Sara ingat Bima sempat bilang, tenang saja kalau misalnya Sara hamil. Toh mereka akan menikah bulan depan sehingga tidak ada yang perlu dicemaskan. Namun, perkataan Bima tidaklah terbukti. Kenyataannya tidak ada pernikahan.
“Pembohong kamu, Mas. Bagaimana caranya kita menikah sedangkan kamu udah pergi? Padahal seharusnya tiga hari lagi kita menikah,” batin Sara.
Sara mencoba tenang. Ia harus berpikir jernih agar bisa menemukan solusi tentang janin tak bersalah yang telanjur tumbuh di rahimnya. Namun, tetap saja seolah hanya ada jalan buntu di depannya.
“Saraaa!” Itu adalah suara Rinda yang berisiknya sudah seperti makanan sehari-hari bagi Sara. Itu sebabnya Sara tidak betah di rumah ini.
Sara pikir pernikahan adalah cara termudah untuk kabur dari rumah rasa neraka ini. Sayangnya, harapan untuk menikah pupus-lah sudah.
Jujur, sejak lama Sara memang punya niatan untuk kabur dari rumah ini. Hanya saja, belum bisa terealisasikan. Dan berhubung Bima mengajaknya menikah yang otomatis akan membawanya pergi dari sini … Sara sudah tidak pernah berpikir untuk kabur lagi karena ia akan keluar baik-baik dari sini bersama sang suami.
Hanya saja, bagaimana dengan sekarang? Haruskah Sara mulai mempertimbangkan untuk kabur lagi?
“Saraaa!” teriak Rinda lebih keras. Kali ini ibu tirinya itu mulai menggedor-gedor pintu kamar Sara.
“Sebentar, Bu,” jawab Sara lalu membuka pintu kamarnya.
“Kamu lagi ngapain? Lama banget buka pintunya!”
Belum sempat Sara menjawab, Rinda sudah kembali berbicara.
“Pasti tiduran lagi. Kamu ini nggak punya kegiatan bermanfaat selain tiduran dan mengurung diri di kamar, ya? Jangan lebay deh, bukan kamu aja yang kehilangan,” ucap Rinda.
Rinda kembali berbicara, “Memangnya kamu mau begini terus? Kamu nggak bakalan kerja lagi? Kamu pikir uang bisa datang sendiri tanpa kerja, ya?”
Sara semakin yakin untuk tidak memberi tahu dulu tentang kehamilannya.
“Sar, dengar … yang namanya berduka itu seminggu doang cukup. Kenapa kamu udah sebulan masih aja melamun meratapi nasib? Kamu pasti sengaja pura-pura masih terpuruk supaya jadi alasan nggak kerja?”
“Astaga, Bu….”
“Bapak kamu loh pas ibu kamu meninggal, cuma butuh waktu sebentar buat berduka. Buktinya dua minggu setelah ibumu nggak ada … bapak kamu langsung nikah sama saya. Harusnya kamu tiru bapak kamu itu, jangan berduka terlalu lama soalnya yang udah meninggal nggak bakalan tiba-tiba hidup lagi.”
Sara sampai tak bisa berkata-kata mendengar ucapan ibu tirinya. Andai Sara bisa menjawab bahwa itulah yang ia sesali. Seharusnya dulu ia mencegah bapaknya menikah lagi dengan wanita di hadapannya ini. Sayangnya Sara tidak tahu kalau ibu tirinya itu mau menikah karena tergiur uang asuransi jiwa. Uang yang dari pertama cair sampai habis tak bersisa pun Sara tak pernah sepeser pun menikmatinya.
“Kamu pikir saya nggak sedih? Saya juga sedih Bima meninggal. Padahal saya udah senang banget bakalan punya mantu dan besan kaya. Kamu nggak nurut, sih. Enggak percaya sama pamali. Andai waktu itu kamu nurut dan langsung pulang … pasti sampai sekarang Bima masih hidup. Ini semua gara-gara kamu, tahu nggak?!” kata Rinda lagi. “Bahkan, tiga hari lagi seharusnya kalian menikah, kan? Sayang banget malah nggak jadi.”
Bagaimana mungkin Sara melupakan Bima? Terlebih benih pria itu kini tumbuh di rahimnya.
Rinda kembali berbicara, “Udahlah, stop berdukanya. Udah lama kamu menjadikan berduka sebagai alasan. Sekarang waktunya balik ke rutinitas biasa. Kamu mau kerja lagi, kan?”
“Ya, aku nanti juga kerja lagi.”
“Bagus, kamu harus menghasilkan uang,” balas Rinda. “Berhubung sekarang nyantai di rumah, daripada melamun … beresin kamar Roni sana. Dia mau pulang.”
Roni adalah anak Rinda alias kakak tiri Sara. Rumah ini akan semakin terasa neraka saat kakak tirinya itu ada di rumah. Bukannya apa-apa, Sara sudah beberapa kali hampir diperkosa oleh pria itu.
“Kak Roni mau pulang?”
“Iya, makanya beresin. Sekarang, ya. Roni udah di jalan soalnya.”
Belum sempat Sara menjawab, ponselnya yang tergeletak di tempat tidur berdering tanda ada panggilan masuk. Sara lalu berjalan cepat untuk meraih benda pipih itu agar bisa melihat siapa yang meneleponnya.
“Siapa?” tanya Rinda yang tiba-tiba ada di samping Sara saja, membuat wanita itu terkejut.
“Ini dari mamanya Mas Bima.”
“Wah, Bu Nurita rupanya. Angkat cepat angkat, siapa tahu aja mau ngasih duit, kan?”
Sara sebenarnya tidak heran isi otak ibu tirinya itu uang, uang, uang, tapi tetap saja ia masih tak habis pikir dengan jalan pikirannya.
“Selamat pagi, Ma,” sapa Sara pada wanita yang seharusnya menjadi ibu mertuanya. Sara juga berusaha menghindar dari Rinda yang sepertinya sangat kepo dengan apa yang akan Sara dan Nurita bicarakan.
“Kamu sedang apa, Nak?” tanya Nurita di ujung telepon sana. Seperti biasa, Nurita sangat ramah. Sejak awal Sara dikenalkan pada wanita paruh baya itu, Nurita sangat menyambut Sara, tanpa peduli latar belakang Sara yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja.
“Aku lagi nggak melakukan apa-apa, Ma. Kalau boleh tahu, memangnya ada apa?”
“Bisakah kamu ke sini, Nak? Sudah sebulan Bima tiada dan kamu belum pernah ke sini. Mama kangen. Selain itu, ada yang ingin mama dan papa bicarakan.”
Tentu Sara penasaran … kira-kira apa yang akan Nurita dan Hadin bicarakan? Namun, setelah dipikir-pikir Sara juga ingin mengatakan sesuatu. Makanya Sara tanpa ragu mengiyakan bahwa dirinya akan berkunjung ke rumah orangtua Bima.
Ya, tanpa perlu dipikirkan sampai berlarut-larut pun Sara merasa lebih baik memberi tahu orangtua Bima alih-alih memberi tahu ibu tirinya. Bapaknya? Itu juga mustahil karena tak bisa diharapkan karena selalu ‘kalah’ oleh ibu tirinya. Dalam kata lain bapaknya itu salah satu tipe suami takut istri. Bahkan, selama ini Sara hampir lupa kapan terakhir kali mengandalkan bapaknya. Saking tidak pernahnya.
“Baik, Ma. Aku akan ke sana.”
“Mama tahu ini sangat sulit bagi kamu. Sama, bagi mama dan papa juga kesulitan menerima kenyataan ini. Untuk itu mari kita bersama-sama melalui ini,” kata Nurita. “Kamu tetap anak mama. Jadi tolong datang. Ravi akan menjemputmu.”
“Maksudnya Pak Ravi sekretarisnya Mas Bima, kan, Ma?”
“Iya benar. Mama sudah meminta tolong padanya untuk menjemputmu. Mungkin setengah jam lagi tiba. Jadi bersiap-siaplah.”
Setelah sambungan telepon terputus, Sara segera bersiap-siap. Tentu saja Rinda langsung membombardirnya dengan berbagai pertanyaan.
“Kamu di suruh ke sana? Mau ngapain? Apa saya sama bapak kamu juga ikut?”
“Hanya aku sendiri,” jawab Sara seraya mengambil salah satu pakaian yang biasa ia gunakan untuk bepergian. Tentunya pakaian yang sopan.
“Kalau dikasih duit terima aja, paham?”
“Memangnya siapa yang mau ngasih uang?”
“Ya siapa tahu aja, kan? Pokoknya terima kalau dikasih uang! Hitung-hitung kompensasi pernikahan yang batal.”
Jujur, Sara juga penasaran … kira-kira apa yang akan orangtua Bima katakan padanya?
Namun, satu hal yang pasti. Apa pun yang akan mereka katakan, Sara akan tetap pada keputusannya untuk memberi tahu bahwa dirinya sedang hamil.
Ya, aku hamil….