Bab 6 - Hak Suami Pengganti

1530 Kata
Niat hati hanya ingin memberi tahu Nurita dan Hadin karena Sara merasa mereka berhak tahu, kenapa tiba-tiba Sara disuruh menikah? Sungguh, Sara tidak punya maksud tertentu. Ia hanya murni ingin memberi tahu. Jangankan meminta pengantin pengganti, bahkan Sara tidak kepikiran untuk meminta uang sekalipun ia tidak akan menolak jika diberi oleh mereka. Sebentar, apa Sara telah salah mengambil keputusan? Ya, seharusnya ia merahasiakan saja kehamilannya ini. Ah, Sara tidak tahu kalau respons Nurita dan Hadin akan seperti ini. Ia tidak tahu kalau mereka akan mengatur pernikahan untuk Sara dengan pria yang asing baginya. Sekalipun Ravi itu sahabat Bima dan kepercayaan keluarga ini, tetap saja bagi Sara, Ravi adalah pria asing. Mana mungkin Sara menikah dengannya? “Sebelumnya maaf Ma, Pa … aku nggak paham, kenapa aku harus menikah dengan Mas Ravi? Juga, kenapa harus Mas Ravi?” tanya Sara dengan sopan dan hati-hati. “Kamu mau melahirkannya tanpa seorang ayah? Tidak. Kami tidak mengizinkan itu. Jangan sampai cucu kami lahir tanpa seorang ayah,” kata Hadin. “Kamu mungkin bisa membesarkannya sendiri, tapi lebih baik membesarkannya bersama seorang pria yang akan dipanggil ayah oleh bayimu itu, oleh cucu kami,” sambungnya. Hadin masih berbicara, “Kenapa harus Ravi? Karena dia adalah satu-satunya yang bisa kami percaya untuk menggantikan posisi Bima. Dia bukan hanya akan bertanggung jawab atas bayimu, melainkan bertanggung jawab atas dirimu juga, Sara. Papa jamin Ravi akan menjagamu dengan sepenuh hatinya.” Sara terdiam, masih tak habis pikir dengan semua ini. Nurita kemudian menimpali, “Ravi itu paling tepat untuk menggantikan posisi Bima, sekalipun mama tahu Bima tidak tergantikan di hatimu,” ucapnya. “Serius Sara, kami sungguh tidak ingin kamu melahirkan anak tanpa suami. Sudah seharusnya kami bertanggung jawab dan inilah bentuk tanggung jawab kami,” sambung wanita paruh baya itu. “Selain itu, pikirkanlah kehormatan kamu. Jangan sampai kamu direndahkan karena hamil di luar nikah. Tentunya reputasi Bima juga. Papa tidak menyangka pasca kecelakaan … namanya bisa se-harum ini. Prestasi dan kebaikannya semasa hidup terus disorot, tapi kalau publik tahu dia menghamili kamu sebelum kalian menikah, bayangkan bagaimana reaksi orang-orang?” Hadin terus berbicara, “Biarkan Bima tenang di sana karena anaknya dijaga orang kepercayaannya. Papa yakin seandainya Bima melihat dan bisa mengatakan sesuatu ... dia pasti sangat setuju dengan keputusan papa ini. Bima juga akan menyarankan Ravi menjadi penggantinya untuk berdiri di sampingmu dan menjagamu.” Ya ampun, Sara sampai tak bisa berkata-kata. Di satu sisi ia paham maksud Nurita dan Hadin. Hanya saja di sisi lain Sara masih merenungkan, benarkah ini keputusan yang tepat? “Haruskah aku kabur aja?” batin Sara. Jujur saja, Sara merasa bimbang. Bahkan, Ravi pun belum tentu setuju dengan keputusan ini. “Bagaimana dengan Mas Ravi? Dia belum tahu apa-apa. Maksudku, mama sama papa bicara seolah Mas Ravi setuju dengan pernikahan ini, padahal menurutku belum tentu. Bisa jadi Mas Ravi menolak.” “Kalau Ravi tidak menolak, maukah kamu menikah dengannya?” tanya Nurita kemudian. Sara sampai kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu bagaimana cara menolak, sedangkan untuk menerima pun rasanya berat. “Mama paham ini pasti tidak mudah bagimu, Sara. Tapi mama jamin ini adalah langkah terbaik yang tidak akan pernah kamu sesali,” pungkas Nurita. Oh tidak, bagaimana ini? *** Sara masih bimbang. Ia masih duduk bersama Nurita di ruang tamu sedangkan Hadin tampak sedang berbicara dengan Ravi. Tadi setelah menjemput Sara dan membawa wanita itu ke sini, Ravi memang tidak ikut masuk. Sara sendiri tidak tahu di mana pria itu sekarang. Mungkin memang benar-benar di luar. Entah sudah berapa menit Sara mengobrol dengan Nurita yang isi pembicaraan didominasi segala tentang Ravi. Nurita bilang, agar sedikitnya Sara bisa mengenal pria itu. Beberapa informasi yang Sara dengar dari Nurita adalah…. Ravi sudah dirawat dari kecil oleh orangtua Bima. Ravi bukan hanya dibesarkan oleh mereka, melainkan diberi hidup yang layak serta pendidikan yang tinggi. Ravi penurut dan sangat bisa diandalkan sehingga menjadi kepercayaan keluarga ini. Berhubung usianya sebaya dengan Bima … mereka berdua sangat dekat dari kecil. Bahkan, Bima cenderung lebih dekat dengan Ravi dibandingkan dua adik kandungnya. Terlebih Bima terpaut sepuluh tahun dengan adiknya yang pertama, sedangkan adiknya yang satu lagi, Bima terpaut dua belas tahun. Itu sebabnya Bima dekatnya dengan Ravi sehingga bukan hal aneh kalau dulu banyak yang mengira jika Bima dan Ravi adalah saudara kembar non identik. Satu tahun yang lalu, Ravi resmi menyandang status duda setelah bercerai dengan mantan istrinya yang memilih selingkuh dengan pria lain. Usia pernikahan mereka pun cenderung sebentar yakni kurang dari satu tahun. Secara fisik, jangan ditanya. Sebenarnya Ravi itu tampan dengan tubuh yang kentara sekali kalau pria itu merawat diri dan rajin berolah raga. Namun tetap saja, apa masuk akal Sara menikah dengannya? “Nah itu orangnya ke sini,” ucap Nurita yang membuat Sara terkesiap. Sara menoleh ke arah pintu, tampak Ravi sedang berjalan ke arahnya. Ravi berjalan beriringan dengan Hadin. Konyolnya, Sara deg-degan, padahal sebelumnya biasa saja. Sampai kemudian, saat ini Ravi dan Hadin sudah mengambil posisi duduk di sofa yang kosong. Sedangkan Sara duduk berdampingan dengan Nurita di sofa panjang. Rupanya posisi Sara berseberangan dengan posisi Ravi duduk sekarang. Sejenak tatapan mereka saling beradu sampai kemudian Sara berusaha mengalihkan tatapannya ke arah lain. “Papa sudah bicara dengan Ravi,” ucap Hadin. Deg. Kenapa Sara semakin deg-degan? “Bagaimana Ravi, apa kamu bersedia menikahi Sara?” tanya Nurita kemudian. “Ya, saya bersedia menikahi Sara,” jawab Ravi tanpa keraguan sedikit pun. Apa? Kenapa Ravi tidak menolak? Apa-apaan ini? “Maaf Ma, Pa … apa aku boleh bicara berdua dengan Mas Ravi?” tanya Sara berhati-hati. “Ya, tentu saja boleh. Kalian bicaralah. Santai saja,” balas Nurita. Sampai kemudian, di sinilah Sara dan Ravi berada. Mereka duduk berdua di gazebo yang berada di samping rumah mewah ini. Mereka benar-benar berdua dan saling memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. “Kenapa Mas Ravi ingin menikahiku?” “Alasan yang sama dengan Bu Nurita dan Pak Hadin. Saya nggak ingin kamu melahirkan tanpa suami. Saya juga nggak ingin anak yang kamu lahirkan itu nggak memiliki sosok ayah,” jelas Ravi dengan penuh keyakinan. “Saya tahu pernikahan itu harus berlandaskan cinta, tapi dalam kasus ini … ada yang lebih penting dari cinta, yakni keberadaan suami dan ayah untuk kamu dan bayimu,” sambungnya. “Yakin nggak ada alasan lain? Apa karena Mas Ravi merasa berutang budi sehingga nggak bisa menolak permintaan mereka?” “Ini atas keputusan saya sendiri,” tegas Ravi. “Memang benar saya berutang budi pada mereka, tapi saya setuju dengan alasan mereka ingin kita menikah. Bagi saya ini langkah terbaik.” “Ya ampun….” “Pak Hadin rencananya akan mencalonkan diri menjadi anggota dewan legislatif, jangan sampai reputasi Bima yang sedang sangat disorot ini mempengaruhi pencalonan Pak Hadin.” Sara sudah pernah mendengar tentang rencana pencalonan Hadin dari Bima. “Bisa-bisanya Mas Ravi disuruh nikah sama orang yang nggak Mas Ravi kenal. Kok bisa mau-mau aja?” “Selain alasan yang Pak Hadin sebutkan sangat masuk akal, saya juga telah berjanji pada diri saya sendiri untuk mengabdi pada mereka. Jadi, saya akan menikahimu.” “Mengabdi? Baiklah, kalau mereka nyuruh Mas Ravi melompat ke jurang … memangnya mau? Ini atas nama mengabdi dan utang budi,” tanya Sara, sengaja. “Itu nggak mungkin. Kamu tahu sendiri mereka bukan orang jahat. Mereka hanya akan memberikan perintah atau saran-saran terbaik aja. Lagi pula tentang pernikahan ini … saya yakin mereka nggak mungkin asal memutuskan sekalipun ini terbilang tiba-tiba, karena setahu saya mereka ingin kamu liburan ke luar negeri, bukan menikah.” Ravi masih berbicara, “Tapi berhubung kamu hamil, mereka nggak butuh waktu lama untuk memutuskan menikahkan kita. Sekalipun singkat, tapi saya yakin hal ini udah dipertimbangkan sebelumnya.” Benar, Sara tahu se-baik apa Nurita dan Hadin. Bahkan, mereka sedikit pun tidak meragukan kehamilan Sara. Juga, tidak memberi penyangkalan kalau janin yang Sara kandung kemungkinan anak dari pria lain, bukan anak Bima. “Tapi memangnya kita harus menikah?” tanya Sara lagi. “Ya, harus. Dengan begitu kita bisa menjaganya bersama-sama.” “Masalahnya kita nggak saling kenal, Mas.” “Perkenalan bisa berjalan seiring berjalannya waktu. Intinya saya akan tetap menikahimu.” *** Tiga hari kemudian…. Sara benar-benar menikah dengan Ravi di tempat dan waktu yang seharusnya menjadi hari pernikahan Sara dengan Bima. Bahkan, saat ini wanita itu telah resmi menjadi istri Ravi. Mereka bilang lebih cepat lebih baik, sebelum baby bump Sara mulai terlihat. Sara sebenarnya sempat berencana kabur. Namun jangankan kabur, sejak tiga hari yang lalu Sara langsung tinggal di rumah orangtua Bima untuk mempersiapkan pernikahan dan tidak pernah pulang ke rumah orangtuanya. Sara tak bisa menolak apalagi orangtua Sara sangat setuju dengan keputusan ini. Sampai pada akhirnya, setelah didesak oleh semua orang, Sara kini resmi menjadi istri sah Ravi. Pernikahan mereka hanya dihadiri keluarga dan orang terdekat saja. Jujur, ini seperti mimpi bagi Sara. Ia tidak pernah menduga akan menikah dengan Ravi, pria yang dengan tegas bersedia menjadi pengganti Bima. Dengan langkah berat, Sara memasuki kamar hotel tempat dirinya dengan Ravi akan menghabiskan malam pertama. Sebentar, malam pertama apanya? Memangnya ada istilah malam pertama untuk pernikahan yang tidak diinginkan? Namun tak bisa dimungkiri Sara deg-degan. Mas Ravi nggak mungkin meminta haknya sebagai seorang suami, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN