Bab 5 - Menikahlah

1491 Kata
Saat ini Sara duduk di kursi bagian belakang, sama seperti saat Ravi mengantarnya ke pemakaman sebulan yang lalu. Sedangkan Ravi fokus mengemudi, tatapannya lurus ke depan, tepatnya ke arah jalanan. Sara tahu ini agak kurang sopan karena ia memilih duduk di belakang alih-alih di samping Ravi, tapi jujur saja untuk sekarang Sara masih belum bisa duduk di samping kursi kemudi. Tentunya tadi Sara langsung meminta maaf tepat saat dirinya naik. Syukurlah Ravi paham sehingga tidak banyak bertanya apalagi protes. Mobil yang dikemudikan Ravi melaju dengan kecepatan sedang. Tidak ada pembicaraan antara mereka. Suasana benar-benar hening sejak Sara naik hingga kini perjalanan sudah setengahnya mereka tempuh. Sampai pada akhirnya, beberapa menit kemudian Ravi mulai membuka pembicaraan lebih dulu, memecah keheningan di antara mereka. “Pasti sulit, ya?” ucap Ravi. Tanpa diperjelas pun Sara tahu arah pembicaraan pria di sampingnya itu. “Sulit banget. Duniaku seakan runtuh. Tetap bisa waras aja udah bersyukur banget,” balas Sara. “Sama, saya aja sempat terpuruk. Apalagi kamu yang calon istrinya. Jujur, kamu lebih kurus dibandingkan terakhir kali saya bertemu denganmu.” Bagaimana tidak lebih kurus? Sara jarang makan dan setiap malam kesulitan tidur. “Jaga kesehatan ya, Sara,” tambah Ravi. Sara tersenyum getir. “Tiga hari lagi seharusnya kami menikah. Tapi takdir berkata lain.” “Saya hampir setiap hari mengingatkan diri sendiri bahwa itu sudah takdirnya dan hidup tetap berjalan, tapi tetap saja terkadang ada rasa penyesalan. Andai malam itu saya mencegahnya pergi. Sekali lagi, kalau sudah takdir maut pun tidak bisa dihindari,” balas Ravi. “Pak Ravi benar, terkadang aku juga ingin mengulang waktu. Aku jamin akan mencegah kami pergi, tapi itu mustahil. Semua yang udah terjadi mana bisa diubah?” Membahas tentang Bima, mana bisa Sara tidak berkaca-kaca. Untuk ke sekian kalinya wanita itu ingin menangis. “Maaf, seharusnya saya nggak membahas tentang Bima.” “Itu bukan masalah, Pak. Kita sama-sama kehilangan. Sejatinya nggak ada orang yang benar-benar siap sama yang namanya kehilangan. Pasti berat.” “Ngomong-ngomong maaf bukan bermaksud membelokkan obrolan, tapi bisakah kamu jangan memanggil saya dengan sebutan pak? Saya nggak nyaman mendengarnya.” “Maaf kalau gitu. Terus mau dipanggil apa?” “Panggil Ravi aja.” “Hah? Aku nggak memanggil nama pada orang yang aku pikir lebih tua dariku.” “Memang berapa usiamu?” tanya Ravi kemudian. “A-aku baru 23. Sedangkan Pak Ravi sepertinya seusia Mas Bima.” “Kamu benar, kami memang lahir di tahun yang sama.” “Kalau begitu mas aja deh.” “Baiklah, terserah kamu. Asal jangan pak karena saya bukan bapak-bapak.” Sara tersenyum. “Baiklah, baiklah.” Jeda sejenak. “Ngomong-ngomong aku belum sempat mengucapkan terima kasih,” kata Sara lagi. Ravi mengernyit. “Terima kasih untuk?” “Hari itu … Pak Ravi, eh maksudnya Mas Ravi. Makasih banyak ya udah mengantarku ke makam Mas Bima.” “Kamu nggak perlu berterima kasih untuk itu.” “Tetap aja aku harus berterima kasih.” “Hmm, bagaimana cara kamu mengisi waktu pasca kehilangan?” tanya Ravi kemudian. “Aku lebih banyak berdiam diri di kamar,” jawab Sara. “Kalau Mas Ravi?” “Saya lebih banyak berlari sampai se-lelah mungkin,” jawab Ravi. “Sebagai saran, untuk sementara ini tolong jangan sering-sering buka media sosial, ya,” sambungnya. Sara paham. Berita meninggalnya Bima tak bisa dimungkiri malah masih saja ramai dibicarakan sekalipun satu bulan sudah berlalu. Bima memang bukan artis, tapi pengaruh Hadin yang merupakan tokoh politik terkenal cukup untuk membuat nama Bima menjadi perbincangan di mana-mana. Tak sedikit akun-akun yang membuat konten tentang Bima semasa hidup begini dan begitu. Intinya semua tentang Bima dikupas tuntas terutama untuk hal-hal positif misalnya kebaikan dan prestasinya, membuat Bima mendadak terkenal sekalipun telah tiada. Itu sebabnya Ravi menyarankan agar Sara jangan sering membuka media sosial karena algoritma akan secara otomatis menampilkan konten tentang Bima. “Ya, aku memang menghindari membuka media sosial satu bulan belakangan ini,” jawab Sara. Setelah itu, tidak ada pembicaraan lagi. Mobil terus melaju sampai akhirnya tiba di rumah mewah kediaman orangtua Bima. Begitu turun dari mobil yang Ravi kemudikan, Sara merasakan perbedaan yang sangat kentara, terutama dari suasana rumah yang biasanya hangat, menjadi terasa dingin dan sunyi. Ini adalah pertama kalinya Sara datang setelah Bima tiada. Saat Bima masih hidup, Sara sudah sering sekali diajak ke rumah ini sehingga ia cukup akrab dengan mamanya Bima. Kalau dua adik Bima, Sara tidak terlalu akrab dengan mereka karena dua adik Bima yang semuanya laki-laki itu sedang menempuh pendidikan untuk menjadi abdi negara. Sara langsung disambut pelukan hangat Nurita. Pelukan yang sangat erat, membuat Sara kembali ingin menangis. Tanpa berkata apa-apa pun baik Sara dengan Nurita sama-sama paham bagaimana perasaan masing-masing. Mereka sungguh kehilangan. Selesai berpelukan, Nurita mengajak Sara masuk dan duduk di ruang tamu. Di meja sudah tersedia makanan dan minuman untuk menjamu Sara. “Maaf ya, Sara. Mama terakhir kali menjengukmu saat kamu masih koma di rumah sakit. Setelah itu, mama tidak datang lagi.” “Jangan disesali, Ma. Untuk saat itu, mama pasti sedang sibuk-sibuknya.” Nurita menghapus air matanya yang kembali menetes. Melihat Sara, jujur saja ia teringat kembali pada putra sulungnya. “Bagaimana keadaanmu, Nak?” tanyanya kemudian. “Ya beginilah keadaanku. Aku masih belum terbiasa dengan semua ini, tapi aku berharap agar waktu bisa menyembuhkan segalanya. Aku harap Mama juga bisa kembali menjalani hari seperti biasa, meskipun tanpa Mas Bima.” Sara mengatakannya dengan air mata yang kembali berlinang. “Rasanya sulit ya, Ma. Sulit membicarakan ini tanpa menangis.” “Mama tidak tahu kalau takdir bisa se-kejam ini. Ya ampun Bima, kenapa kamu harus pergi secepat ini?” Sara tak bisa berkata-kata lagi. Tangisnya kini kembali pecah. Ia dan Nurita menangis bersama selama beberapa saat. Setelah jauh lebih tenang, Nurita memberikan segelas jus jeruk pada Sara. “Minum dulu, Nak.” Sara mengambil alih gelas yang Nurita sodorkan sambil berterima kasih. Selama beberapa saat ia meminum hingga tersisa setengahnya. “Ngomong-ngomong, katanya mama ingin bicara sesuatu padaku. Papa juga ke mana?” tanya Sara tepat setelah meletakkan gelas di meja. “Papa ada urusan sebentar. Mungkin tidak lama lagi kembali,” jawab Nurita. “Soalnya tadi bilangnya sebentar karena tahu kamu mau datang,” jelasnya kemudian. Nurita masih berbicara, “Nah, mama sama papa sengaja manggil kamu ke sini, selain kangen seperti yang mama bilang lewat telepon … kami juga mau menawarkan sesuatu buat kamu.” Sara mengernyit. “Menawarkan apa ya, Ma?” “Berlibur ke luar negeri satu bulan penuh. Kamu mau?” “Eh?” Sara tentu kaget. “Menurut mama dan papa, kamu adalah orang yang paling kehilangan Bima selain kami berdua. Kamu adalah calon istrinya bahkan seharusnya tiga hari lagi kalian menikah. Untuk itu, kamu perlu menangkan diri sambil berupaya move-on di tempat baru yang indah, di mana tidak ada satu pun terdapat kenangan tentang Bima karena kalian belum pernah mengunjunginya bersama. Makanya sekalian ke luar negeri aja liburannya. Harapan mama, setelah itu kamu bisa melanjutkan hidup dengan langkah yang jauh lebih ringan.” Nurita melanjutkan, “Kami akan memfasiliasi semuanya. Kamu bebas memilih negara mana pun yang kamu inginkan. Akan kami usahakan berangkat dalam waktu dekat.” “Ma, sebelumnya makasih banget atas tawarannya, tapi apakah aku benar-benar membutuhkan itu?” tanya Sara kemudian. “Perlu. Sangat perlu,” timpal Hadin yang tiba-tiba muncul dari arah pintu. Tentu Sara dengan sopan langsung bangun untuk mencium tangan Hadin. Setelah itu, Hadin mengambil posisi duduk di sofa untuk satu orang karena sofa panjang sudah diduduki oleh Sara dan Nurita secara berdampingan. “Pergilah liburan, Nak. Hati dan mentalmu membutuhkan itu,” kata Hadin lagi. “Hmm, sebenarnya aku juga ingin mengatakan sesuatu. Berhubung papa udah datang, sekarang aku bisa mengatakannya. Maaf, ini mungkin akan mengejutkan, tapi aku merasa … aku harus bilang. Ya, kalian harus tahu,” kata Sara. “Ada apa, Nak? Kamu membuat mama deg-degan aja,” balas Nurita. Sara awalnya ragu. Bagaimana cara mengatakannya? Namun, kini keberaniannya telah terkumpul. “Ma, Pa … sebenarnya aku hamil.” Baik Nurita maupun Hadin tentu saja terkejut. Sara kemudian menceritakan peristiwa khilafnya malam itu, malam sebelum ia dan Bima kecelakaan. Sara juga meminta maaf karena melakukannya padahal mereka belum resmi menikah. Nurita dan Hadin yang sudah mengenal Sara tentu percaya. Mereka juga yakin Sara tidak berbohong. Itu artinya Sara sedang mengandung cucu mereka. Selama beberapa saat, Nurita dan Hadin saling berpandangan dengan tatapan yang sulit Sara pahami. Hanya dua orang itu yang paham tatapan satu sama lain. Sampai kemudian Hadin mulai berbicara lagi, “Kalau begitu, kamu tidak perlu pergi liburan, melainkan menikahlah.” Jangan ditanya betapa terkejutnya Sara. Menikah? Dengan siapa karena Bima sudah tiada? Adik Bima pun mustahil karena yang satu baru berusia sembilan belas sedangkan usia yang satunya masih tujuh belas. “Apa maksud papa? Aku menikah? Dengan siapa?” Sara semakin kebingungan. “Ya, menikahlah, Sara,” timpal Nurita. “Menikahlah dengan Ravi,” pungkas Hadin seakan sebuah putusan akhir seorang hakim yang tak bisa diganggu gugat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN