"Emmm. Mas…
Desah Cece saat tangan Gibran memberi sentuhan ternyaman nya.
Gibran yang sudah terbakar gairah semakin gila menyentuh Cece, hingga semua pakaian yang melekat di tubuh atletisnya sudah terlepas.
Gibran yang sudah seperti orang kelaparan langsung membuka kedua kaki Cece, dan mengarahkan pusaka besarnya pada V Cece.
"Akhhh. Mas, sakit!" jerit Cece saat merasa V nya penuh dan bahkan sulit untuk menerima kehadiran pusaka Gibran karena kurang pas dengan miliknya, hingga membuat Cece kembali merasakan sakit saat pusaka Gibran merobek V nya.
"Ce, aku tidak tahu apakah besok kamu akan marah sama aku atau bagaimana. Yang jelas, malam ini aku melakukannya dengan sadar. Kalau kamu merasa keberatan atau berubah pikiran, katakan, aku akan menghentikannya." Ujar Gibran dengan penuh keseriusan. Gibran melempar pertanyaan setelah miliknya masuk sepenuhnya ke dalam V Cece, namun tidak bermain dan membiarkan terdiam begitu saja dalam V hangat dan sempit Cece.
"Apa aku boleh jujur, Mas!" ujar Cece dengan nada suara yang terdengar sangat erat. Tangan Cece sudah melingkar di leher Gibran.
"Katakan dengan jujur." Titah Gibran sambil memberi pijatan lembut pada salah satu gunung kembar Cece, hingga tanpa Cece sadari, Cece menggerakkan pinggulnya dengan lembut, membuat Gibran mendesah kenikmatan.
"Mas adalah pria pertama yang menyentuhku. Dan tidak dipungkiri aku sangat menikmati setiap sentuhan Mas Gibran. Aku sadar aku salah. Semua yang aku lakukan ini salah. Harusnya aku tidak melakukan hal ini di belakang Kak Vivi. Mas Gibran Kakak iparku. Tapi yang lebih membuatku sadar dan bahkan membuatku putus asa, apakah masih ada pria yang akan menerimaku sebagai seorang istri." Ujar Cece panjang lebar, dan bahkan sampai menangis.
"Maafkan aku kalau aku egois." Ujar Gibran yang langsung menghentakkan pinggulnya, membuat tangis sedih Cece langsung berubah tangis desahan.
"Mas, Ahhh, pelan-pelan." Desah Cece saat merasa tubuhnya terguncang hebat karena hentakan keras Gibran.
Bercinta pada malam hari, ditambah hujan yang begitu sangat deras itu sangat mendukung dan momen yang pas bagi Gibran.
Gibran terus bermain sambil mendesah memanggil nama Cece, membuat Cece sedikit merasa tenang karena Gibran tidak lagi menyebut nama kakaknya di tengah-tengah percintaannya. Gibran mampu menciptakan kehangatan di ranjangnya meski dalam kondisi hujan lebat.
Karena Gibran benar-benar melakukan penyatuan dengan adik iparnya secara sadar, Gibran meminta Cece merubah posisinya hingga beberapa kali. Gibran sengaja menunda sesuatu yang ingin muntah dari miliknya karena Gibran masih belum merasa lelah dan belum ingin menyudahi penyatuan nya dengan Cece, adik iparnya.
Saat Gibran kembali merasa akan ada sesuatu yang keluar, Gibran kembali mencabutnya, dan mengambil tisu, lalu mengelap pusakanya hingga bersih. Gibran kembali mengambil tisu, dan mengelap milik Cece hingga bersih juga. Gibran meminta Cece merubah posisinya jadi tidur miring, dan mengangkat satu kaki Cece, hingga Gibran bisa melihat dengan jelas milik Cece yang masih basah. Gibran kembali memasuki milik Cece dengan posisi Cece tidur miring serta satu kaki yang terangkat.
"Akhhhh. Kamu benar-benar membuat ku gila, adik iparku." Desah Gibran sambil menekan kalimat adik ipar, yang entah kenapa malah membuat Cece sedikit menyunggingkan senyumnya, padahal ia sadar bahwa yang saat ini ia lakukan salah.
Gibran terus memompa tubuh Cece sambil memegang kaki Cece, hingga membuat ranjang Gibran ikut menari karena hentakan Gibran yang begitu sangat kuat.
Saat Gibran ingin memuntahkan cairan kentalnya, Gibran langsung menekan pusakanya hingga masuk sepenuhnya dan bahkan sampai menembus dinding rahim Cece.
"Akhhhh!!!" Gibran mengerang panjang, dan mengeluarkan semua cairan kentalnya hingga keluar dari V Cece karena banyaknya cairan yang dikeluarkan oleh Gibran.
"Terimakasih, Sayang." Bisik Gibran dengan deru nafas yang ngos-ngosan. Gibran menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Cece, bahkan tidak mencabut pusakanya.
"Mas, berat." Bisik Cece yang secara tidak langsung meminta agar Gibran berpindah.
Gibran mencabut pusakanya, lalu kembali mengelap sisa penyatuannya, dan mengecup singkat milik Cece membuat Cece terkejut dengan apa yang di lakukan Gibran.
"Apa yang Mas lakukan?" tanya Cece terkejut
"Kenapa? Mulai malam ini, aku akan memberi cap disana bahwa pemiliknya adalah aku." Ujar Gibran tanpa dosa.
"Tapi kan jijik. Itu masih kotor." Ujar Cece yang tidak percaya kalau Gibran akan melakukan hal seperti tadi.
"Tidurlah." Ujar Gibran singkat sambil menarik tubuh Cece kedalam pelukannya. Entah kenapa malam itu Gibran jadi melupakan Vivi yang statusnya adalah istri Gibran.
Sepanjang malam itu, Gibran maupun Cece sama-sama menikmati momen senangnya. Keduanya tidur saling berpelukan seperti pengantin baru, dan mereka pun sadar kalau mereka telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.
Pagi-pagi Gibran sudah bangun. Gibran awalnya terkejut melihat Cece tidur dengan posisi memeluknya, tapi saat Gibran mengingat semuanya apa yang terjadi semalam, Gibran langsung merubah ekspresi wajahnya yang terlihat bahagia.
Gibran mengelus kepala Cece lembut, lalu membuka selimut yang digunakan Cece. Gibran masuk ke dalam selimut itu, dan detik berikutnya kamar yang tadinya sepi langsung terdengar suara pekikan berupa desahan.
"Mas, ini masih pagi." Gerutu Cece saat merasakan kembali pusaka Gibran yang memenuhi V nya.
"Aku ingin sarapan yang berbeda hari ini." Ujar Gibran yang kembali menggempur Cece hingga satu jam, namun tidak membuat Cece marah.
Satu jam sudah terlewati, Gibran mengantar Cece ke kamar mandinya sendiri. Gibran merapikan ranjangnya, baru setelah itu Gibran ke kamar mandi untuk bersiap ke kantor.
Jam 07.30 Gibran keluar dari kamar. Gibran tersenyum melihat Cece sedang menyantap sarapannya. Gibran mendekati Cece. Dahi Gibran langsung berkerut saat tidak mendapati makanan lain selain makanan yang ada di piring Cece.
"Apa kita sarapan 1 piring berdua?" tanya Gibran yang sudah menarik kursi untuk ia duduki.
"Tidak. Cuma buat aku aja. Kan Mas Gibran sudah sarapan tadi. Katanya mau sarapan yang berbeda. Jadi aku masak cuma buat aku sendiri." Jawab Cece panjang lebar, membuat tenggorokan Gibran serasa ada yang nyangkut karena susah untuk menelan air liurnya sendiri.
Dengan perlahan Gibran kembali mendorong kursi yang ia duduki. Gibran berangkat ke kantor dengan wajah culunnya. Ia tidak mengerti, apa dirinya yang salah bicara, atau memang Cece yang salah tanggap. Cece menanggapi ucapan Gibran saat bercinta di pagi buta tadi dengan penuh kesungguhan, dan sangat polos.
"Ternyata, se cinta dan senikmat apapun urusan percintaan, yang namanya lapar tetap saja lapar." Gumam Gibran sambil melihat keluar melewati kaca mobil. Gibran akan sarapan di jalan, daripada perutnya terus berteriak minta diisi.
Gibran masuk ke salah satu restoran yang menyediakan makanan ala jepang, untuk mengisi perut kosongnya.
Cece yang sedang bersiap ke kampus terkejut mendengar ponselnya berdering. Cece mengambil ponselnya dari tas selempang nya, dan hatinya sedikit bergetar saat melihat nama sang kakak yang tertera di sana. Entah kenapa, saat melihat nama kakaknya, Cece jadi merasa berdosa banget dan merasa takut untuk menerima panggilan masuk tersebut.
Panggilan masuk dari kakaknya sudah mati, Cece cukup merasa lega. Namun tidak berselang lama, ponsel Cece kembali menyala dan ternyata Vivi menghubunginya untuk yang kedua kalinya.
Dengan ragu-ragu Cece menerima panggilan dari Kakak nya.
"Hallo! Cece, kamu budek apa sudah tiada hah? Sejak tadi juga kakak telpon gak diangkat." Vivi langsung menyambar Cece dengan kemarahan karena kesal panggilannya tidak di angkat.
"Tadi aku masih sarapan Kak. Ada apa?" jawab Cece mencoba untuk bersikap santai.
"Kakak mau ngomong sama Mas Gibran. Kamu kasih ponsel kamu sama Mas Gibran." Ujar Vivi dengan ketusnya, karena sudah terlanjur kesal.
"Mas Gibran sudah berangkat dari 10 menit yang lalu Kak." Ujar Cece mengatakan yang sejujurnya.
Vivi yang mendengar ucapan Cece semakin kesal, pasalnya Vivi menghubungi Gibran hingga berulang kali, bahkan bisa dikatakan Sampe 100x, namun tidak ada satupun panggilan darinya yang diterima.
Tiba-tiba panggilan terputus. Cece memandang ponselnya dengan dahi berkerut, merasa tidak percaya kalau kakaknya bisa marah juga sama Gibran. Setahu Cece, selama ini Cece belum pernah mendengar suara cekcok atau suara kakaknya dan kakak iparnya bertengkar.
Cece tak ambil pusing, Cece langsung berangkat ke kampus dan menghilangkan pikiran buruknya tentang rumah tangga kakaknya.
4 hari sudah Vivi tak pulang, dan itu semakin membuat Gibran semakin sulit untuk menahan diri untuk tidak marah pada Vivi.
Hari ini, lebih tepatnya jam 02.00 siang, Cece menghubungi Gibran dan mengatakan pada Gibran kalau Cece tidak akan pulang karena ada tugas kelompok dan akan menginap di rumah temannya. Gibran yang merasa lebih nyaman ditemani Cece marah karena orang yang biasa menemani dirinya tidak bisa pulang. Akhirnya Gibran menghubungi Vivi dan meminta agar Vivi segera pulang. Tidak hanya meminta Vivi pulang secara baik-baik, bukan Gibran sampai mengancam Vivi untuk menghancurkan karirnya kalau sampai Vivi tidak pulang. Namun sayang, hingga jam 11.00 malam, Gibran tidak mendapat kabar akan kepulangan Vivi.
Akhirnya Gibran yang merasa hidupnya seperti di alam kubur karena selalu merasa sendirian, Gibran pun keluar dari rumah dan mengeluarkan mobilnya secara kasar. Gibran akan menjemput Cece untuk pulang. Gibran tidak peduli meski Cece mengatakan dia belum selesai dengan tugasnya, Gibran tetap menjemput Cece.
Gibran sampai di rumah teman yang di maksud Cece. Dengan cepat Cece masuk ke dalam mobil Gibran dan menutupnya secara kasar karena kesal.
Karen saat ini kondisi hati Gibran tidak sedang baik-baik saja, artinya sedang dalam mode emosional, akhirnya kemarahan Gibran semakin membuncah saat melihat Cece marah pada dirinya.
Gibran membanting setir mobil ke samping hingga hampir saja menabrak pohon besar yang mengakibatkan kecelakaan tunggal.
"Aaaa!!!" Cece menahan sakit di keningnya saat terbentur dasbor mobil.
Gibran memukul stir hingga berulang kali karena emosi.
"Apa memang sudah takdirku hidup sendirian. Mau punya istri atau tidak, ternyata nasibku tidak ada bedanya." Gumam Gibran dengan hati yang begitu terasa sangat sesak, dimana ia selalu ditinggal pergi oleh Vivi, bahkan sudah 1 tahun lebih Gibran menahan agar rumah tangganya tetap harmonis. Ternyata, Gibran mulai merasa lelah juga menahan amarahnya, hingga Gibran melampiaskan di depan adik iparnya.
"Mas…
Cece menghentikan kalimatnya, saat Gibran memegang kedua tangan Cece.
"Boleh Mas minta sesuatu sama kamu?" tanya Gibran sambil menatap mata Cece dengan tatapan mata yang sudah terlihat sangat merah