Bab 13 - Berdebar

2025 Kata
Ravi masih memperhatikan saat Sara masuk ke dalam mobil bersama seorang pria dewasa dan anak laki-laki itu. Satu hal yang pasti, Sara masuknya melalui pintu belakang. Hal yang membuat Ravi berpikir … apa Sara masih belum bisa duduk di samping kursi kemudi? “Pak Ravi.” Suara Windy membuat Ravi spontan memutar tubuhnya. “Iya?” “Ini minuman untuk Pak Ravi.” “Tolong letakkan saja di meja,” balas Ravi. “Terima kasih, ya.” Setelah meletakkan kopi di meja Ravi, tak lama kemudian Windy kembali undur diri meninggalkan bos barunya itu. Ravi kemudian menatap ke luar jendela lagi, tepatnya ke arah yang semula masih ada Sara di sana. Namun, kini mobil yang Sara naiki sudah menghilang. *** Sementara itu, Sara yang kini duduk di kursi belakang mobil yang Dwiki kemudikan, tampak langsung saling melepas rindu dengan Noah, bocah imut berusia empat tahun lebih. Noah bahkan kini sudah duduk di pangkuannya. “Maaf ya Mas, padahal kita janjian di resto dekat kompleks perumahan Mbak Desy, malah jadinya ketemu di sini,” ucap Sara. “Saya nggak keberatan sama sekali. Anggap aja ngajak Noah berkeliling dulu,” balas Dwiki. “Ngomong-ngomong, berapa lama aku nggak bertemu Noah, Mas? Rasanya terakhir kali rambutnya belum se-gondrong ini deh.” “Tiga pekan. Lama juga, ya?” balas Dwiki sambil mengemudikan mobilnya menuju halaman belakang Radiant Rose. “Wah, berarti waktunya Noah potong rambut,” kata Sara. “Enggak mau!” balas Noah cepat. Sara langsung tersenyum. “Nah itu. Dia jawabnya gitu terus pas diajak ke barber shop,” kekeh Dwiki. Bersamaan dengan itu, mobil yang Dwiki kemudikan berhenti tepat di dekat parkiran khusus staf Radiant Rose. Inilah yang dinamakan berputar, padahal tadi Sara turun di sini bersama Ravi, setelah itu ia ke depan untuk menemui Dwiki dan Noah lalu kembali lagi ke halaman belakang. “Kalau begitu tunggu sebentar ya, Mas. Aku ganti baju dulu,” kata Sara. “Noah, tante ke atas dulu buat ganti baju, oke?” “Noah nggak boleh ikut?” tanya Noah dengan ekspresi menggemaskan. “Bukannya nggak boleh, tapi tante takut Noah capek. Sebentar doang, kok.” Setelah mengatakan itu, Sara turun dari mobil Dwiki dan langsung berjalan menuju tangga yang lumayan membuat ngos-ngosan jika tidak terbiasa. Bagaimana tidak, Sara menuju lantai tiga gedung Radiant Rose. Tepatnya menuju rumah pribadi yang memang hanya bisa diakses oleh dirinya sendiri karena itu menjadi tempat tinggalnya. Sebenarnya awalnya itu bukan tempat tinggal Sara sendiri, melainkan bersama Desy. Namun, semenjak Desy menikah dengan Ibnu tiga tahun yang lalu, Desy tentu saja tinggal bersama suaminya sehingga Sara kini tinggal sendiri. Rumah ini selain bisa diakses dari dalam gedung, bisa juga diakses dari halaman belakang seperti ini. Sara hanya perlu menaiki tangga yang memang sudah sangat terbiasa naik turun begini sehingga tidak membuatnya terlalu ngos-ngosan. Setelah mengganti pakaian sekaligus menyalakan semua lampu karena hari sudah mulai gelap, Sara turun lagi dan tidak butuh waktu lama baginya untuk tiba di mobil Dwiki. Andai tadi mereka ketemuannya di resto dekat rumah perumahan Desy, sudah pasti Sara tidak akan ganti baju dulu. Namun, berhubung mereka ketemuannya di Radiant Rose, Sara akhirnya meminta Dwiki untuk mampir sebentar agar dirinya bisa berganti baju. “Maaf lama,” ucap Sara sambil kembali mengambil posisi duduk di kursi belakang, tepat di samping Noah yang kini terlelap. Sara pelan-pelan duduk dan berusaha tidak berisik. “Sampai Noah ketiduran,” lanjutnya agak berbisik. Sara bahkan membenarkan posisi tidur Noah agar lebih nyaman. “Dia baru banget tidur,” kata Dwiki. “Ini pasti karena aku kelamaan.” “Enggak. Dia memang udah ngantuk dari tadi. Seharian nggak tidur siang soalnya,” jelas Dwiki. “Nanti pas nyampe tujuan, dia pasti bangun lagi,” sambungnya. Dwiki masih berbicara, “Jadi bukan karena kamu lama ya, Sar. Bahkan misalnya tadi kamu mau mandi dulu, saya nggak apa-apa nungguin.” “Aku mandi nanti malam aja,” kata Sara. “Sekalian nyuci,” lanjutnya. “Baiklah, kalau gitu saya jalan ya.” “Iya, Mas….” Setelah itu, Dwiki mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan halaman belakang Radiant Rose. “Ngomong-ngomong … kamu nggak capek naik-turun tangga setiap hari? Apalagi itu lantai tiga,” tanya Dwiki, dengan pandangan yang tetap fokus ke arah jalanan. “Awalnya memang bikin kaki pegal-pegal, lama-lama aku jadi terbiasa. Enggak butuh waktu lama buat adaptasi. Tapi kalau lagi mager aku bisa lewat jalan pintas yang langsung masuk ke kantor,” jelas Sara. “Lagian terhitung udah satu, dua, tiga … empat. Ya, hampir empat tahun aku tinggal di situ. Jelas udah terbiasa banget harusnya, Mas.” Empat tahun? Bukan lima tahun? Memang benar sudah empat tahun Sara tinggal di situ karena pada tahun pertama Sara melarikan diri … wanita itu sempat tinggal di rumah kontrakan dulu. Awalnya memang Radiant Rose tidak se-besar sekarang. Namun, satu tahun sejak Sara bergabung, Desy memutuskan membangun gedung tiga lantai untuk menunjang berbagai aktivitas bisnisnya yang semakin berkembang. Lantai satu untuk store dan aktivitas packing, lantai dua untuk office dan lantai tiga untuk gudang yang terdapat pintu khusus tempat tinggal Sara dengan Desy. Jadi, sejak empat tahun yang lalu Sara tinggal di situ. Namun, hanya satu tahun Sara tinggal bersama Desy karena tiga tahun yang lalu Desy menikah sehingga angkat kaki dari rumah itu. “Berarti udah lima tahun kamu tinggal di Senjaratu.” “Betul. Enggak kerasa, kan, Mas?” “Lima tahun juga kita saling mengenal,” kata Dwiki lagi. Tak bisa dimungkiri, Dwiki adalah salah satu yang tahu kisah Sara. Juga tahu bagaimana Sara saat berada di titik terendah hidupnya. Lima tahun lalu…. Orang pertama yang Sara temui setelah memisahkan diri dari rombongan agen perjalanan adalah Desy yang saat itu belum lama membuka Radiant Rose. Sara salah mengira toko pakaian yang Desy buka adalah offline store, padahal nyatanya online. Namun, karena Sara sedang sangat membutuhkan pakaian ganti, Desy mengizinkan Sara masuk ke toko online miliknya. Sara pun membeli beberapa pakaian untuknya karena ia memang kabur tanpa membawa pakaian ganti. Selesai mengganti pakaian, Sara melihat Desy tampak sibuk dengan orderan yang masuk. Sara memberanikan diri bertanya apakah Desy perlu bantuan? Awalnya Desy bilang tidak, sampai kemudian Desy tak punya pilihan selain meminta bantuan Sara untuk membantunya packing pesanan. Semenjak hari itu, Sara bekerja pada Desy. Bahkan, Desy sampai membantu mencarikan rumah kontrakan untuk Sara. Sara tentunya memberi tahu Desy kalau dirinya hamil. Suatu hari, Sara dilarikan ke rumah sakit. Ia keguguran sehingga harus dilakukan tindakan kuretase. Keadaan Sara yang lemah, mengharuskannya dirawat inap selama beberapa hari pasca kuretase. Desy memang menemaninya tapi tidak bisa dua puluh empat jam penuh karena wanita itu juga sibuk dengan Radiant Rose. Bahkan, Sara sama sekali tidak ingin ditemani dan meminta Desy fokus pada perusahaan saja. Selama menjalani rawat inap di ruangan perawatan kapasitas dua pasien, di situlah Sara mulai mengenal Tisa. Wanita hamil yang bed-nya berdampingan dengan Sara. Kondisi kandungan Tisa lemah sehingga harus bed rest dan di situlah mereka mulai saling mengenal. Sara juga mulai mengenal Dwiki, suami Tisa. Rupanya saat itu pasangan ini sedang menyambut kelahiran anak pertama mereka. Hanya beberapa hari saling mengenal dan berbagi cerita sehingga Sara tak merasa bosan dirawat di rumah sakit, Sara tak menyangka kalau ia dan Tisa bisa tetap akrab meskipun mereka sudah keluar dari rumah sakit. Mereka masih sering berkomunikasi dan rutin bertemu untuk sekadar makan bersama. Terutama Tisa yang sering ngidam ingin bertemu dan makan dengan Sara. Tanpa sadar, mereka menjadi sangat dekat. Sayangnya, Sara harus kembali merasa kehilangan karena belum genap empat puluh hari setelah persalinan, Tisa pergi untuk selama-lamanya. Sara masih ingat kata-kata terakhir Tisa untuknya…. “Tolong jaga Noah untukku.” Empat kata itu, tapi Sara masih ingat sampai sekarang. Padahal usia Noah sudah empat tahun lebih sekarang, hanya saja suara Tisa seakan masih terngiang di telinganya. Harusnya anakku seusia Noah sekarang…. Apa itu yang membuat Sara sangat menyayangi Noah selain karena permintaan terakhir Tisa? Tanpa terasa, mobil yang Dwiki kemudikan hampir tiba di tempat tujuan, yakni rumah orangtua Dwiki. Tak bisa dimungkiri Sara juga dekat dengan orangtua Dwiki yang seolah menganggap Sara seperti anak sendiri. Sara menguap bersamaan dengan mobil Dwiki yang berhenti. Tentu ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ini adalah jam-jam Sara biasa mengantuk. Namun, berhubung Sara sedang ada acara, ia yakin ngantuknya akan hilang secara otomatis. Ya, beginilah Sara. Kalau malam sulit tidur, tapi saat menjelang petang begini … ngantuknya benar-benar parah. Sesuai dugaan, Noah benar-benar bangun begitu mobil yang papanya kemudikan telah tiba di halaman rumah neneknya. Sara, Noah dan Dwiki kemudian turun. Mereka bertiga langsung disambut oleh ibunya Dwiki yang sangat gembira dengan kedatangan mereka. Kartika, ibunya Dwiki langsung memeluk Sara dengan hangat. Sedangkan Noah kini sudah berada di gendongan Dwiki. “Ayo kita masuk. Ibu sudah menyiapkan hidangan spesial untuk kalian bertiga,” kata Kartika. *** Sekitar jam 19.30, Sara sudah tiba di halaman belakang gedung Radiant Rose, tentu saja Dwiki mengantarnya pulang. Namun, kali ini Noah tidak ikut. Jujur, Sara ingin sekali duduk di samping kursi kemudi karena ia merasa tak enak hati. Bukannya apa-apa, duduk di belakang begini membuatnya seolah menjadikan pria itu sebagai sopir pribadinya. Tapi mau bagaimana lagi? Sara selalu terbayang yang tidak-tidak jika duduk di kursi samping kemudi. Untungnya, Dwiki tidak mempermasalahkan itu. “Makasih ya, Mas. Aku turun….” “Sebentar,” ucap Dwiki yang membuat Sara mengurungkan niatnya membuka pintu mobil. “Iya, Mas?” Dwiki kemudian menoleh ke belakang, ke arah Sara. Pria itu kemudian berkata, “Ucapan ibu saya tadi … tidak perlu diambil hati, ya. Kamu tahu sendiri ibu saya memang seperti itu. Maaf kalau membuatmu kurang nyaman.” Sara hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Ngomong-ngomong lusa kamu ulang tahun. Kamu ingat?” “Konyolnya aku ingat. Padahal apa spesialnya ulang tahun? Hanya bertambah tua,” canda Sara. “Saya kira kamu lupa.” “Kalau begitu aku turun ya, Mas. Sekali lagi terima kasih,” pamit Sara. “Hati-hati di jalan,” tambah wanita itu. Setelah melepas kepergian mobil Dwiki yang mulai menjauh, Sara segera menaiki anak tangga menuju tempat tinggalnya. Ia masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya sebentar. Sara tak bisa memungkiri kalau ia malah memikirkan ucapan orangtua Dwiki tadi. “Ah, aku harus mandi,” gumamnya. Lagi pula ini jadwal Sara mencuci baju. Sara kemudian melucuti pakaiannya dan hanya memakai selembar handuk yang dililitkan di dadanya. Setelah itu, ia membawa pakaian yang tadi dikenakannya menuju laundry room yang ada di dekat dapur dan kamar mandi. Di rumah ini memang ada dua kamar, satu yang Sara gunakan sedangkan satunya lagi bekas kamar Desy. Namun, di antara dua kamar tersebut tidak ada kamar mandi yang letaknya di dalam kamar. Dulu mereka sharing kamar mandi yang letaknya dekat laundry room. Berhubung sekarang Sara tinggal sendiri, seluruh ruangan ini seakan miliknya. Memasukkan pakaian kotornya ke mesin cuci, Sara kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membuka handuk lalu menggantungnya di tempat khusus untuk menggantung handuk. Namun, Sara mengernyit saat mendapati ada satu handuk yang menggantung di sana. Itu handuk milik siapa? Bahkan, seharusnya mustahil ada handuk lain di situ kecuali … Sara menoleh ke arah bath tub yang terisi air dan di dalamnya ada seorang pria yang sedang berendam. Itu adalah Ravi! Tunggu, kenapa Ravi ada di sini? Apa Sara sedang berhalusinasi? Sialnya, pria itu sedang menatap ke arah Sara yang tubuhnya sangat polos tanpa benang sehelai pun. Tidak ada waktu untuk menjerit sekalipun Sara sangat ingin menjerit sekeras-kerasnya. Ia berusaha secepatnya mengambil handuknya lagi yang sialnya sulit sekali untuk diambil lantaran tersangkut di gantungan. Mungkin karena Sara panik sehingga handuknya secara tak masuk akal seolah tak mau lepas dari gantungan. Kalau begini, bukanlah lebih baik Sara langsung kabur saja? Sampai kemudian, entah sejak kapan Ravi keluar dari bath tub, tiba-tiba pria itu sudah ada di dekat Sara dan membantu wanita itu mengambil handuknya. Bahkan, Ravi segera melilitkan handuk yang diambilnya itu ke tubuh Sara. Tentu Ravi juga sudah melilitkan handuk satunya di pinggangnya. Dengan handuk yang sudah menutupi tubuhnya, Sara memutar sehingga kini berhadapan dengan Ravi. Jujur, jantungnya berdebar kencang. Sara seakan tak bisa berpikir jernih sehingga alih-alih keluar dari kamar mandi, wanita itu malah terpaku dan saling berhadapan dengan Ravi. Tatapan mereka pun bertemu. Oh tidak, adegan macam apa ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN