenyak!’ Kebahagiaan karena karyanya terpilih untuk menjadi ikon musim dingin berganti dengan isak tertahan serta beberapa butiran bening di pipi. ‘Di Lake Camp aku hanyalah w************n! Dituduh menjadi perusak rumah tangga orang lain! Bagaimana Paris bisa hidup dengan keadaan ibunya seperti ini?’ Menatap wajah sembab di kaca, ia memaksa diri untuk tersenyum. ‘Aku harus kuat! Aku hanya harus lebih berhati-hati dan menghindari masalah dengan Jenny! Aku juga tidak boleh terlalu dekat dengan Tuan Keenan karena itu hanya akan mendatangkan masalah!’ Tersenyum kelu, pilu, ‘Ada sebuah alasan kenapa manusia harus belajar dari masa lalu. Dan bagiku, itu adalah agar bisa menghindari pengulangan kepedihan yang sama ….’ *** Berjalan sambil menahan rasa perih di lutut, pipi, serta kulit kepala, Aretha baru saja meninggalkan mini market di lantai lobby kantornya. Di sana, ia membeli satu buah plester yang digunakan untuk menutup luka di lutut akibat sepakan ujung sepatu Jenny. Berjalan sambil menunduk, enggan jika ada yang mengetahui bekas tamparan di wajah, atau pun bekas air mata di pipi. Biarlah semua ia simpan sendiri. Bukankah selama ini seluruh kesakitan itu selalu ia terima seorang diri? “Ada apa dengan kakimu?” Mendongakkan kepala, nyaris saja ia menubruk lelaki yang bertanya barusan. Ketika melihat siapa yang menanyakan, napas sontak memburu tertahan. Keenan menatap Aretha dengan lekat. Begitu melihat bekas merah di pipi serta mata yang cukup sembab, ia sontak terkejut. “Kamu kenapa? Kamu sakit? Kenapa pipimu merah seperti lecet? Matamu juga seperti barusan menangis?” “Percayalah, aku bisa membuat hidupmu menjadi neraka jika berani melapor pada Tuan Keenan! Pikirkan baik-baik sebelum kamu buka mulut!” ancaman Jenny terngiang dengan sangat jelas di telinganya. Maka, Aretha sontak menggeleng, lalu tersenyum. Ia selalu begini, tersenyum untuk menutupi rasa perih atau pun rasa sakit yang menyerang seluruh penjuru hati. “Saya tadi terjatuh di kamar mandi.” Dan dengan lugasnya, ia berdusta. Terlalu takut hidupnya kembali kacau dan tak beraturan seperti saat di Lake Camp, memilih untuk menyembunyikan apa yang terjadi. Jenny bukan wanita yang mudah menyerah, maka ia lebih baik menurunkan harga diri, ego, atau apa pun itu agar tidak tercipta masalah lebih lanjut. “Kamu terjatuh di kamar mandi? Kok, bisa? Bagaimana ceritanya!” Saking khwatirnya, Keenan sampai mengangkat tangan dan hendak menyentuh pipi Aretha yang merah lecet akibat tamparan Jenny. Namun, bundanya Paris segera mundur satu langkah, menghindari sentuhan Keenan untuk yang kesekian kalinya. Menunduk, menahan gemuruh bertalu. Keenan menghela napas panjang, “Maaf, bukan bermaksud lancang menyentuh wajahmu. Aku hanya sangat khawatir dan ingin memastikan apakah ada luka atau tidak. Bagaimana kalau aku antar ke dokter? Supaya diperiksa lebih jelas?” “I mean, kamu sampai menangis, bukan? Pasti sakit,” tatapnya khawatir. “Tidak usah, Tuan! Ini hanya luka lecet saja! Tadi, saya terpeleset hingga pipi membentur wastafel. Saya menangis sebentar, sekarang sudah membaik, kok,” geleng Aretha, terus mengatakan pada diri sendiri agar jangan terbuai dengan tatap dan suara sendu yang mengkhawatirkan dirinya. Ia tersenyum sopan, “Permisi, saya mau naik lift dulu, kembali ke meja dan mengerjakan desain untuk koleksi musim dingin. Bagian produksi tadi meminta sedikit penyesuaian.” “Ya, sudah, kita jalan berdua. Aku akan menemanimu naik lift, hanya untuk memastikan kamu bisa berjalan dengan baik sampai ke mejamu,” balas Keenan dengan senyum yang sama sopan, tetapi juga menyelipkan kehangatan di sana. Menghela napas panjang, mana bisa Aretha mencegah bosnya untuk ikut naik lift bersama? Ia mengangguk, mulai berjalan. “Hai, Aretha!” sapa seorang lelaki yang melintas ketika mereka mendekati lift. “Hai, Jamie!” angguk Aretha kembali melontarkan senyum. Mata Jamie terkejut, “Ada apa dengan pipimu?” “Aku tadi terjatuh di kamar mandi.” Keenan yang berjalan di samping Aretha mengamati karyawan lelakinya yang bernama Jamie. Mata sedikit memicing karena sepertinya lelaki itu tidak tahu siapa dirinya. Namun, ia hanya diam dan memperhatikan. “Apakah kamu terluka? Kamu baik-baik saja?” Jamie pun nampak khawatir, sama seperti Keenan tadi. “Hanya sedikit lecet. Sudah, aku tidak apa-apa. Aku mau ke mejaku dulu untuk kembali bekerja, ya.” “Bagaimana kabar mobilmu? Apa masih sering mogok? Sudahlah, jual saja dan ganti mobil lagi,” tawa Jamie, nampak ingin mengobrol lebih lama. “Untung beberapa waktu lalu ada aku di parkiran, jadi bisa membantumu.” Aretha ikut tertawa canggung. Sesekali ia melirik pada Keenan dan bertanya-tanya kenapa lelaki itu hanya diam saja memperhatikan sedari tadi? Kenapa tidak berkata apa-apa bahwa dialah pemilik perusahaan itu, bos, CEO, atau lain sebagainya? Kenapa hanya terus memperhatikan Jamie yang juga cuek saja dengan keberadaan Keenan. “Ya, untung ada kamu. Memang kamu adalah the real live saver! Coba tidak ada kamu, mobilku sudah kutinggal di kantor dan pulang naik taksi seperti malam itu,” liriknya pada Keenan. Maksud malam itu adalah malam di mana ia menemukan sang lelaki bersimbah darah di pekarangan rumah. Jamie manggut-manggut dengan wajah sedikit merona merah. Sepertinya, ia berbunga dengan pujian Aretha yang mengatakan dirinya The Real Life Saver. “Ah, aku hanya membantu sesama teman kantor!” “Tapi, kalau memang suatu hari mogok lagi, kamu bisa meneleponku. Meski tengah malam, hujan badai, aku pasti akan datang membantu!” tandasnya tersenyum malu-malu. “Kamu bisa memberi alamat rumahmu. Jadi, jika membutuhkan bantuan, aku akan langsung datang ke sana.” Keenan menggembungkan d**a, kemudian melepas napas kasar sambil berdehem. Sepertinya, ia mulai panas dengan ucapan-ucapan karyawannya yang berasal entah dari divisi mana. Ia menatap lekat sambil tersenyum dingin pada Jamie, “Bukankah jam istirahat sudah habis? Tidakkah kamu ingin kembali bekerja? Jangan sampai atasan menilaimu lalai!” Terkejut karena ditegur begitu, kening Jamie mengernyit. “Kamu siapa? Kenapa mengatakan begitu? Aku hanya mengobrol dengan Aretha.” Aretha terbelalak, cepat menarik Jamie dan berbisik. “Apa kamu sudah gila? Dia Tuan Keenan Raymond! Pemilik perusahaan ini!” “Apaaaa!” pekik Jamie sambil terperangah! “Mati aku!” Ia cepat menghampiri Keenan kembali dan meminta maaf sambil membungkuk berkali-kali. “Maafkan saya, Tuan Keenan! Maafkan saya!” “Hmm, sudah sana, cepat bekerja!” desis Keenan mengembus jengah. Matanya tajam memandangi Jamie yang berlari cepat, memilih menggunakan tangga untuk naik ketimbang menaiki lift bersamanya. Berdua, Keenan dan Aretha sampai di depan lift. Lelaki itu berkali-kali melirik dengan sorot kesal, meski ia tidak bisa menjelaskan alasan kekesalannya. Yang jelas, melihat Aretha mengobrol dengan Jamie, mendengar lelaki itu berjasa pada wanita yang sedang membuatnya tertarik, menjadikannya kesal! Sambil menunggu lift terbuka, ia bertanya, “Memangnya mobilmu sering rusak?” “Iya, Tuan. Mobil lama, keluaran tahun 2000-an. Sudah 20 tahun lebih usianya,” angguk Aretha, menatap satu detik, lalu kembali memandang lurus ke arah lift, bukan ke arah bosnya. Keenan manggut-manggut, “Oh, jadi kalau mogok di kantor, Jamie siapa itu, dia yang spesialisai menolongmu? Ck, hebat sekali dia!” desisnya tersenyum tidak tulus. Mendengar suara Keenan yang berubah tidak seramah biasa, Aretha terkejut. Ia reflek menoleh, dan makin terkejut karena tidak hanya suara, ternyata wajah pun sudah berubah muram. Mendadak, Keenan menoleh, “Aku akan menyediakan mobil kantor untukmu! Mulai besok, kamu akan berangkat naik mobil kantor!” Aretha cepat menggeleng, “Maaf, Tuan, saya tidak bisa menerimanya.” “Kenapa?” dengkus Keenan makin menatap lekat. “Karena hanya manajer ke atas yang mendapat fasilitas mobil kantor. Saya bukan manajer, tidak pantas mendapatkannya. Nanti, jadi pergunjingan. Sudah, biarkan saya memakai mobil lama itu saja, meski sering mogok.” Keenan terkekeh dingin, “Kamu ingin memakai mobil lamamu terus menerus supaya kalau mogok bisa memanggil Jamie itu, ‘kan? Kamu suka dengan dia? Kamu mau mengijinkan dia datang ke rumahmu?” “Aku kira, hanya aku lelaki yang pernah ke rumahmu?” BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN