Dadakan

1401 Kata
"Ada apa, Mbak cari saya?" Kirana berdiri dihadapan Yuni yang sedang mengerjakan laporan untuk serahkan kepada managernya. Dia sampai menekan pelipis karena terlalu banyak belum selesai. Dia menoleh dan menatap wajah Kirana. Dia menghembus napas pendek. Dia sudah terlalu banyak mengeluarkan aura marahnya kepada yang lain. Dia sampai lupa, memanggil Kirana hanya soal sepele saja. "Oh, sudah datang dari tadi?" Kirana mengelik, "Sudah dari langit ke bumi, turun beberapa kali. Ini orang sengaja bikin kesabaran aku habis atau cuma pancingan?" batinnya. "Gak, baru saja," jawab Kirana sopan. Padahal dia gondok sama Yuni. Kalau bukan pernah berdebat dengannya, palingan yang akan dia beritahu soal printer. Tidak ada lagi. Itu yang selalu dipermasalahkan olehnya. "Sebentar, ya, Ana. Aku serahkan ini dulu ke pak Darga. Kamu bisa tunggu, kan?" pintanya. Kirana mengelik lagi. "Eh, lama gak?" Kirana bukan tidak ingin menunggu, karena dia masih ada urusan antar bingkisan ke lantai enam. Dia juga tidak enak hati di sini terus. Apalagi kamera ada dimana-mana. Belum lagi di lobi, tidak ada orang yang jaga. Bagaimana kalau ada orang datang terus melihat di meja informasi dan operator tidak ada siapa-siapa. Apa yang harus dia jelaskan kepada penanggungjawabnya. "Kenapa? Apa kamu ada urusan lain? Sebentar saja, gak lama kok, cuma anterin laporan ini ke dia. Setelah itu baru ke kamu," ucapnya seperti memang sengaja. "Gak sih, aku gak bisa lama-lama di sini, soalnya dibagian informasi gak ada orang yang jaga. Takut nanti ada ..." Yuni lihat jam tangannya, lalu mengatakan kepada Kirana saat dia meninggalkan meja kerja, dan tidak meminta Kirana untuk pergi kemanapun sebelum dia kembali. "Jam segini, gak ada orang yang datang, terkecuali hari Jumat dan Selasa," ujarnya. Kirana menghela sangat berat sekali. Lalu seseorang mencolek. Kirana menoleh, Nikita meminta dia mendekati mejanya. Kirana pun menurut. Walaupun dia tidak terlalu dekat dengan divisi lain. Tetapi mereka sangat baik padanya. Hanya saja, sang manager mereka saja yang sedikit canggung untuk berakraban. Seperti Yuni tadi. "Gak usah dipikirin, btw, kamu bawa apa tuh, di tanganmu?" Nikita bertanya dan memajukan bibirnya ke bawaan Kirana. Kirana kelupaan, dia harus membawa bingkisan ini ke lantai enam. "Makanan, dari titipan seseorang," jawab Kirana jujur. "Makanan? Memang buat siapa?" Amela sambung bertanya, karena ikut kepo. Nikita dan Amela sama-sama bagian administrasi stok penjualan dan pembelian. Mereka dibawahnya Yuni. Setiap laporan barang masuk, merekalah yang bertanggung-jawab atas barang tersebut. "Dari ... siapa ya, aku lupa. Katanya untuk pak Theo," jawab Kirana. Dia lupa nama wanita itu. Kirana mudah melupakan nama seseorang. "Eh? Pak Theo?" Bersamaan Amela dan Nikita mengulang nama itu. Kirana mengangguk. "Kenapa?" Giliran Kirana bertanya. Sepertinya mereka enggan untuk menjawab. "Gak apa-apa," pelan Nikita menjawab. "Memang ada apa dengan nama itu? Apa dia memang susah ditemui?" Kirana semakin ingin tahu. Soalnya dia juga akan ke lantai enam juga. Seseorang memanggilnya. "Bukan gak bisa ditemui. Dia itu..." Amela tiba-tiba menutup mulut Nikita untuk menceritakan tentang orang itu. Kirana semakin penasaran, entah firasatnya saja atau suatu hal menghubungkan dengan wanita tadi. "Yang penting, setelah kamu antar makanan itu ke beliau. Aku berharap kamu gak mengalami hal-hal seram," ucap Nikita, untuk memberi kode kepada Kirana. Kirana mengarahkan ruangan Darga. Sang manager paling dikesalin. Yuni belum kembali. "Apa sebaiknya aku antarkan makanan ini dulu, baru kembali ke sini lagi?" pikir Kirana. "Kalau gitu, aku pamit dulu, ya. Nanti aku kembali ke sini lagi," ucap Kirana berpamitan sama Nikita dan Amela. Sepeninggalnya Kirana di Grup Finance. Nikita berbisik pelan dan berbicara dengan Amela. "Apa dia benar-benar gak tau soal pak Theo dengan hubungan ibu Vika?" "Lebih baik jangan bicarakan hal itu di kantor. Kamera kita bisa mendengar percakapan kita," ucap Amela untuk menyudahi percakapan mereka. Kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Kirana memilih menggunakan tangga darurat saja. Karena dia berada di lantai delapan. Jadi menggunakan tangga darurat lebih cepat daripada menaiki. Sampai di lantai tersebut. Kirana berjalan menelusuri lorongan. Sedikit sunyi, hanya ada beberapa ruangan tertutup dan privasi sekali. Baru pertama kali, Kirana menginjak tempat ini. Tempatnya sangat luas, lebih banyak terlihat pemandangan daripada di lantai delapan. Entah siapa yang mendesign gedung ini. Sungguh Kirana sangat mengagumi. Sampai ditujuan, dimana nama tertulis di pintu. Kirana bersiap untuk mengetuk pintu itu. Tetapi suara kunci otomatis itu berbunyi dan pintu itu secara ringan terbuka tanpa diminta perintah. Kirana malah bengong. Dia enggan untuk masuk, sebelum orang di dalam benar-benar ada. Dia takut jika nanti orang melihat, dia karyawan tidak tahu diri sembarangan masuk tanpa mengucapkan sesuatu. "Permisi, saya Kirana. Saya hanya antar makanan dari ...." "Dibuang saja," potong suara itu, yang tidak asing di telinga Kirana. "Eh, tapi, Pak. Ini makanan dari...." "Apa kamu tidak punya telinga? Saya bilang, buang!" Kirana sudah mengerti perkataan Nikita tadi. Ini alasan kenapa mereka enggan untuk menceritakan soal nama Theo. "Tapi, Pak. Ini...." Pria itu berbalik dan menatap Kirana begitu tajam. Kirana menelan ludah begitu susah payah. Nama panggilan Theo itu ternyata adalah pria yang sudah lama dikenal oleh Kirana. Bahkan suara panggilan telepon beberapa menit itu, juga adalah dia. Sekarang, Kirana tidak bisa lari lagi. Enam bulan Kirana tidak pernah lagi bertemu dengan pria itu. Sekarang dia sudah bertemu dan pertemuan kali ini adalah pemilik gedung di PT. A&G Antarego Group. Sungguh, takdir apa yang Kirana dapatkan. Dia sudah merasa lega, tidak dipertemukan lagi sama pria itu. Yang selalu berkorban membantu, memaksa, hingga terjadi sesuatu hubungan diantara mereka. Pria itu berdiri dan berjalan ke arah Kirana yang masih mematung. Dengan cepat Kirana sadar, dia meletakkan bingkisan berisi makanan dari Vika di meja dekat vas bunga. Lalu dengan cepat langkah kakinya menuju ke pintu. "Mau ke mana?" Galen berhasil menangkap Kirana ke pelukannya. "Kamu tidak kangen padaku?" ucapnya lagi. Sambil mencium aroma sampo digunakan oleh Kirana. "Pak! Ini kantor, bersikaplah lebih sopan terhadap karyawan. Kalau Bapak seperti ini, Bapak akan dicap sebagai ...." "Pelecehan?" Galen semakin menenggelamkan wajahnya di leher Kirana. Kirana menelan ludah dan merasakan sesuatu aneh dilakukan oleh Galen saat ini. Dia sudah berjanji tidak akan melakukan pernah dia lakukan padanya. Tangan Galen mulai bergerak ke sisi baju Kirana. Kirana dengan cepat menahan dan berbalik, lalu mendorong Galen secara kasar. Satu tamparan untuk Galen. Kirana sudah berjanji akan mengubah semua pernah dia lakukan. Dia sudah berjanji akan memperbaiki semuanya. Untuk masa lalu yang sudah membuat dirinya hancur. Dia tidak ingin mengecewakan kedua kali. Galen tidak merasa tamparan itu keras. Dia masih sikap tenang, walau Kirana sudah menahan untuk tidak membuat hal jauh lebih buruk. Galen tahu, Kirana mencoba berubah, tetapi perubahan itu tidak akan pernah hilang begitu saja. "Jangan mendekat! Cukup, aku gak..." Kirana tercegah apa yang dilakukan oleh Galen terhadapnya. Galen tidak akan pernah melepaskan Kirana. Galen mencium begitu puas. Kirana mencoba untuk lepas dari kegilaan dilakukan oleh pria gila ini. Kirana tidak memahami apa yang membuat Galen terobsesi padanya. Kirana akui, kebaikan Galen untuknya. Tetapi bukan cara ini yang dia dapatkan. Galen menangkap tangan Kirana yang terus memukulnya. Kirana tidak bisa bergerak, dia kesulitan bernapas. "Akhirnya berhenti juga," ucap Galen pelan, usai mencium Kirana yang terus meronta. Kirana kembali untuk menampar Galen lagi. Sayangnya, Galen menahan. "Saya tidak ingin tangan halus ini terluka hanya karena saya tidak menghubungi beberapa bulan," ucap Galen lagi. Kirana sangat benci padanya. "Kamu tahu, saya itu benar-benar rindu atas sentuhan yang pernah kita lakukan dulu." "Cuih!" Kirana meludahi Galen. Galen menghapusnya. Dia tidak merasa dihina. Dia sudah biasa diperlakukan seperti itu. Untuk Kirana, dia tidak akan pernah buat kasar. "Aku sudah pernah bilang berapa kali. Insiden itu hanya murni kecelakaan. Aku dan kamu itu tidak melakukan," "Benarkah? Apa kamu takut hamil? Lalu ini apa?" Galen tiba-tiba mengeluarkan sebuah barang bukti pernah dia ambil dari tas Kirana saat dia tidak sadarkan diri saat p****************g itu memasukan sesuatu ke dalam minumannya. Kirana tidak pernah lupa barang itu. Ya, barang itu dari Jesika. Sebelum dia menerima job dari Mega. Dia hampir stres dan frustasi karena pil itu hilang entah dimana. Ternyata dalang yang mengambil pil itu adalah Galen. "Saya tahu, kamu bersiap untuk melakukan hal lebih dari itu. Tetapi, kamu melakukan terlalu berbahaya apalagi untuk masa kesuburan yang masih muda seperti dirimu. Saya tidak ingin itu terjadi, apa kamu tidak kasihan pada kesehatanmu?" kata Galen menyentuh wajah Kirana. Kirana membuang, dia tidak ingin disentuh. "Peduli apa kamu terhadapku. Aku dan kamu itu gak ada ikatan apa pun. Aku tetap aku, kamu hanya lintah mana yang tiba-tiba muncul tanpa diminta!" ucap Kirana dingin. Galen menghela berat. Dia gemas melihat Kirana masih belum peka apa yang dia katakan tadi. Tetapi dia senang, dia bisa mendengar suara ketus dari mulutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN