Kejutan luar biasa

1029 Kata
"Panjang umur baru juga dibahas, orangnya sudah muncul," cibir Riko dengan lagak duduk bos. Kirana belum mengedip dua matanya. "Aku gak mimpi, kan?" batinnya. "Lama amat sih! Sudah kebas dua bantal ini, makan berdua mesti lama kayak gini!" cerca Hendra, sama juga dengan sikap sombong. Sisa tinggal Tomi, tidak menunjukkan muka menyebalkan kayak dua saudara yang terang-terangan seperti ini. Dia kembali duduk dan membuka data list terjepit di papan segi panjang itu. Galen mendaratkan ke bangku kosong, lalu menatap dua manusia paling dia benci. "Kalau rasa kalian malas menunggu saya. Kenapa juga cape-cape buat datang ke sini. Nyatanya cuma mau menyindir," ucap Galen dengan sikap angkuh. Hendra dan Riko dengan muka sagar pun menatap tajam ke arah Galen. "Saya juga gak bakal mau datang, kalau bukan kakek suruh!" balas Hendra. "Bisa saja, kamu menolak. Biasanya kamu suka menolak setiap kakek minta," ucap Galen dengan acuh, sambil menanda tangani dokumen di meja. Kirana yang berdiri, hanya bisa diam, mendengar percekcokan mulut yang tidak dia pahami. Sesekali dia melirik ke arah Tomi. Hanya Tomi seorang tidak ikut percekcokan manusia bertiga ini. Dalam diri Kirana, mulai memunculkan beberapa pertanyaan yang masih teka-teki. "Katanya gak ada hubungan apa pun sama dosen killer satu ini? Terus, Pak Riko juga." "Kalau pria di sebelahku memang gak ada hubungan dari tiga pria di depanku. Lalu, tujuan mereka di sini untuk apa?" "Perdebatan mereka juga sangat akrab. Seakan mereka ini memang punya hubungan terikat satu sama lain. Kalau sikap Pak Riko, memang tergolong ketus banget. Suka menyindir, disitulah aku gak suka banget sama dia." "Bukan aku benci sepenuhnya. Berkat dia juga, aku bisa selesai kuliah sampai akhir dengan IP nilai memuaskan. Meskipun gak sampai nilai Cumlaude. Gak masalah sih buat aku." Selama percekcokan mereka masih berlangsung hingga tanpa disadari oleh Kirana masih sibuk sama isi dunia kepalanya sendiri. Tomi sekali memanggil namanya. Kali ini nama yang sangat lengkap sekali. "Kirana Melani Lim!" Dengan cepat, dia pun merespon dengan spontan. "Ah, ya, Pak! Tugas kemarin sudah selesai!" Tomi, Riko mendengar respon disuarakan oleh Kirana membuat keduanya menggeleng. Kirana tidak tahu menahu, apalagi suara terkekeh dari Hendra membuatnya semakin malu. Bukan rasa malu itu menyambut dirinya. Tetapi sepasang mata mengarah kepadanya. Siapa lagi, Galen. Galen tidak suka dengan sikap Hendra yang sok kuasa dan sok banget. Walau respons Kirana itu secara spontan saat sedang melamun. "Ya ampun, Galen! Apa ini yang kamu bilang dia pantas mendapat kekuasaan di keluarga kita nanti?" Hendra kembali tertawa. Dia tidak bisa berhenti, dia merasa kelucuan dimiliki Kirana membuatnya terjungkir ke belakang. Kirana merasa malu sangat-sangat malu. Tomi yang melihat tingkah Hendra rasanya ingin mencekik. Sebaliknya dengan Riko. "Kalau kamu masih ingin ketawa, kenapa tidak di panggung komedi saja?" ketus Galen membuat seisi ruangan jadi hening. Galen tidak akan mau becanda terlalu banyak. Mungkin Kirana merasa tidak enak dengan kehadiran tiga bersaudara. Jika bukan perintah dari sang kakek. Mungkin mereka juga tidak akan berada di ruang rapat sepenting ini. "Kita langsung saja, karena saya masih banyak urusan selain ini," ujar Tomi, mengalihkan topik jauh lebih serius. Hendra dan Riko pun demikian juga, mereka mulai fokus dengan sesuatu sudah dinanti. Dapat Kirana lihat dengan matanya. Tadi sempat pria di sudut sebelah kanan tertawa, kemudian bersikap wibawa dan serius. Kirana masih penasaran apa yang akan mereka bahas di ruangan ini. "Jadi ... bagaimana menurut kamu, soal peserta yang saya sebutkan?" Kali ini Riko yang bersuara lebih dulu. "Kita bisa mendengar pendapat dari wanita di sana," ucap Hendra mengarah ke Kirana. Kirana dengan sikap bloon, malah menoleh seluruh. "Maksud Bapak, aku?" tunjuknya pada diri sendiri. Dengan cermat Hendra mengangguk. "Pasti, memang di sini siapa lagi jenis kelamin wanita?" timpal Hendra kemudian. Kirana dengan rasa malu habis, dia merasa tidak tahu pembahasan apa yang mereka bahas saat ini. "Bagaimana bisa kamu memberi dia sebuah pertanyaan, jelas-jelas dia tidak tahu, apa maksud dari kamu berikan?" sambung Galen tanpa menatap sedikitpun ke arah Hendra. Hendra pun menghela. "Saya hanya mengetes, mana tahu dia bisa menangkap apa yang kita bahas tadi?" Kirana menunduk, dia seperti bergumam sesuatu. "Memang aku dewa, bisa membaca isi pikiran kalian?" "Sepertinya, saya kurang tertarik dengan peserta satu ini. Yang dikatakan oleh Pak Riko. Nilainya boleh diberi aju jempol. Tetapi, kita tidak tahu, apakah skill dia miliki mempengaruhi pada pekerjaan?" ungkap Galen menyimpulkan seperti dia tanggap, sebelum dia masuk ke ruangan ini. Kirana melihat CV lamaran dari peserta yang sedang dibicarakan. Namanya juga tidak familiar banget. Entah kenapa Kirana mengenal semua nama CV tersebut. Seakan lamaran ini semua direkrut dari mahasiswa di Universitas tempat dia kuliah. "Pantesan, kenapa semua lamaran CV ini sangat gak asing diingatanku. Apa mungkin, mereka merekrut mahasiswa memiliki skill dan IQ, seperti Serena?" batin Kirana. Masih menganalisis satu per satu. "Kita bisa melihat dulu. Kita belum tahu, apakah dia bisa bertahan atau tidak. Batas untuk pelatihan tiga bulan. Masih ada waktu untuk menilai, pantas atau tidaknya dia?" pungkas Hendra. Hendra masih tetap kukuh untuk merekrut peserta dia pilih. "Menurut saya, Pak Hendra benar. Kenapa diterima saja dulu. Bisa kita toleransi lagi, apakah dia berhak menjadi karyawan tetap atau tidak?" sambung Tomi kemudian. "Dia saja, setuju. Kenapa kamu tidak?" "Karena saya yang menilai. Satu atau dua yang setuju, belum tentu satu pihak menerima. Yang lebih berhak untuk setuju adalah saya. Kalian masih di bawah level, jadi kalian cukup menerima. Saya tidak setuju dan saya tidak menerima ...." "Bagaimana menurut kamu, Nona cantik? Apakah kamu setuju pendapat dari kami?" Hendra sebaliknya menuju ke Kirana. Kirana dengan cengang tidak tahu apa pun. "Itu ...." "Intinya saya tidak setuju. Karena menurut saya, peserta ini tidak terlalu jujur untuk dalam dunia pekerjaan dia pilih," lanjut Galen. "Bagaimana kamu bisa tahu, dia tidak jujur? Apa kamu pernah bertemu dengan peserta itu?" Sekarang gantian Hendra bertanya. Hendra tetap akan menerima peserta itu. Karena menurut dia, peserta itu pantas. Walaupun dia harus melewati persetujuan tangan Galen. "Maaf, kalau boleh aku potong." Kirana pun bersuara. Meskipun dia masih ragu untuk memberi keputusan suasana seperti ini. "Silakan," ujar Hendra. Kirana sekali lagi melirik Tomi, Riko, dan pastinya Hendra. Kalau Galen, Kirana tidak perlu melirik. Wajahnya tetap sama tidak ada perubahan apa pun. "Maaf, ini hanya pendapat dari aku saja. Aku tidak tau, ini akan diterima atau tidak," ucap Kirana masih secara hati-hati berkata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN