Aretha berlari menuju lift. Jam di tangan menunjukkan pukul 07.57. Ia harus bergegas menuju ruangan kerjanya untuk menekan sidik jari di mesin absen. Tidak biasanya dia telat, hanya saja hari ini mobil tuanya membuat masalah, ditambah dengan ada perbaikan jalan ketika menuju sekolah Paris.
“Wait! Wait! Tunggu aku!” serunya tanpa tahu siapa yang ada di dalam lift tersebut. Begitu melihat pintu lift mulai menutup, ia melakukan gerakan sliding di lantai marmer mengikilat, meski menggunakan hak tingginya untuk meluncur. Berhenti tepat di depan lift.
“Please, open up!” serunya menekan tombol yang memiliki ikon panah ke atas.
Alam masih berpihak kepadanya, pintu terbuka dan ia segera tersenyum lebar sambil terengah. "Thanks, God. Aku tidak boleh terlambat! Terima kasih karena be—”
Melihat siapa yang ada di dalam lift, senyumnya langsung ditarik kembali dan wajah menjadi tegang seketika. ‘Mati saja aku!’ engahnya pucat pasi.
Keenan melihat seorang wanita dengan rambut hitam panjang tergerai bebas, bibir merah tua, di mana wajahnya begitu memukau, nyaris sempurna. Jantung lelaki itu berdebar kencang, tak menyangka bisa bertemu di sini.
“Ka-kamu?” Keenan terbata, lalu memanggil, “Aretha … Aretha Queen, benar?”
Aretha tersenyum gugup, lalu mengangguk. Niatnya memasuki lift segera dibatalkan. “Ya, Tuan Keenan. Saya Aretha Queen. Maaf mengganggu, saya akan naik lift berikutnya.”
Kening Keenan mengernyit, “Memangnya kenapa kalau naik lift denganku? Ada masalah? Katanya tadi, kamu tidak boleh terlambat? Aku mendengar teriakanmu dari dalam lift, makanya aku membuka pintu kembali.”
“Uhm, iya, saya memang sudah nyaris terlambat. Tapi, tidak sopan bagi seorang pegawai untuk ada di lift yang sama dengan bosnya,” terang Aretha sambil tersenyum sungkan.
Bahu Keenan mengendik, “Aku tidak merasa ada kelancangan. Ayo, cepatlah naik sebelum HRD menganggapmu telat. Dua menit lagi sudah jam 08.00.”
Memandang ragu selama beberapa detik, Aretha akhirnya masuk ke dalam lift tersebut. Sepanjang ia bergerak dan melangkah masuk, Keenan terus memperhatikan dirinya mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.
‘Dia terlihat lebih cantik dari saat bertemu di rumah sakit kemarin! Dia cantik sekali dalam cahaya terang seperti sekarang!’ gumam Keenan dalam hati, memandangi karyawannya terus menerus.
Sadar sedang dipandang tanpa jeda, Aretha semakin salah tingkah dan menahan napas. Berkali-kali melihat penunjuk lantai di lift, berharap segera sampai ke tempatnya bekerja.
Begitu lift terbuka, ia segera berlari keluar. Akan tetapi, sebelumnya tetap memberi ucapan hormat kepada Keenan. “Terima kasih karena sudah membuka kembali pintu lift untuk saya, Tuan. Permisi, saya pergi bekerja dulu.”
Setelahnya, pintu lift kembali tertutup. Keenan menatap bingung kepada Russel. “Kenapa aku bisa tidak tahu dia adalah karyawanku?”
Russel berpikir sejenak, lalu menjawab. “Sejak di rumah sakit, Tuan tidak pernah menyuruh saya untuk mencari data diri beliau. Saya pikir, karena Nyonya Aretha menolak amplop dari Anda, itu sudah di akhir cerita. Selain itu, Tuan sibuk mendekati para anggota dewan direksi untuk pertemuan hari ini.”
“Dan tentunya sibuk melarikan diri dari puluhan kencan buta yang diatur oleh ibuku!” geleng Keenan teringat masih disuruh melakukan kencan buta nanti malam.
Tawa asisten pribadinya terdengar renyah, “Yah, kalau itu saya pun tidak bisa berbuat apa-apa, Tuan. Nyonya Alice begitu mendambakan menantu dan cucu dari Anda.”
Sampai di lantai tujuh, tempatnya para big boss berada, Keenan keluar dari lift diikuti dengan Russel dan juga kedua bodyguard. Seorang wanita tergopoh menyambut kedatangannya.
“Ruang rapat sudah disiapkan, Tuan Keenan. Para direksi dikabarkan juga sudah dalam perjalanan menuju kemari. Tepat pukul 08.30 rapat akan dimulai,” lapor wanita tersebut. Dia adalah kepala bagian umum yang mempersiapkan rapat penting pagi ini.
Keenan mengangguk, raut wajahnya berubah menjadi dingin dan serius, tidak seperti saat bertemu Aretha di lift tadi. “Di mana sepupuku?”
“Maksud Anda Tuan Brice?” tanya wanita kepala bagian umum.
“Ya, Brice. Di mana dia? Apakah dia belum datang? Ini sudah jam 08.00. Bukankah dia seharusnya sudah ada di kantor, di ruang kerjanya?” desis Keenan menyelidik.
Kepala bagian umum nampak ragu dan bingung untuk menjelaskan, tetapi ia terpaksa berkata apa adanya. “Uhm, Tuan Brice biasanya baru datang pukul sembilan atau pukul sepuluh di kantor. Beliau tidak pernah datang jam delapan.”
Mata Keenan memicing, ekspresi tidak senang jelas terlihat di wajahnya. “Aku mau dia datang di rapat ini sekarang juga! Hubungi sekretarisnya, asistennya, siapa saja, aku tidak peduli!”
“Pokoknya, dia punya setengah jam untuk segera muncul di rapat hari ini. Jika dia tidak muncul, maka jangan harap aku memberinya kesempatan sekali lagi!”
Mengangguk gugup, kepala bagian umum berucap, “Baik, Tuan. Akan saya hubungi sekretaris Tuan Brice dan mengatakan masalah ini.”
Keenan merapikan jasnya, mengetatkan kembali bagian depan perut, lalu melangkah dengan gagah menuju ruang rapat direksi. Di sana belum ada yang datang, maka ia duduk terlebih dahulu di kursi pemimpin rapat.
“Kopi atau teh, Tuan?” tanya Russel.
“Black cofee saja, no sugar,” jawab Keenan. “Dan tolong taruh semua berkas yang sudah kupersiapkan di sini. Bagikan copy three years annual revenue kepada seluruh peserta. Taruh di depan kursi mereka masing-masing.”
“Siap, Tuan.”
“Aku mau bertanya kepada mereka, kenapa bisa laba perusahaan terus menurun dalam tiga tahun terakhir, dan kenapa semua seolah diam tak berbuat apa pun?” desisnya menyatukan jemari, lalu meletakkannya di depan bibir, sembari menyentuhkan siku di atas meja.
***
Makin mendekati waktunya rapat, para direksi mulai berdatangan dan duduk di kursi yang telah disediakan. Satu per satu mereka menyalami putra pertama pemilik perusahaan tersebut. Hingga pukul 08.45, batang hidung Brice tak juga nampak sehingga Keenan tak bersedia memulai rapat.
“Apa kalian semua tidak pernah memperhatikan kinerja Brice? Sepupuku itu memang pintar dan ahli soal perhiasan. Tapi, dengan attitude yang buruk, mana bisa kita maju?” desisnya kesal.
Salah satu dari dewan direksi berkata, “Brice selalu mendapat dukungan penuh dari ayahmu dan ayahnya. Kami tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Ayahku sudah sakit-sakitan selama dua tahun terakhir. Beliau mempercayakan semuanya pada Brice! Tentu saja ayahku mendukung karena tidak tahu bagaimana kondisi perusahaan sebenarnya!” tukas Keenan makin geram.
Lebih dari 15 menit berlalu, akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba juga. Brice datang dengan cengengesan, rambut basah, dan dasi yang tidak rapi. Sangat nyata terlihat kalau dia baru selesai mandi, langsung berangkat ke kantor.
“Menikmati extra time rupanya?” sindir Keenan ketika saudara sepupunya itu muncul. Ayah Brice adalah adik dari ayahnya sendiri.
“Aku semalam lembur mengerjakan beberapa hal untuk perusahaan kita, harap maklum. Apa kabar, Keenan?” kekeh Brice, lalu duduk di ujung meja, berseberangan cukup jauh dari sang Putra Mahkota.
Tertawa mengejek, Keenan menanggapi, “Lembur mengerjakan beberapa hal? Kamu pasti bercanda! Apa yang kira-kira kamu lakukan? Profit kita menurun terus selama tiga tahun terakhir!”
Brice ingin menanggapi, tetapi Keenan cepat menghentikannya.
“Simpan omonganmu, Brice. Rapat akan segera kita mulai!” desis lelaki yang pernah hampir mati kehabisan darah di halaman rumah seorang wanita.
Namun, Brice tersenyum culas, “Aku adalah CEO di Raymond & Co, bukan kamu. Aku yang menentukan kapan rapat ini berjalan, bukan kamu. Aku hanya membiarkanmu membuat rapat ini untuk membuatmu senang.”
“Saat kamu pergi lima tahun lalu untuk belajar bisnis ke luar negeri, sangat jelas bahwa posisi CEO diberikan kepadaku. Jadi, please, tidak usah berkuasa di sini!” desisnya.
Keenan tertawa santai, “Ya, ya, mengocehlah sesukamu. Apa kamu lupa kalau ayahku masih pemegang 55% saham di sini? Aku berhak untuk mengadakan rapat dewan direksi sesuka hatiku!”
“Semua itu ada di peraturan perusahaan, yang juga ditandatangani oleh ayahmu. So, please, diamlah daripada kamu semakin membuat dirimu sendiri malu!”
Menegakkan punggung gagahnya, sorot tajam Keenan berkilat saat ia menatap sepupunya dengan lekat. “Aku mengadakan pertemuan ini karena sedang berpikir untuk menurunkan posisimu dari CEO!”
“Are you fvcking kidding me!” amuk Brice begitu mendengar ucapan itu. Ia terengah hingga dadanya kembang kempis. “Enak sekali kamu tiba-tiba ingin mengganti aku! Ayahku tidak akan setuju!”
“Ayahmu hanya memegang 15% saham di sini. Suaranya sendiri tidak cukup untuk menghentikan pergantianmu. Lagipula, ayahmu tidak ada di sini, bukan? Dia sudah kuundang, tetapi tidak datang,” senyum Keenan dingin, melirik satu buah kursi kosong di antara deretan dewan direksi.
“Siapa yang setuju untuk mengganti CEO di perusahaan ini, angkat tangan!” seru Keenan, dilanjut dengan dia yang pertama mengangkat tangannya ke atas, sangat tinggi.
Satu bulan lamanya sejak keluar dari rumah sakit, ia telah menemui satu per satu anggota dewan direksi untuk meminta dukungan dari mereka mengenai pergantian Brice. Ada yang dengan mudah menyetujui, ada yang melalui proses lobi cukup alot.
Namun, semua berakhir dengan kemenangan berada di pihaknya. Dari delapan orang dewan direksi yang hadir -sembilan termasuk dirinya- semua mengangkat tangan, setuju jika Brice diganti.
“Kalian semua fvcking shiiiit!” teriak Brice, berdiri, lalu menggebrak meja rapat dengan kedua tangannya. “Kamu menurunkan aku dari posisi CEO? Lalu, siapa yang akan menjadi CEO, hah!”
Keenan tersenyum, “Tentu saja aku yang akan menjadi CEO!”
Mata Brice melotot, wajahnya merah padam. Merasa dipermalukan di depan umum, dan juga bingung bagaimana ke depannya karena tidak lagi menjadi CEO. Dia akan bekerja apa?
Seorang dewan direksi memberi saran padanya, “Sudah, Brice. Ini semua demi kebaikan perusahaan. Turuti saja keinginan Keenan. Laporan memang mengatakan profit terus menurun selama tiga tahun terakhir.”
Keenan kembali tersenyum dingin, lalu berucap, “Yang setuju aku menjadi CEO di sini, angkat tangan kalian!”
Dan lagi-lagi, sembilan orang di sana mengangkat tangan mereka, setuju!
“Done! Aku adalah CEO terbaru yang sah dari Raymond & Co. Rapat ini direkam, dan file rekamannya akan menjadi arsip bahwa semua setuju Brice digantikan olehku!”
Melirik ke arah sepupunya, Keenan tersenyum datar, “Karena kita masih bersaudara, aku akan menempatkanmu sebagai Direktur Public Relation. Gajimu juga tidak akan aku turunkan. Aku hanya membebastugaskan kamu dari setiap hal yang berhubungan dengan bisnis kita!”
“Kamu akan bertanggung jawab untuk memberikan pers release yang bagus. Semua pameran serta campaign perhiasan kita akan menjadi tanggung jawabmu. Jika kamu mengacau lagi, maka aku akan memecatmu. Tidak peduli jika ayahmu datang ke rumah dan melabrakku!” pungkasnya menyeringai tegas.
Brice yang masih dikuasai emosi membabi buta, tiba-tiba meludah ke atas karpet di lantai. “Cuih! Kita lihat saja nanti bagaimana tanggapan ayahku atas masalah ini!” amuknya, kemudian pergi dari ruang rapat sambil membanting pintu.
Keenan hanya tersenyum santai, tetapi menatap tajam pada bayang kepergian sepupunya. Memilih untuk tidak membiarkan rapatnya terganggu dengan sikap Brice, ia lanjut berbicara pada dewan direksi yang ada.
“Hari ini, aku akan memaparkan rencana kerjaku selama lima tahun ke depan. Aku akan menjelaskannya dengan detail sebentar lagi, mohon kritik serta saran dari Tuan-Tuan semua,” ucapnya menghormati para senior di ruangan.
***
Siang menjelang sore, Aretha mendapat perintah untuk mendatangi orang nomor satu di perusahaan. Barusan mendapat kabar kalau Tuan Keenan ingin menemuinya. Dengan menahan debar serta rasa khawatir, ia kembali mengekor langkah Russel.
“Selamat siang, Tuan Keenan,” sapanya menunduk hormat, lalu menatap kepada lelaki gagah yang sedang duduk di balik meja kerja.
“Selamat siang, Aretha. Duduklah, aku ingin bicara.”
Ketika ibu dari satu orang anak tersebut duduk di kursi tamu, Russel menutup pintu hingga hanya mereka berdua di dalam.
Keenan menatap lekat, “Kenapa tidak pernah bilang kalau kamu bekerja di sini?”
“Tuan tidak menanyakan pekerjaan saya ketika kita bertemu di rumah sakit. Jadi, saya diam saja,” ungkap Aretha menahan gugup.
“Tapi, kamu tahu kalau aku adalah pemilik perusahaan ini?”
“Tahu, Tuan. Ada berita yang menyebar kalau Tuan Keenan akan kembali memegang perusahaan.”
“Saat aku di rumahmu, kamu sudah tahu kalau itu aku?”
Aretha menggeleng, “Belum, saya belum tahu. Saya tidak pernah bertemu Tuan sebelumnya, tidak tahu wajah Tuan seperti apa. Saya hanya tahu kalau itu Tuan Keenan setelah ayah Anda datang ke rumah sakit.”
Keenan manggut-manggut mendengar penjelasan Aretha. Ternyata, wanita ini benar-benar tulus membantu kala itu. Dan ternyata, wanita ini benar-benar tak mengharap imbalan apa pun meski tahu dialah pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
“Kamu di sini ada di bagian desain perhiasan, bukan?” tanya Keenan mengeluarkan beberapa lembar kertas, lalu memaparkan di atas meja.
“Betul, Tuan.”
“Ini punyamu, dan ini punya karyawan lain bernama Jenny Chan. Ada sesuatu yang menarik bagiku, kamu tahu apa?”
Aretha menggeleng, “Tidak tahu, Tuan, apa yang menarik?”
“Kenapa desainmu dan Jenny selalu sering mirip sekali? Siapa mencuri desain siapa? Kamu meniru Jenny, atau Jenny meniru kamu, Aretha?”