Ch.06 Hadiah Modus Dari Keenan

2195 Kata
Kabar pergantian CEO Raymond & Co sontak menyebar ke seluruh karyawan dan menjadi berita hangat di kantor. Pun dengan berita pemilihan ulang desain perhiasan untuk maskot kampanye koleksi musim dingin. Aretha baru saja menyerahkan surat cutinya untuk tiga hari ke depan. Ia begitu bersemangat untuk membuat desain terbaru. Sambil sumringah, kaki jenjangnya mengayun keluar dari ruang HRD saat kemudian berpapasan dengan Keenan. “Selamat sore, Tuan Keenan,” sapanya mengangguk hormat. “Sore, sedang apa di lantai HRD?” jawab Keenan membalas dengan senyum. “Mengajukan cuti, seperti yang Tuan minta kemarin.” “Oh, iya, baguslah kalau begitu. Kerjakan dengan baik dan tenang di rumah. Ingat, hanya bawa desain itu saat hari pemilihan tiba. Dan jangan lupa untuk langsung serahkan kepadaku, jangan disimpan di mejamu,” tukas sang CEO, kemudian menghela napas panjang. Ingatan Keenan kembali pada laporan dari Russel, bahwa jejak diri Aretha di Lake Camp tidak ditemukan. Seakan wanita itu sosok ghoib yang tiba-tiba muncul di Los Angeles. Kembali bertanya di dalam hati, ‘Kamu membuatku penasaran. Siapa sebenarnya dirimu? Aku merasa ada sesuatu yang lebih padamu, dari sekedar karyawan biasa. Apa ceritamu di dunia ini?: “Saya permisi dulu, Tuan. Sebentar lagi waktunya pulang kantor. Saya akan bersiap pulang,” pamit Queen, mulai melangkah. Ketika bersandingan dengan Keenan, pemuda itu bertanya, “Naik apa kamu pulang? Aku juga akan pulang sebentar lagi dan ada perlu di dekat daerah rumahmu. Aku bisa mengantarmu pulang.” “Oh, terima kasih untuk tawarannya. Tapi, saya mempunyai kendaraan sendiri, Tuan. Sampai jumpa beberapa hari lagi, selamat sore.” Keenan hanya terdiam mendengar penolakan itu. Senyum kecilnya terlukis di ujung bibir. Dia berdiri dan terus menatapi sosok Aretha dari belakang. Mata tak ingin berkedip, seolah tak ingin kehilangan satu detik saja pemandangan indah di lorong. Ketika ibu satu anak itu sudah memasuki lift, barulah ia kembali berjalan menuju ruang kepala HRD karena ada beberapa hal yang ingin dibahas. Menarik satu napas panjang, hati bertanya, ‘Kenapa wajahmu begitu mengalihkan duniaku, Aretha? Dan … kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan keberadaanmu?’ *** Selesai makan malam, Aretha kembali mengerjakan desain perhiasannya di kamar sementara Paris sedang belajar menghafal ditemani oleh Gracia. Ini adalah hari ketiga dia cuti. Deadline penyerahan desain sudah semakin dekat, yaitu besok siang. Tiba-tiba ada suara bel pintu terdengar. “Aku akan membukanya, Nyonya!” seru sang baby sitter, lalu terdengar berjalan menuruni tangga rumah mereka. “Oke, Gracia! Thanks!” sahut Aretha tersenyum, lanjut bekerja di bawah lampu berwarna kekuningan. Ia hanya memakai pakaian rumah berupa kaos dan celana pendek, fokus mengerjakan desain. Tak seberapa lama, Gracia kembali menaiki tangga sambil sedikit berlari. “Nyonya! Nyonya! Ada bos Anda di bawah!” lapornya terengah. “Paris! Kamu dapat hadiah!” Terkejut, wanita jelita meletakkan pensil dan berjalan cepat ke ujung pintu. “Apa maksudmu? Bosku datang dan Paris mendapat hadiah? Bosku siapa? Hadiah apa?” herannya dengan kening mengerut. Bocah lelaki tampan berlari turun dari atas ranjang, melompat girang di depan Gracia. “Hadiah apa, Aunty? Hadiah apa? Aku dapat apa!” serunya gembira. “Ayolah! Kita turun ke bawah dan lihat sendiri!” Gracia pun nampak gembira. Ia segera menggandeng tangan Aretha dan Paris, kemudian turun ke lantai satu bersama-sama. Sampai di depan pintu, mata Aretha terbelalak makin lebar. Saking kagetnya, ia sampai berhenti bernapas selama beberapa detik. “A-apa … ya, Tuhan … di-dia?” engahnya menatap tak percaya. “Selamat malam, Aretha. Maaf karena mendadak datang. Aku membawa hadiah untuk anakmu.” Keenan ada di pintu bersama Russel. Sang asisten pribadi tengah membawa robot action figure Iron Man yang sedang banyak digandrungi anak-anak saat ini. Namun, tentu saja tidak semua anak kecil bisa memilikinya. Selain diproduksi secara limited edition alias terbatas, harganya yang ribuan dollar pun cukup mahal hingga hanya mereka yang memiliki uang berlebih saja bisa membelinya. “OH MY GOD! ITU ADALAH IRON MAN, MOMMY!” teriak Paris teramat kencang. Bocah itu segera berlari menghambur kepada Russel dan memeluk robot yang tingginya hampir menyamai manusia dewasa. “Ini untukku?” engah Paris tersenyum lebar, menatap pada Keenan tak percaya. “Yeah, itu untukmu. Kamu suka?” angguk Keenan mengangkat ibu jarinya. “Aku sangat menyukainya, Paman! This is amazing! Mommy! Aunty Gracia! Lihatlah! Aku mendapatkan Iron Man! Oh, my, God! Padahal ini bukan hari Natal!” seru Paris sekali lagi masih terus memeluk hadiahnya. Aretha melangkah perlahan, mendekati Keenan sambil memandangi anaknya yang sedang diliputi kegembiraan luar biasa. Ia masih syok dan bingung hingga tak bisa berkata-kata. “Semoga kamu tidak marah karena aku membelikan hadiah ini,” ucap Keenan menanggapi ekspresi wajah sang wanita yang nampak gamang. Menggeleng sambil terengah, “No, aku tidak marah … hanya saja … it’s … uhm … tidakkah ini terlalu berlebihan?” sahut Aretha, kembali memandangi robot Iron Man. “No, Mommy! Ini tidak berlebihan! Ini sungguh keren! Thank you, Paman … uhm … siapa nama Paman?” Paris masih terus sumringah. “Keenan, namaku Keenan,” ucap sang CEO menjulurkan tangan. Paris menjabatnya, “Thank you, Paman Keenan. Ini adalah hadiah terbaik yang pernah kumiliki! Teman-temanku akan menggila kalau mereka tahu aku memiliki robot Iron Man!” “Well, ini adalah hadiah karena kamu dan Mommy-mu kemarin telah begitu berani menyelamatkan nyawaku. Semoga kamu suka hadiah itu, ya?” ucap Keenan memandang sendu pada Paris. Dalam hati, ia bertanya siapa dan di mana ayah anak lelaki tampan ini? Kenapa tidak ada data sama sekali siapa ayahnya? Sama seperti Aretha, data tentang Paris hanya muncul setelah tiba di Los Angeles lima tahun lalu. “I love it, Paman Keenan! I love it! You’re the best, Paman Keenan! I love you!” Paris melompat-lompat senang. Russel tertawa, “Hey, kamu tahu? Kalau ditekan tombol ini, tangannya bisa bergerak,” ucap sang asisten kemudian menunjukkan kebolehan sang robot. “Whoaaa! That’s so cool!” Dan Paris kembali menggeleng takjub. Gracia berbisik pada majikannya, “Nyonya, persilakan mereka masuk! Saya akan membuatkan minuman segar untuk mereka.” Saking terkejutnya, Aretha sampai lupa mempersilakan bosnya masuk ke dalam rumah. “Oh, iya, ya, ampun! Maafkan saya, Tuan Keenan. Saking terkejutnya, saya sampai lupa mempersilakan Anda dan Tuan Russel masuk.” Russel tertawa pelan, “Please, jangan panggil saya Tuan. Saya hanya asistennya Tuan Keenan. Just call me Russel, okay, Nyonya?” Aretha mengangguk, “Ya, Russel, okay,” tawanya juga pelan. “Ayo, masuklah. Uhm, maaf, rumah saya kecil. Mungkin hanya sebesar ruang kerja Tuan Keenan di kantor,” ucapnya semabri membereskan beberapa barang Paris yang ada di ruang tamu. Keenan tiba-tiba menggenggam lembut tangan Aretha. “Sudah, jangan repot-repot membersihkan ini dan itu. Aku tidak ada masalah dengan rumah kecil atau berantakan. Aku kemari untuk bertemu kamu.” Membeku! Aretha terkejut dengan sentuhan yang mendadak hadir di tangannya. Sudah lima tahun terakhir ini ia tak pernah disentuh oleh lelaki mana pun. Sontak, mommy-nya Paris segera menarik tangannya dari genggaman Keenan, lalu menyembunyikan di balik punggung. Napasnya memburu cepat, tetapi ditahan agar tidak terlihat gugup. “Ba-baik, Tuan ….” Keenan tersenyum kecut mendapati Aretha menarik tangan darinya. Akan tetapi, tidak mau mempermasalahkan. Ia duduk di kursi sementara Russel masih asyik bersama Paris menekan berbagai tombol di tubuh robot Iron Man. Pengusaha berlaku itu memandangi Aretha sambil tersenyum, “Semoga Paris menyukai hadiahku.” “Percayalah, dia pasti tidak bisa tidur malam ini saking gembiranya. Dan besok, pasti teman-teman dari sekolahnya akan datang kemari untuk melihat robot yang sedang ramai diperbincangkan oleh anak-anak itu,” jawab Aretha tertawa sendu. Ditatap lekat oleh Keenan membuat wajahnya merona merah muda hingga menunduk. Keduanya diam sesaat, tetapi kemudian Aretha kembali bertanya. “Uhm, tahu dari mana soal mainan anak-anak? Saya kira Tuan Keenan tidak mengerti dunia anak-anak.” “Aku memang tidak tahu. Tapi, jaman sekarag semua bisa kita ketahui dari internet, bukan?” kekeh sang taipan berlian. Ia memandangi Aretha dari atas sampai bawah. Dari ujung kepala, hingga ujung kaki. “Malam ini, kamu nampak berbeda dari saat di kantor.” “Ha?” tanggap Aretha gugup, lalu melihat kepada dirinya sendiri. “Oh, ya, maaf!” tawanya renyah. “Saya tidak tahu Tuan akan datang. Maaf, karena menemui Tuan dengan pakaian rumah begini. Saya ganti baju dulu, ya?” “Tidak usah,” cegah Keenan kembali menggenggam jemari Aretha yang sedang berdiri. Lagi, detak jantung Aretha meningkat pesat saat ia merasakan sentuhan sang lelaki di kulitnya. Dan lagi, secara reflek, ia menarik tangannya hingga mereka tak lagi bersentuhan. Keenan sadar akan sikap ibu anak satu yang tidak nyaman dengan sentuhan-sentuhan darinya. Ia tersenyum sendu, lalu menatap lekat, “Tidak perlu ganti baju segala. Maksudku berbeda adalah, kamu nampak lebih natural dalam busana rumah begini.” “Oh, uhm …, ya, baiklah, Tuan.” Aretha mengangguk salah tingkah. “Dan kamu terlihat lebih cantik meski tanpa make up.” Jantung Aretha bagai berhenti berdetak mendengar ucapan Keenan barusan. Ia mematung, berdiri di samping meja tamu, tak tahu harus berkata apa untuk menjawab pujian barusan. “Aku ingin lihat desainmu. Apa sudah hampir selesai?” ucap Keenan memecah kecanggungan, bertanya dengan suara yang mendayu. “Besok adalah waktu pengumpulan. Aku akan memilih ikon produk terbaru untuk koleksi musim semi kita.” Mengangguk, Aretha menjawab, “Saya akan ambil dulu desainnya di atas, Tuan.” Kemudian, sang wanita cepat berlari menaiki tangga, menuju kamar tidurnya. Melihat tidak ada Aretha maupun Gracia, Keenan memanggil sang bocah lelaki. “Paris! Kemarilah!” “Ya, Paman?” sahut Paris berlari mendekat. “Ada apa?” “Boleh Paman bertanya sesuatu? Jawab yang jujur, ya?” senyum Keenan mengusap kepala berambut hitam. “Sure! Aku selalu jujur. Kata Mommy, berbohong itu dosa!” kekeh Paris. Keenan menarik napas panjang, kemudian bertanya, “Di mana ayahmu?” Wajah sang bocah berubah sendu, “Aku tidak punya ayah. Kata Mommy, ayah sudah meninggal sejak aku lahir. Kenapa Paman ingin tahu siapa ayahku?” “Oh, tidak apa-apa. Paman hanya takut dia marah karena kamu kuberi hadiah Iron Man,” jawab Keenan tersenyum lirih. “Jadi, kamu tidak pernah tahu siapa ayahmu?” “Nope,” geleng Paris. “Uhm, apakah ada lelaki yang … uhm … apa Mommy-mu sedang dekat dengan lelaki lain? Apa kamu sudah ada calon ayah?” tanya Keenan lagi dengan wajah penasarannya. Paris terkikik, “Maksud Paman, apa Mommy-ku memiliki kekasih?” “Yah, kurang lebih begitu. Apa ibumu memiliki kekasih?” angguk Keenan sudah kepalang basah ketahuan. Paris kembali menggeleng, “Selain tukang reparasi, hanya Paman Keenan satu-satunya lelaki yang pernah datang ke rumah ini menemui Mommy. Jadi, aku rasa Mommy tidak memiliki kekasih.” Keenan langsung tersenyum lebar, sangat lebar. “Great! Itu kabar yang bagus!” angguknya mengacungkan satu ibu jari. “Why? Paman Keenan mau jadi kekasih Mommy?” kikik Paris lagi menatap penasaran. Pertanyaannya membuat Keenan kelimpungan. Wajah Tuan Muda Raymond merona merah muda. Ia tertawa salah tingkah. “Kamu masih umur tujuh tahun kenapa sudah banyak tahu soal kekasih, hah? Anak jaman sekarang ada-ada saja!” “What? Aku penasaran, Paman!” gelak Paris mengendikkan bahu. Suara langkah kaki menuruni tangga terdengar. Keenan cepat berbisik, “Jangan beritahu Mommy-mu tentang pertanyaan Paman, ya! Biar ini menjadi rahasia kita berdua! Kalau kamu menjaga rahasia ini, nanti akan Paman belikan hadiah lain!” Paris semakin gembira mendengarnya. “Yes, Paman! Tentu akan kujaga rahasia ini!” kekehnya mengangguk. Aretha datang sambil membawa beberapa lembar kertas. Paris memandang sumringah pada ibunya, kemudian berlari kecil mendatangi Russel dan robot Iron Man. “Apa yang Tuan obrolkan dengan Paris? Aku mendengar suara kalian berbincang. Semoga dia tidak mengganggu Anda,” ucap Aretha sambil kembali duduk di kursi yang berseberangan dengan bosnya. Keenan sontak menggeleng, “Kami hanya berbicara tentang Iron Man. Tenang saja, anakmu sungguh manis! Dia begitu sopan dan pintar. Kamu dan suamimu pasti bangga. Oh, ya, di mana suamimu?” Bertanya seakan dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yaitu tidak ada sosok suami di sana. Aretha menggeleng sambil tersenyum lirih, “Saya tidak punya suami, Tuan. Ayahnya Paris sudah tidak ada sejak dia masih bayi.” Sambil menyerahkan desain, ia lanjut berkata, “Dan Paris memang pintar. Semester kemarin dia menjadi juara kelas.” Keenan menerima desain tersebut, kembali bertanya, “Oh, ayahnya sudah meninggal? Sorry to hear that.” Menghela napas, Aretha hanya tersenyum pilu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tidak ingin lagi ditanya lebih lanjut, ia segera mengalihkan pembicaraan pada desain yang sudah 80% selesai dibuatnya. “Bagaimana menurut Tuan? Apakah ada yang perlu saya ubah dari desainnya?” Keenan belum menjawab, matanya masih terus memperhatikan tiap detail pada desain yang dibuat oleh Aretha. Senyumnya perlahan kian mengembang hingga akhirnya berkata, ‘It’s perfect …!” Sambil menunjuk pada gambar, ia lanjut memuji, “Aku suka caramu menggabungkan emas putih ini dengan pink diamond dalam nuansa gelang floral yang elegan. Aksen daun di bagian pinggir menambah keunikan tersendiri.” “Ya, Tuan. Banyak wanita yang menyukai aksen floral pada desain perhiasan mereka. Dulu, saya selalu menyukai dan membeli perhiasan seperti itu,” angguk Aretha berucap senang karena karyanya dipuji secara langsung oleh sang pemilik perusahaan. Namun, sebuah kata yang ia ucap menarik perhatian Keenan hingga bertanya, terutama karena sang lelaki tidak menemukan masa lalu apa pun mengenai karyawan cantiknya. “Dulu? Dulu itu … kapan?” BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN