"Jay?" Marka langsung memprotes saat mendengar perkataan Jayden. Dari wajahnya tampak sangat tidak suka. "Apa maksudmu memintanya untuk menjadi seperti Agatha? Dia masih hidup, kau tidak mungkin menggunakan identitasnya."
"Aku tau." Jayden melirik Marka sedikit tajam. "Penyamaran bukan sekedar merubah identitas, tapi juga perilaku dan penampilan. Untuk itulah aku menyuruhnya melakukan ini agar penyamaran itu semakin sempurna."
"Aku mengerti, tapi bukan berarti harus mirip Agatha. Jay! Ayolah, dia sudah bahagia sekarang," protes Marka lagi, mana mungkin dirinya membiarkan Jayden terus mengingat Agatha dan selalu bersedih jika melihat masa lalunya.
Jayden menghempaskan piring di depannya dengan kesal, suaranya begitu gaduh membuat orang yang ada di sana terkejut.
"Kenapa kau jadi yang mengaturku? Kau aku bayar bukan untuk mengurusi apa yang harus aku lakukan, Marka!" hardik Jayden.
"Ya aku tahu posisiku, tapi sebagai sahabatmu aku tidak rela kau terus merusak dirimu sendiri hanya demi wanita itu! Lupakan dia, Jay!" Marka balas membentak, ia sudah muak melihat Jayden yang terus seperti ini.
"Hanya katamu? Agatha tidak pantas jika disandingkan dengan kata hanya, dia wanita—"
"Wanita yang sudah menjadi istri orang lain!" tukas Marka tanpa perasaan, tak peduli jika Jayden semakin sakit hati, pria ini harus sadar jika wanita yang dicintainya sudah menjadi milik orang lain.
Jayden terdiam, nyatanya nyeri di hatinya kembali terasa saat mendengar fakta itu. Ia tersenyum kecut, sadar betul apa yang dikatakan oleh Marka adalah kebenaran, tapi kenapa? Kenapa dirinya masih tidak bisa merelakannya?
"Jay aku tidak bermaksud," ucap Marka lagi, baru merasa bersalah saat melihat wajah Jayden yang tampak menahan kesedihannya.
"Lupakan, sekarang terserah wanita ini mau seperti apa," sahut Jayden mengalihkan pandangannya ke arah Kenanga, berusaha untuk mengubur dalam-dalam rasa sakit itu.
Kenanga masih bengong, melihat kedua pria di depannya sedang beradu mulut membuat kepalanya cukup pusing. Sekarang ia justru ditanya hal yang membuat kepalanya semakin pusing.
"Aku tidak keberatan harus melakukan apa saja, tapi aku tidak yakin bisa berpura-pura menjadi orang lain, Tuan. Apalagi wanita ini ... terlalu sempurna." Kenanga belum membaca semua biodata Agatha, tapi dari percakapan kedua pria itu Kenanga tau jika Agatha adalah wanita yang begitu istimewa.
"Tidak sepenuhnya harus mirip, kau hanya perlu merubah beberapa kebiasaanmu. Mengenai penampilan, aku rasa cukup menambahkan beberapa hal yang cukup menonjol. Sekarang makanlah, kita akan pergi setelah ini," tutur Jayden tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. Melirik Kenanga pun tidak, mood-nya berubah buruk jika mengingat masa lalunya.
Kenanga mengangguk mengiyakan, dirinya buru-buru menghabiskan makanan di depannya. Ia menilai Jayden ini orang yang tidak suka berbasa-basi, daripada kena semprot mending dirinya bergerak dengan cepat.
"Pelan-pelan saja, kau bisa tersedak nanti," tegur Marka tatkala tak sengaja melihat gaya makan Kenanga yang serampangan.
"Eh, iya Tuan." Kenanga meringis malu.
"Kau bisa memanggilku, Marka. Aku asisten sekaligus teman Jayden," ujar Marka singkat.
Kenanga mengangguk pelan, ia sekarang akhirnya tahu siapa nama pria dingin nan arogan yang mengulurkan tangan untuk membantunya ini. Sejak semalam mereka bersama, mana ada pria itu menyebut namanya.
"Aku Kenanga, salam kenal, ya." Kenanga yang memang sejatinya wanita yang ramah, langsung saja mengulurkan tangan kepada Marka sebagai tanda perkenalkan.
Marka melirik uluran tangan itu, begitupun Jayden.
"Ya, salam kenal." Marka tersenyum tipis, menyambut uluran tangan itu sebentar lalu melepaskannya.
Kenanga balas tersenyum, ia melirik Jayden lagi, ingin berkenalan tapi ia ragu pria itu sudi bersentuhan dengannya.
"Pria arogan ini, pasti hanya akan menghinaku nanti," batin Kenanga seraya menarik tangannya kembali.
Namun, sebelum itu Jayden tiba-tiba menyambar tangannya yang mungil dan digenggam erat.
"Sudah tau namaku, kan? Sekarang habiskan makananmu. Kita harus pergi sekarang," ujar Jayden begitu dingin. Dirinya langsung bangkit dan nyelonong begitu saja.
Kenanga masih terdiam mematung, menatap tangannya yang baru saja dipegang oleh Jayden. Sikap pria itu memang sangat dingin dan tak tertebak. Tapi Kenanga heran, tangannya yang disentuh kenapa hatinya yang gemeteran?
Marka tersenyum tipis, ia menghabiskan satu suap makanannya lalu mengambil minuman. "Jangan melamun terus, Jayden paling tidak suka jika harus menunggu," celetuknya.
Kenanga tersadar seketika, ia buru-buru bangkit seraya membawa berkas yang baru saja diberikan Jayden.
*
Kenanga tidak tahu Jayden akan membawanya kemana. Pria itu juga tidak banyak bicara, jadi ia pun segan untuk bertanya. Yang jelas saat ini Jayden memintanya untuk menggunakan topi dan masker untuk menutupi wajahnya.
"Sampai identitas palsumu jadi, kau jangan pergi kemana pun."
Begitulah kira-kira yang Jayden katakan, dengan ekspresi wajah datar dan suara dingin yang mengantarkan.
Kenanga melihat hiruk-pikuk kota Jakarta yang semakin padat saat pagi hari. Ia tanpa sadar tersenyum manis saat bisa menghirup udara segar setelah beberapa bulan terkurung dalam lingkup dunia malam yang menyedihkan. Kini dirinya bisa menikmati cahaya matahari lagi seperti dulu.
"Udaranya sangat segar," ucap Kenanga.
Jayden hanya melirik, ia malah merasa heran. Sejak kapan udara Jakarta segar? Yang ada asap knalpot dan bising dimana-mana. Namun, saat melihat senyuman manis dari Kenanga membuatnya terdiam, senyuman manis itu mirip sekali dengan senyuman Agatha.
"Agatha," ucap Jayden tanpa sadar.
Kenanga menoleh. "Ya, Tuan?"
Jayden tersentak saat melihat wajah Kenanga, ia mengalihkan pandangannya kembali. Dirinya terlalu banyak berpikir sampai menganggap semua hal mirip dengan Agatha.
"Sebentar lagi sampai, pakai ini," ujar Jayden seraya menyerahkan topi dan masker kepada Kenanga.
Kenanga mengulum bibirnya, ia menerima topi dan masker itu lalu segera memakainya. Jayden ini memang pria yang tak bisa ditebak sama sekali, terkadang peduli, tapi terkadang juga begitu abai.
Mereka sampai di sebuah klinik kecantikan. Jayden langsung turun begitupun Kenanga. Wanita itu mengekor di belakang Jayden sembari melirik sekelilingnya. Tempat itu tak terlalu rame, bisa dipastikan tempat itu adalah klinik mahal yang biasa dikunjungi manusia kelas atas.
"Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Jayden melihat ke arah Kenanga, ia menarik bahu wanita itu agar berdiri di sampingnya. Sikapnya biasa saja, tapi Kenanga tentu saja kaget.
"Aku ingin menambahkan tahi lalat kecil di wajahnya. Apakah bisa?" ujar Jayden.
"Tentu saja, Tuan. Kami akan mengecek dulu wajah Nona, silahkan masuk dulu."
Pegawai klinik itu mengarahkan mereka menuju ruangan khusus untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan. Kenanga sebenarnya tidak begitu mengerti apa maksud Jayden ini, ia benar-benar menurut layaknya anjing kepada majikannya.
"Nona bisa buka maskernya agar kami tau dimana kami bisa menambahkan tahi lalat yang Anda inginkan."
Kenanga yang sejak tadi sibuk mengekor, tak terlalu mendengar perkataan Dokter itu. Jayden pun meliriknya dan tanpa mengatakan apa pun langsung membuka masker yang dikenakan Kenanga.
"Kau sudah di dalam, artinya aman," tukas Jayden.
Kenanga terperangah, dirinya ini memang terlalu banyak melamun. "Maaf," ucapnya pelan.
Jayden menghiraukannya, ia justru menyentuh dagu Kenanga dan membuat wanita itu sedikit mendongak. Pria itu memperhatikan wajah Kenanga lekat-lekat hingga sang empunya membeku seketika.
Jayden memperhatikan wajah Kenanga, sangat jauh berbeda dengan Agatha. Wanita ini memiliki mata bulat dengan bibir tipis berbentuk love. Sorot matanya tajam seolah tak kenal takut. Jayden akui, Kenanga ini sangatlah cantik dengan kecantikan yang unik dan tidak membosankan.
"Tuan?" Pegawai dari klinik itu memanggil karena Jayden diam cukup lama.
"Agatha punya tahi lalat dibawah mata sebelah kanan," ucap Jayden. "Dan aku mau, kau hapus semua tahi lalat atau tanda yang ada pada wanita ini. Apakah sanggup?" Jayden melepaskan dagu Kenanga, mendadak saja ia merasa gugup entah kenapa saat melihat wajah wanita itu.
"Bisa saja, Tuan. Tapi membutuhkan waktu yang cukup lama dan selama prosesnya mungkin Nona akan kesakitan."
"Tidak apa-apa, lakukan saja. Aku tidak keberatan," sahut Kenanga dengan cepat. Ia memegang dadanya sendiri yang sejak tadi berdetak kencang. Ia merasa harus secepatnya menjauh dari pria yang bernama Jayden ini.
"Kau yakin?" Jayden mengangkat alisnya, jika Kenanga kesakitan ia tak akan memaksa pastinya.
"Ya kenapa? Aku sudah pernah merasakan sakit yang lebih dari ini. Bukan masalah untukku, Tuan," ucap Kenanga dengan senyum tipis.
"Baiklah, Nona mari masuk. Saya akan mulai proses menghapuskan tanda lahir Anda dulu."
Kenanga mengiyakan, ia bangkit dari duduknya dan mengikuti pegawai klinik itu. Jayden masih berdiam diri disana, melihat senyuman Kenanga tadi, kenapa perasaannya tidak enak?
"Aku tidak melakukan hal yang salah bukan?"
Bersambung~