"Pengen martabak," gumam Dara untuk yang kesekian kalinya, tangannya mengusap perutnya. Bibirnya manyun, pandangannya lurus ke luar jendela mobil yang melaju mulus menuju bandara. Di sebelahnya, Jedidah tetap tenang, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel dengan fokus penuh. Tatapannya tajam, terarah pada layar. "Pak, mau martabak." Jedidah tidak merespons. Seperti sejak tadi, ia tetap diam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Dara mendesah keras. Kalau bukan karena perjalanan ini penting, dia lebih memilih tidur sepanjang hari daripada duduk di sini, mengeluh tanpa ditanggapi. Mereka akan terbang ke Tver, Rusia, untuk menghadiri pertemuan penting dengan para bangsawan pemilik tambang berlian. Tapi bagi Dara? Itu semua tidak lebih penting dari hasrat sesaatnya pada martabak. “Ayok turun, kena