Siang-siang buta, Tian dapat telepon dari pamannya untuk bertemu dengan seseorang. Tian sebenarnya enggan untuk kemana-mana, satu hari dia tidak bisa tidur karena menjaga wanita yang dia tolong. Kalau Rendy, jangan diharapkan. Karena dia seperti seekor hidung pesek kerjaannya tidur.
Dia sudah siap untuk berangkat. Rendy juga ikut. Karena dia hanya sebagai pengawal tanpa kontrak. Rendy, hanya sampingan untuk Tian yang kesepian. Rendy itu sudah ibarat seperti anak diangkat oleh induk lain.
Pekerjaan Rendy hanya bikin keributan, atau bala bantuan. Mobil Tian meninggalkan ruko perumahan itu.
"Kita mau ke mana nih?" tanya Rendy sambil menyisir rambutnya ke belakang.
"Ke jurang, buat bunuh diri bersama," jawab Tian asal.
"Yang benar? Nanti kamu nangis minta sama Tuhan untuk hidupkan lagi?" ejek Rendy.
"Kamu pikir aku ini, cengeng! Kamu kali!"
"Yang benar?" colek Rendy.
Tian membanting setir, buat Rendy terombang-ambing ke sana ke sini. "Ups! Santai Bro! Aku cuma bercanda, jangan kebawa emosi," gerutu Rendy.
Sampai di tempat tujuan, Tian dan Rendy keluar. Mereka masuk ke gedung itu. Di sana tidak ada siapa-siapa yang jaga. Baru tidak berapa lama seseorang keluar dari lift. Kirana kembali setelah urusan selesai. Dia mendapat omelan dahsyat dari Yuni. Padahal dia hanya sebentar mengantar makanan untuk pak Theo. Malahan dia terjebak di ruangan bersama Galen. Sehingga waktu yang dia gunakan memang adalah kesalahannya.
Jika saja, Galen tidak menahan dan melakukan sesuatu yang tidak pantas itu. Pastinya Yuni tidak akan semarah itu padanya. Kirana tidak tahu harus bertindak bagaimana agar mereka mempercayainya. Seakan dia sudah ditakdirkan seperti ini.
"Orangnya gak ada?" Rendy bersuara.
Mencari-cari orang yang bagian informasi. Kirana menghembuskan napas amat pendek. Dia terlihat sangat berat untuk dipikirkan soal pekerjaan seperti ini. Lalu, tanpa sadar dia menabrak orang berdiri tepat di informasi.
"Ah! Maaf!"
Kirana lama-lama kayak orang bodoh, tabrak sana sini. Tian menoleh dan merunduk menatap seorang wanita. "Tidak apa-apa. Saya hanya ingin bertemu seseorang yang bertanggungjawab di gedung ini," ucap Tian.
Dengan percakapan ke inti tanpa beri pertanyaan yang jelas. Tian memang seperti itu. Kirana mendongak. Suara itu jelas dia kenal. Tian langsung beri senyuman. Karena itu dia tidak suka formal-formal. Karena dia kenal rambut milik Kirana.
"Apa Anda sudah punya janji dengan pak Theo?" jawab Kirana. Sikapnya biasa saja. Dia kembali ke meja kerjanya dan membuka komputer dan memeriksa laporan dari atas.
"Belum, justru itu saya langsung ke sini untuk bertemu," ucap Tian.
Kirana tidak langsung menanggapi, sekali lagi dia melihat komputer. Setelah itu dia menatap Tian saksama. "Maaf, Pak. Kami tidak bisa sembarang memberi pertemuan tanpa janji. Saat ini pak Theo sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun," ucap Kirana sopan.
Tian merasa kecewa. Dia sudah jauh-jauh ke sini. Lalu dia melirik Rendy. Kirana merasa diperhatikan oleh Rendy. Tetapi Kirana mengabaikan pandangan itu. Karena dia tidak kenal wajahnya.
Beberapa saat kemudian, Kirana mendapat pesan dari mailbox. Dengan penggerak kan cepat, Kirana berdiri dan menyambut secara hormat. Membuat Tian jadi kebingungan.
"Silakan Pak, saya antar kan Anda hingga ke tujuan beliau. Mohon maaf atas perkataan saya tadi," ucap Kirana menunduk dan meminta maaf atas kesalahan tidak memperbolehkan Tian bertemu dengan Galen.
Di mailbox, Galen mengirim pesan, untuk mengantarkan tamu di bawah ke tempatnya. Entah kenapa Kirana menurut saja. Seakan dia mendapat sebuah ancaman dari Galen.
Saat masuk ke lift, Kirana menekan tombol angka yang di tuju. Rendy berdiri di pojok sambil mengamati Kirana tanpa berekspresi.
"Gak usah pasang muka galak gitu, biasa saja," ucap Rendy, yang terlihat sunyi sekali.
Kirana merasa tersindir oleh pria berpakaian aneh itu. Tian menginjak kaki Rendy untuk tidak buat rusuh. "Maafkan teman saya satu ini. Dia memang suka begitu," ucap Tian, mewakilkan Rendy sebagai permohonan maaf.
"Btw, kamu Kirana, kan? Mantan mahasiswa jurusan SI bukan?" Rendy tidak bisa diam. Padahal Tian sudah meminta maaf.
Tian hanya menepuk jidat, dia sungguh memalukan mempunyai teman seperti Rendy, tidak menghargai tempat. Kirana tidak beri tanggapan apa pun.
Beberapa saat lift mereka naik, berhenti tepat nomor tujuan. Kirana mempersilakan Tian dan Rendy lebih dulu keluar. Rendy masih memasangkan muka iming-iming agar Kirana mau merespons.
Kirana tidak terpancing akan wajah Rendy. Kemudian Kirana berjalan depan, Tian dan Rendy cukup mengikuti. "Kamu benar-benar gak ingat mukaku? Kita pernah bertemu loh?"
Rendy tiba-tiba berjalan mundur memandang Kirana. Tian sekali lagi menghela dan meminta Rendy untuk bersikap lebih sopan. Kirana berhenti, sebaliknya Rendy juga. Tapi dia malah menabrak seseorang tepat orang itu keluar. Rendy mendongak menatap sosok tinggi tegap itu.
"Maaf, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Anda," ucap Kirana menunduk.
Rendy memilih menjauh, dia spontan merangkul Galen tanpa rasa etika apa pun. Tian tidak bisa berkata apapun lagi.
"Hei, Bro! Lama tidak bertemu! Wah, sudah jadi bos besar di sini?" serunya.
Kirana memberi izin undur diri, tugasnya selesai. Dia harus kembali ke tempat pekerjaan. "Ana!"
Kirana berhenti, entah kenapa nama panggilan itu tidak pantas dia dengar. Tetapi, Galen memanggil sebutan namanya. Rendy semakin yakin, kalau Galen dan Kirana memang ada hubungan spesial.
"Kamu kenal karyawan satu ini?" Rendy semakin sewot dan kepo.
"Buatkan minuman untuk dua tamu saya," ucapnya.
Kirana menyahut. "Baik, Pak."
Galen mempersilakan Tian dan Rendy masuk ke ruangannya. Tian masih belum terbiasa dengan suasana di ruangan Galen. Sementara Rendy seperti anak berusia tujuh tahun. Bagaikan kera tidak bisa diam.
"Ada gerangan apa ingin bertemu denganku?" Galen bersuara dengan nada tidak bersahabat.
Tian sudah tahu, Galen paling malas bertemu orang seperti dirinya. Jika bukan perintah dari pamannya sendiri.
"Biasa, membicarakan soal properti yang kamu beli?" jawab Rendy, masih sibuk dengan koleksi piala di rak rapi itu.
"Properti? Oh, kenapa?"
Tian tidak tahu harus memulai dari mana perbincangan ini lebih enak. "Bukan apa-apa, saya hanya diminta sama paman untuk membicarakan properti yang kamu beli itu atas dasar apa? Sebagai tanggung jawab yang saya terima sebagai pengganti Aldo. Saya ingin mengetahui lebih lanjut. Saya tidak ingin ada hal yang kurang mengenakan untuk para penduduk saat menempatinya."
Galen berkelih. "Oh jadi kamu yang menggantikan Aldo, pria tidak tanggung jawab, dan dengan lidah ular membalik fakta, pergi dengan uang dia ambil?"
"Kalau soal itu, saya tidak tahu. Itu urusan kamu dengannya. Saya hanya diminta sama paman untuk memastikan soal properti yang kamu beli. Soalnya rumah yang kamu tempati oleh seseorang apa ada kaitan dengannya?"
Kirana berdiri tepat membuka pintu sambil membawa minuman untuk tiga orang. Dengan jelas pula apa yang diucap oleh Tian. Rumah yang dia tinggal itu adalah dalang dari Galen.
Galen melirik ke Kirana. Kirana dengan sikap sopan masuk dan membawa secara hati-hati. Setelah minuman itu datang. Kirana kembali keluar. Namun Galen memanggilnya.
"Ana,"
"Ya, Pak?"
"Apa kamu melakukan sesuatu di rumah baru?"
Kirana tidak mengerti atas pertanyaan dari Galen. "Maksud Bapak?"
"Saya dengar dari penanggungjawab kalau ada warga diam-diam keluar dari rumah itu. Lalu peraturan batas keluar itu hanya pukul sepuluh. Apa itu kamu?"
Kirana mematung, dia memang tidak ingat kejadian kemarin malam. Tetapi tidak mungkin juga orang yang bertanggungjawab atas properti itu adalah Tian. Pria yang sempat minta kenalan padanya tepat dia tiba di rumah itu.
"Itu ...."
"Kalau misalkan dia melanggar, usir saja, atau tidak perlu beri dia masuk sekalipun," ucap Galen tegas.