Bab 3 - Hancur

1415 Kata
Breaking News! “Berita duka datang dari ketua Partai UNRA (Untuk Rakyat) Hadin Listanto, putra sulungnya Abimana Listanto alias Bima meninggal dunia.” “Bima meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit setelah mobil yang dikemudikannya ditabrak oleh truk dari arah belakang. Diduga sopir truk mengantuk sehingga kehilangan kendalinya. Ada satu korban lagi yakni SL, calon istri Bima yang berada di mobil bersama Bima. Saat ini SL sedang menjalani perawatan intensif di rumah sakit.” “Sopir truk sudah diamankan….” --- Ravi tidak melanjutkan berita sela yang dibacakan oleh seorang penyiar radio. Dengan cepat pria itu mematikan radionya. Sambil meremas kemudi, jujur saja Ravi masih belum memercayai kabar ini. Bima meninggal? Ini sesuatu yang belum bisa diterima oleh akal sehat Ravi. Ia masih terbayang saat dirinya berpisah dengan sahabat sekaligus atasannya itu. Mereka berpisah di depan kantor karena Bima bilang ingin bertemu Sara. Bima juga sekaligus mau mengajak calon istrinya itu mengunjungi rumah baru yang satu bulan lagi akan mereka tempati tepat setelah sah menjadi suami dan istri. Namun, kenapa Ravi harus mendengar kabar ini? Andai Ravi tahu kalau Bima akan mengalami kecelakaan, sudah pasti ia akan menahan Bima agar jangan pergi. Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur sekarang. Di rumah sakit, Ravi langsung menghampiri Nurita dan Hadin yang raut wajahnya tidak bisa bohong kalau mereka merasa sangat hancur, terutama Nurita yang tak henti-hentinya menangis. Hadin yang biasa penuh wibawa pun terlihat sangat kacau sambil menenangkan istrinya. “Raviii…,” panggil Nurita yang langsung berdiri saat Ravi datang. “Maaf saya datang terlambat.” “Bima, Rav. Bima udah nggak ada….” Nurita yang memang sudah seperti orangtua Ravi, langsung memeluk Ravi. “Coba bilang sama ibu kalau ini mimpi, Nak.” Ravi bahkan sampai tidak bisa berkata-kata. Tak pernah sedikit pun ia membayangkan akan ada hari seperti ini. Bahkan, seharusnya sebulan lagi Bima melangsungkan pernikahan dengan wanita pilihannya. “Bagaimana dengan calon istrinya?” tanya Ravi kemudian. “Sara koma,” balas Hadin yang benar-benar sangat frustrasi. Bersamaan dengan itu, datanglah anak-anak Nurita dan Hadin yang lain, yakni dua adik Bima yang semuanya laki-laki. Nurita pun langsung beralih pada dua anak laki-lakinya dan mereka saling berpelukan. Mereka menangis bersama. Hal yang membuat Ravi juga tak kuasa membendung air matanya. Adakah yang lebih menyakitkan dari kehilangan seseorang secara mendadak seperti ini? *** Setelah melihat langsung jenazah Bima, Ravi yang tak sanggup melihatnya lebih lama, akhirnya memutuskan mengunjungi ruangan naratama di mana Sara sedang terbaring dengan alat medis di tubuhnya. Ravi dengar, Sara sempat berada di ruang ICU dan kini sudah dipindahkan ke ruangan perawatan kelas naratama karena kondisinya mulai stabil sekalipun belum sadarkan diri. Keluarga Bima-lah yang meminta Sara agar jangan dirawat di ruangan biasa untuk alasan privasi serta demi kenyamanan Sara sendiri. Kaki Ravi terus melangkah menuju ruang perawatan Sara, sampai kemudian tiba di depan pintu, Ravi terdiam selama beberapa saat. Pintunya tidak tertutup rapat sehingga Ravi bisa mendengar percakapan orang-orang di dalam sana yang Ravi yakini adalah keluarga Sara. “Kenapa Sara nggak ikutan mati aja sekalian?! Buat apa hidup … calon suaminya meninggal dan secara otomatis nikahnya batal. Ah, padahal ibu udah mengira kita bakalan punya besan kaya raya,” ucap Rinda dengan sangat keras sehingga terdengar dengan jelas sampai telinga Ravi sekalipun pria itu tidak masuk, hanya berdiri dekat pintu saja. “Ibu udah bilang supaya dia jangan pergi, tapi dia nggak nurut! Dibilangin pamali nggak percaya. Jadi begini, kan, akibatnya?! Sialnya, pakai acara koma segala! Ibu udah pengen banget maki-maki dia,” tambah Rinda. Mendengar itu, tentu Ravi merasa kesal. Ia akhirnya tidak jadi menjenguk Sara dan lebih memilih menutup pintu ruangan itu dengan agak kasar agar bisa didengar oleh keluarga Sara yang menurutnya sangat jahat. Bisa-bisanya mengatakan itu pada seseorang yang sedang terbaring koma, yang bahkan baru saja kehilangan calon suaminya. Di mana hati nurani keluarga Sara? Sekarang Ravi paham dengan perkataan Bima selama ini. Ya, Bima memang tak jarang menceritakan tentang Sara pada Ravi, termasuk keluarganya yang toxic. Sayangnya Ravi tak bisa ikut campur sehingga ia lebih memilih menutup pintunya agak kasar sehingga obrolan keluarga Sara tak berlanjut. Jujur, Ravi tak mengenal Sara, tapi ia bisa membayangkan se-hancur apa hati wanita itu saat siuman nanti. Terlebih keluarganya seperti ini. *** Bima sudah dimakamkan, tapi Sara masih belum juga siuman. Keluarganya pun seolah tak peduli sehingga tak ada yang menemaninya. Ravi diperintahkan oleh keluarga Bima agar memantau kondisi Sara. Itu sebabnya setiap hari Ravi mendatangi sekaligus menemani wanita yang selama ini hanya ia dengar ceritanya saja dari Bima. Ravi tahu betul betapa Bima sangat mencintai Sara. Empat hari kemudian, Ravi mendapati telepon dari perawat yang bertugas di ruang rawat Sara. Perawat itu mengabarkan kalau Sara sudah siuman. Ravi yang memang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, mempercepat laju mobilnya sehingga tak butuh waktu lama kini pria itu sudah tiba di ruang perawatan Sara. Begitu masuk, Ravi berpapasan dengan Sara yang sedang mendorong tiang infus hendak keluar ruangan. Sara yang kondisinya masih lemah terlebih belum lama siuman, memaksa pergi untuk melihat keadaan Bima. Tentunya perawat berusaha menghentikan Sara. “Kamu mau ke mana?” tanya Ravi. Selama beberapa saat, Sara menatap wajah Ravi. “Kamu siapa?” Wajar saja Sara tidak mengenal Ravi karena mereka memang tidak pernah berinteraksi satu kali pun meski Sara sudah menjalin hubungan dengan Bima cukup lama. “Saya Ravi, asistennya Pak Bima.” Tentu Sara pernah mendengar nama itu, tapi baru kali ini ia bertemu langsung dengan orangnya. “Pak Ravi, tolong katakan kalau Mas Bima nggak mungkin meninggal! Tolong bilang kalau itu bohong!” mohon Sara. Ravi kemudian menoleh ke arah perawat. “Maaf Pak Ravi, pasien memaksa diberi tahu keadaan yang sebenarnya. Kami sudah menjelaskannya dengan sangat hati-hati, tapi Nona Sara tidak percaya dan memaksa ingin diantar ke ruangan Pak Bima.” “Mas Bima ada di sini, kan, Pak?” tanya Sara lagi, hampir menangis. Ini sulit. Ravi bahkan kehabisan kata-kata untuk mengatakan yang sebenarnya pada Sara. Ini sulit karena akan menghancurkan perasaan wanita itu yang bahkan kondisinya belum seratus persen pulih. “Aku mau ke ruangan Mas Bima!” “Ayo, saya antar kamu ke tempat Bima,” pungkas Ravi. *** Sara tahu tim medis mustahil membohonginya tentang kondisi Bima. Saat mendengar calon suaminya itu telah tiada, hal yang langsung Sara lakukan hanyalah memberikan penyangkalan. Tidak mungkin Bima meninggal! Tidak boleh! Sara tak henti-hentinya denial, padahal ia tahu mustahil perawat membohonginya. Bahkan, saat mobil yang dikemudikan Ravi memasuki kompleks pemakaman elit … Sara yang duduk di kursi belakang masih bisa menyangkal kalau ini hanyalah prank. Kenapa Sara duduk di kursi belakang? Sara sempat duduk di kursi samping kemudi tapi otomatis langsung terbayang pada malam nahas itu. Makanya Ravi langsung menyarankannya untuk duduk di belakang agar lebih nyaman. Awan mendung seolah mengiringi langkah Sara sejak turun dari mobil hingga tiba di sebuah makam yang masih baru dan basah. Tangis Sara seolah siap meledak saat melihat nama yang tertulis pada batu nisan di hadapannya. Abimana Listanto. “Bisa tinggalkan aku sendiri?” tanya Sara pada Ravi yang memang mengantarnya sampai di depan makam. Ravi bahkan membantu memapah Sara yang sebenarnya masih sangat lemah keadaannya. “Saya tunggu di mobil,” balas Ravi, lalu meninggalkan Sara sendirian. Tak lama kemudian, Sara sudah bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya. Tangisnya benar-benar pecah. Ravi yang sudah menjauh, memutar tubuhnya kembali. Ia bisa melihat apa yang saat ini Sara lakukan. Ia tentu ikut sedih dan frustrasi, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, untuk sekadar menenangkan Sara pun Ravi tak bisa. Itu sebabnya Ravi melanjutkan langkahnya menuju mobil. Di dalam mobil, Ravi terdiam selama beberapa saat. Tiba-tiba ia menyadari hujan turun. Langsung saja ia mengambil payung yang memang selalu tersedia di mobilnya. Setelah itu, ia menghampiri Sara yang masih menangis. Hujannya bertambah deras seiring air mata Sara yang mengalir deras. Ravi kemudian memayungi Sara yang masih bersimpuh di dekat makam Bima. “Kenapa kamu pergi, Mas? Kenapa kamu pergi meninggalkan aku?” gumam Sara, masih sambil menangis. *** Satu bulan kemudian…. Satu bulan setelah kepergian Bima, tentu Sara masih belum terbiasa dengan keadaan ini. Faktanya tidak ada satu pun orang yang benar-benar siap kehilangan. Sampai hari ini, Sara kehilangan nafsu makan karena masih memikirkan Bima. Setiap malam Sara bahkan kesulitan tidur. Pagi ini, Sara duduk di kloset dengan dua tangan yang menutupi wajahnya. Hidupnya seolah hancur setelah kehilangan Bima untuk selama-lamanya, dan kini … Sara harus menerima kenyataan kalau kekhilafannya dengan Bima malam itu telah menghadirkan janin di rahimnya. Ya, baru saja Sara mengetes kehamilannya menggunakan testpack dan hasilnya garis dua. Aku hamil. Bagaimana ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN