Hangat

1329 Kata
Gibran yang mendengar suara Cece langsung meminta siapapun yang berada di ruangan tersebut keluar, lalu menarik tangan Cece masuk ke dalam ruang Dekan itu, hingga tubuh Cece masuk ke dalam ruang Dekan berdua dengan Gibran. "Kenapa Mas Gibran ada disini?" tanya Cece dengan nada bergetar karena kalau Cece melihat Gibran, pikiran Cece terus berputar pada kejadian semalam. "Katakan, apakah kita semalam… "Kalau iya kenapa?" tanya Cece cepat memotong kalimat yang akan menjadi kalimat tanya Gibran. Gibran yang mendengar pertanyaan bernada penuh kehancuran, seketika hatinya merasa sangat nyeri, dan bahkan sulit untuk Gibran percayai. "Ce, kamu tahu kan Mas sangat mencintai kakak kamu. Jadi Mas mohon, tolong lupakan kejadian semalam, karena Mas tidak ingin rumah tangga yang sudah aku perjuangkan hancur hanya karena kesalahan ku semalam. Anggap saja semalam itu kejadian mimpi yang harus dilalui begitu saja." Ujar Gibran penuh permohonan, membuat Cece hampir saja pingsan mendengar permintaan dari Gibran. 'Apa dia bilang, lupakan? Dan apa katanya, mimpi? Jadi aku kehilangan keperawanan ku cuma di mimpi. Cinta Kak Vivi katanya? Oh tidak! Nasib apa ini' Berbagai bagai macam pertanyaan Cece lontarkan, tapi hanya berani dalam hati. "Mas Gibran tidak perlu khawatir, aku sudah melupakan kejadian semalam." Ujar Cece dengan perasaan yang teramat sangat hancur. Selain karena Cece juga tidak berharap meminta pertanggung jawaban pada Gibran, Cece juga tidak ingin menghancurkan rumah tangga kakaknya, meski kesalahan semalam bukan sepenuhnya kesalahan Gibran maupun Cece, tapi Cece merasa tidak bisa kalau Cece harus mengalahkan Elvi. "Aku akan menebus semua kesalahan ku semalam." Ujar Gibran yang dengan cepat Cece mengangkat tangannya, meminta agar Gibran tidak perlu melakukan apapun. "Aku sudah tidak mengingat kejadian semalam. Permisi." Ujar Cece cepat yang langsung pergi begitu saja. Jujur saja sulit untuk melupakan kejadian semalam, apalagi Cece harus mengatakan pada Gibran kalau Cece sudah melupakannya. Nyatanya, sejak kejadian semalam, Cece tidak pernah menghentikan memori nya yang terus berputar mengenai kejadian semalam. Cece kembali pada teman-temannya, dan langsung pulang ke rumah seperti biasanya. Cece melihat jam sudah hampir mendekati jam makan malam, Cece pun langsung ke dapur untuk menyiapkan makan malam buat dirinya dan juga Gibran seperti biasanya. Setelah Cece menyiapkan makan malam seperti biasa, Cece langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya sambil membawa nampan, berniat membawa makan malamnya ke kamar. "Mau kemana? Kenapa tidak makan di ruang makan saja? Apa kamu sakit?" Gibran yang melihat Cece akan ke atas langsung mem bondong-bondong Cece dengan kalimat tanya. "Hanya ingin makan malam di kamar saja, Mas." Jawab Cece berusaha untuk menetralkan detak jantung dan pikirannya, agar bisa membiasakan diri seperti biasanya saat ngobrol dengan kakak iparnya. "Kita makan di ruang makan saja ya. Aku tidak bisa kalau harus makan sendirian. Apalagi kamu sudah terbiasa menemaniku makan." Ajak Gibran yang membuat Cece mau tidak mau menuruti keinginan kakak iparnya untuk makan bersama. Cece kembali membawa nampan makan malam nya ke meja makan, dan makan malam bersama dengan Gibran seperti biasanya. Gibran sendiri sudah cukup lega karena Cece tidak berusaha menghindarinya. Sesekali Gibran curi-curi pandang, tidak di pungkiri hati Gibran berkata kalau Cece jauh lebih baik dari Elvi. Cece bisa mengalahkan Elvi dari segi manapun. Cece cantik, bisa masak, bisa melayani suami dengan baik, bisa… Seketika lamunan Gibran terganggu saat mengingat kalimat yang berupa melayani. Gibran jadi bertanya-tanya, melayani dalam segi apa yang membuat Gibran harus menjadi pria yang pendosa karena telah membanding-bandingkan istrinya dengan adik iparnya . Setelah selesai makan malam, Gibran langsung menuju ke ruang kerjanya, karena entah kenapa tiba-tiba pikiran Gibran sekelebat teringat akan kegiatan panasnya dengan Cece kemarin malam. Gibran memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya di ruang kerjanya. Seperti biasa, Gibran akan tidur larut kalau sudah bekerja di rumah. Baru saja Gibran mengambil laptopnya, tiba-tiba lampu mati. Gibran merasa heran, kenapa lampu tiba-tiba mati, tidak biasanya, pikir Gibran. Gibran yang teringat akan Cece yang takut dengan kegelapan langsung keluar dari ruang kerjanya dan berlari ke kamar Cece. Brak "Ce! Cece!" teriak Gibran memanggil Cece, saat Gibran tidak melihat Cece di atas ranjang dengan menggunakan pencahayaan dari ponselnya. Samar-samar Gibran mendengar suara Isak tangis dari arah kamar mandi. Gibran langsung membuka pintu kamar mandi, yang ternyata bener dugaannya, Cece sedang mandi. Gibran langsung menyerahkan handuk putih pada Cece dan meminta agar Cece segera memakainya. Cece pun melilitkan handuk itu hingga menutupi d**a dan atas lututnya. "Kamu pake baju dulu ya biar tidak masuk angin, aku mau ngecek dulu kenapa lampu mati." Ujar Gibran menyerahkan ponselnya pada Cece. Cece menerima ponsel Gibran, dan Gibran pun membawa langkahnya keluar dari kamar Cece. Siapa sangka, langkah Gibran ternyata diikuti oleh langkah Cece dari belakang. Karena kamar Cece dan kamar kakak iparnya bersebelahan, Gibran pun dengan cepat bisa sampai ke kamarnya. "Kenapa ikut ke kamarku?" tanya Gibran saat Gibran melihat cahaya dari ponselnya mengikuti dirinya. "Aku takut Mas." Rengek Cece seperti biasa, karena begitulah Cece, takut sama yang namanya kegelapan. "Tapi nanti kamu akan masuk angin kalau kamu tetap seperti ini." Ujar Gibran yang sedikit khawatir kalau Cece tetap dengan pakaian handuknya saja. Bukannya Cece kembali ke kamarnya, Cece malah memegang lengan Gibran. "Tapi aku takut, Mas." Lirih Cece pelan, memohon agar Gibran tidak meminta dirinya keluar. Gibran menghela nafasnya kasar, membuat Cece yang mendengar helaan nafas kasar Gibran langsung melepaskan tangan Gibran dan berbalik akan ke kamarnya. Gibran yang melihat Cece akan pergi, langsung memegang tangan Cece, hingga tubuh Cece secara tidak sengaja masuk ke dalam pelukan Gibran. Cece yang merasakan hangatnya pelukan Gibran malah diam saja seperti orang yang tengah meresapi, namun ketika ia sadar, ia langsung melepaskan pelukannya, dan duduk di tepi ranjang kakak iparnya. Baru saja Cece duduk, suara petir berhasil membuat tubuh Cece kembali masuk ke dalam pelukan Gibran, bahkan tidak hanya sebuah pelukan biasa, saat Cece mendengar suara petir yang begitu nyaring, dengan refleks nya Cece menarik tangan Gibran, hingga Gibran tanpa sengaja jatuh menimpa tubuh Cece. Keduanya saling terdiam dan saling memandang dalam cahaya yang tidak begitu terang itu. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, bibir keduanya sudah saling bertautan, hingga menciptakan suasana yang begitu sangat pas untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Gerimis mulai membasahi pepohonan, hingga menciptakan suasana yang semakin dingin, namun tidak dengan kondisi Cece dan juga Gibran, dimana mereka berdua merasa seperti mendapat sebuah dukungan, karena situasi saat ini sangat pas bagi mereka untuk saling memberi kehangatan. "Mas, hujan." Kata Cece setelah Gibran melepaskan tautan bibirnya, dan telinganya mendengar suara hujan yang semakin terdengar deras. "Dingin?" tanya Gibran yang dengan polosnya Cece menjawab dengan anggukan kepala. Cece yang merasa kedinginan, tapi Gibran yang merasa kepanasan. Gibran membenarkan posisi Cece di atas ranjang, lalu setelah tubuh Cece di tutupi dengan selimutnya, Gibran melepaskan semua pakaiannya karena ia merasa kepanasan. Cece yang melihat pergerakan Gibran yang akan pergi, langsung menarik tangan Gibran. "Mau kemana, Mas? Jangan tinggalkan aku. Aku takut." Pinta Cece dengan nada bergetar karena memang merasa ketakutan kalau sampai dirinya sendirian. Gibran pun kembali duduk dan tak jadi ke kamar mandi, niat Gibran ingin ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya dengan air dingin karena merasa kepanasan, tapi Gibran juga tidak bisa meninggalkan Cece sendirian karena Cece ketakutan. "Mas… Cece memanggil Gibran tanpa melepaskan tangannya yang terus melingkar di lengan Gibran. Gibran yang mendengar suara Cece memanggilnya dengan suara sangat pelan dan nyaris tak terdengar langsung mendekati wajah Cece dengan niatan untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh Cece. Namun tubuh Gibran langsung jatuh dan masuk ke dalam selimut yang sama dengan Cece, saat leher Gibran terkena tiupan nafas hangat Cece. "Mas, hangat." Ucapan Cece seperti menarik Gibran agar Gibran memeluknya, padahal Cece niatnya ingin mengatakan kalau tubuh gibran terasa hangat. Gibran yang memang selalu ditinggal pergi dengan waktu yang cukup lama oleh Elvi, ditambah Gibran jarang mendapat pelayanan dari Elvi, hingga membuat Gibran tidak bisa menahan diri saat kulitnya bersentuhan dengan kulit Cece. Tangan Gibran langsung menarik handuk Cece, hingga Gibran bisa kembali menjamah tubuh Cece. Tangan Gibran terus berselancar di tubuh Cece, seakan-akan melupakan permintaan maafnya tadi siang, dan bahkan Gibran lupa kalau dirinya meminta Cece untuk melupakan kejadian pertama di antara mereka. "Emmm. Mas… Desah Cece saat tangan Gibran memberi sentuhan ternyamannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN