"Akhhh!!!" Cece langsung membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri, saat pusaka Gibran merobek V Cece dengan kasar.
Gibran yang merasakan sesuatu yang tidak biasa saat dirinya bercinta dengan sang istri sempat berhenti sejenak, namun detik berikutnya Gibran kembali melanjutkan permainannya dan mengabaikan rasa penasarannya, serta mengabaikan teriakan seorang wanita yang minta dihentikan. Jangankan Gibran berhenti mendengar teriakkan Cece, justru Gibran semakin keras melakukan penyatuan, hingga Gibran tidak lagi mendengar suara teriakan Cece, hanya suara yang tertahan karena Cece menutupnya dengan kedua telapak tangannya.
Cece berteriak menangis bukan karena menikmati penyatuan dengan Gibran. Cece diam dengan pasrah, saat Gibran membolak-balikkan tubuhnya karena Cece sudah merasa masa depannya sudah hancur.
"Ahhh. Sayang, kau sangat nikmat. Ini enak Sayang." Racau Gibran sambil terus memompa tubuh Cece, hingga rambut Cece sudah seperti orang yang baru terkena sambar petir. Sangat acak-acakan.
"Ahhh, Vivi. I love you, Sayang!!!" erangan panjang dari mulut Gibran lolos begitu saat Gibran berhasil menyemburkan benihnya dalam rahim Cece. Tubuh Cece ambruk seketika saat tangan Gibran yang semula menahan perut Cece dari belakang terlepas.
Gibran menarik tubuh Cece kedalam pelukannya, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
Keduanya tidur dengan tubuh saling bersentuhan seperti pengantin baru.
Jam 02.00 dini hari, Cece menjauhkan tangan Gibran dari perutnya. Cece turun dari ranjang kakak iparnya, dan keluar dari kamar Gibran lalu menuju ke kamarnya sendiri.
Cece mengguyur tubuhnya dengan air shower, membiarkan air dingin itu menjadi teman sedihnya pada malam itu, dimana Cece telah memiliki gelar tidak perawan, dan yang lebih menyakitkan, Cece melepaskan keperawanan nya pada kakak iparnya sendiri.
Cece baru keluar dari kamar mandi setelah merasa tubuhnya menggigil. Cece memakai pakaian seperti biasa ia pergi ke kampus.
Cece menyempatkan untuk memasak terlebih dahulu sebelum ia pergi ke kampus. Begitulah rutinitas Cece setiap hari. Memasak untuk kakak iparnya, sebelum ia pergi ke kampus.
Bukan tugas Cece melayani kakak iparnya seperti seorang istri yang harus menyiapkan makanan di setiap pagi, siang hingga malam, tapi karena Cece ingin balas Budi pada sang kakak karena Elvi mencukupi atau membiayai kuliahnya, akhirnya Cece merasa apa yang ia lakukan itu sebagai bentuk balasan kebaikan Elvi pada dirinya. Jadi Cece melayani kakak iparnya seperti seorang istri, bahkan meski Cece sibuk dengan urusan kuliahnya, Cece masih berusaha menyempatkan diri untuk tetap menyiapkan kebutuhan Cece. Tanpa Cece sadari, Cece sudah sampai melakukan tugas seorang istri dalam memenuhi kebutuhan biologis suami, yang ternyata kebutuhan itu bukan tugas pribadi Cece tapi melainkan tugas Elvi.
Disaat Cece tengah berkutat di dapur, Gibran baru saja membuka matanya yang sejak semalam terpejam dengan begitu nyenyak nya.
Gibran mengernyitkan dahinya saat tak mendapati Elvi di dekatnya.
Namun detik berikutnya Gibran langsung menerbitkan sebuah senyuman saat mengingat semalam ia bercinta dengan Elvi penuh kenikmatan. Gibran menyingkap selimut putih yang ia gunakan sejak semalam, dan Gibran masih belum menyadari noda merah di seprei putih yang tercetak sangat jelas.
Gibran masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa sangat lengket.
"Semoga saja Vivi segera hamil." Lirih Gibran pelan sambil memandang tubuhnya sendiri di pantulan cermin besar kamar mandi. Gibran tidak hentinya tersenyum, kala Gibran mengingat percintaannya semalam, dimana ia begitu sangat bringas dalam memompa tubuh Cece yang Gibran anggap sebagai tubu istrinya.
Gibran keluar dari kamar mandi, dan langsung menuju ruang ganti tanpa menoleh ke ranjang yang masih berantakan.
Setelah Gibran sudah rapi dengan pakaian formalnya, Gibran langsung keluar dari kamarnya dan membiarkan ranjang tetap berantakan karena Gibran yakin nanti Vivi atau gak Cece akan membereskannya.
Gibran langsung menuju ke ruang makan saat melihat Cece tengah menatap makanan di meja makan.
Gibran heran melihat Cece yang hanya diam saja, biasanya Cece akan menyapa dirinya meski hanya dengan ucapan selamat pagi saja. Namun kali ini, Gibran melihat Cece hanya diam saja, ditambah wajah Cece terlihat pucat dan terlihat sangat jelas kalau Cece habis menangis. Tanpa Gibran sadari, Gibran terus memperhatikan mata bengkak Cece, dan Gibran pikir mungkin Cece baru saja habis putus bercinta, gak tahunya habis kehilangan mahkotanya.
Tanpa banyak bicara lagi, Gibran langsung mengisi piringnya dengan nasi dan lauk hingga piring kosong itu penuh.
Tanpa menyapa Cece, Gibran langsung menyantap makanannya, dan membiarkan Cece pergi ke kampus.
"Tumben dia pergi ke kampus tanpa sarapan." Gumam Gibran dalam hati, saat melihat Cece sudah pergi.
Karena Gibran tidak melihat keberadaan Vivi, akhirnya Gibran memanggil Vivi dengan panggilan romantisnya. Namun sayang, hingga berulang kali Gibran memanggil Vivi, orang yang dipanggil tidak menampakkan batang hidungnya.
Karena Gibran mengira Vivi pergi, akhirnya Gibran langsung keluar dari ruang makan, lalu melihat ke parkiran rumah yang ternyata di sana Cece sedang berusaha mengeluarkan motor kesayangannya.
"Ce, kamu tahu kemana kak Vivi pergi?" tanya Gibran dengan wajah penuh kecemasan. Gibran mengira Vivi pergi tanpa pamit, padahal kenyataannya Vivi sudah pergi sejak kemarin.
Cece yang mengerti dengan pertanyaan Gibran hatinya semakin terasa sakit, sakit karena teringat akan kejadian semalam, Dimana ia semalam Cece telah melepaskan status perawan nya pada Gibran, kakak iparnya. Mengingat itu semua, air mata Cece langsung lolos begitu saja karena merasa tidak percaya dengan nasib buruk yang tengah menimpanya sejak semalam.
Sebelum Cece menjawab pertanyaan Gibran, Cece menghapus air matanya terlebih dahulu, lalu menarik nafas nya dengan kuat, berharap agar hatinya kuat.
"Kak Vivi pergi sejak kemarin, dan sampai pagi ini belum kembali. Dan kemana kak Vivi pergi, aku juga tidak tahu, dan bukan tugasku mencari tahu kemana kak Vivi pergi." Jawab Cece tegas, dengan sedikit memberi sindiran, serta kesadaran pada Gibran, yang secara tidak langsung menyindir Gibran karena Gibran masih tidak mengetahui kemana istrinya pergi.
Gibran yang mendengar ucapan Cece terkejut bukan main. Bukan apa-apa, pasalnya Gibran semalam sudah menghabiskan malam panas dengan istrinya, kenapa tiba-tiba Gibran mendengar jawaban Cece kalau Vivi tidak datang sejak kemarin, dan artinya semalam Gibran bukan bercinta dengan Vivi.
"Jadi semalam aku?" Gibran tidak jadi melanjutkan pertanyaannya saat melihat Cece sudah tidak berada di dekatnya. Gibran langsung membawa langkah lebarnya masuk ke dalam rumah, lalu berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Brak
Gibran membuka pintu kamarnya secara kasar, dan mendekati ranjang lalu menarik selimut, hingga kedua bola mata Gibran membola sempurna, bahkan jantung Gibran hampir saja berhenti berdetak saat melihat noda merah di sprei putih itu.
Selimut yang dipegang Gibran tadi jatuh ke lantai, dan pandangan Gibran masih tertuju pada noda merah itu. Gibran masih tidak percaya, dan bahkan sulit untuk percaya. Hati Gibran mengatakan apa yang ia duga itu kebenarannya, tapi hati Gibran terus menepis dan mengatakan bahwa apa yang terjadi itu bukanlah sebuah kenyataan, tapi hanya sebuah mimpi saja.
Karena Gibran ingin memastikan dugaannya, akhirnya Gibran langsung keluar dari kamarnya dan akan memastikan sendiri apa yang ia duga pada Cece langsung.
Gibran menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju kampus Cece, dan tak menunggu waktu lama, mobil Gibran berhenti di parkiran kampus Cece. Gibran masuk ruang Dekan.
Brak
"Cepat panggil mahasiswi yang namanya Celia. Sekarang juga!" titah Gibran tegas, membuat salah satu diantara dua pria di ruang dekan itu langsung keluar dan memanggil mahasiswi dengan nama yang sudah disebutkan oleh Gibran tadi.
Tok tok tok
"Permisi! Bapak memanggil saya." Ujar Cece yang baru saja menurunkan tangannya setelah mengetuk pintu ruang Dekan