Ravi sedang membersihkan tubuhnya di bawah guyuran shower. Pasca diselingkuhi oleh mantan istrinya satu tahun yang lalu, Ravi sama sekali tidak pernah kepikiran untuk menikah lagi. Jangankan menikah lagi, Ravi bahkan tidak punya niatan untuk terlibat dengan wanita lalu menjadikannya pacar.
Hanya saja, sekarang Ravi telah resmi menjadi suami dari wanita yang seharusnya menjadi istri sahabatnya, tapi harus Ravi lakukan karena menikahi Sara bukan sekadar perintah Hadin, melainkan hasil pertimbangan Ravi juga bahwa jalan terbaik adalah menikahi Sara.
Ya, dengan menikahi Sara, tentunya Ravi bisa melindungi wanita itu serta janin dalam kandungannya. Terlebih Ravi tahu bagaimana cara keluarga Sara memperlakukan wanita itu.
Hal yang utama, ini demi Bima. Ia yakin jika Bima bisa bicara … sahabatnya itu pasti akan sangat berterima kasih. Itu sebabnya Ravi telah berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga Sara dengan sepenuh hatinya. Apa pun yang terjadi.
Bisa dikatakan bahwa setelah bercerai Ravi tak pernah melakukan hubungan badan lagi. Ravi sama sekali tidak kepikiran untuk membayar seorang wanita untuk memuaskannya. Pria itu lebih memilih menahan diri alih-alih jajan yang berbahaya seperti itu. Kalaupun nafsunya tidak bisa dikendalikan dan sulit untuk ditahan … solusi Ravi ya bermain ‘solo’. Sungguh, pria itu paling anti melakukan hal semacam itu dengan sembarang wanita.
Itu sebabnya sangat disayangkan, kenapa dulu Monik mengkhianatinya padahal Ravi sangat setia pada wanita itu?
Ah, lupakan lupakan! Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan masa lalu karena Ravi kini punya istri.
Hanya saja, apakah Ravi layak meminta haknya pada Sara? Sedangkan ia tahu betul bahwa Sara tidak menginginkan pernikahan ini. Bahkan, sekarang Sara sedang hamil.
Apa yang sedang Ravi pikirkan? Pria itu segera menyadarkan dirinya sendiri. kenapa tiba-tiba ia memikirkan tentang malam pertama?
Ravi kemudian cepat-cepat menyelesaikan kegiatan mandinya. Dengan badan yang jauh lebih segar setelah menjalani pernikahan yang tak pernah Ravi bayangkan sebelumnya, kini pria itu keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggangnya.
Hal yang pertama Ravi lakukan adalah mengambil pakaian tidur yang telah tersedia. Namun, belum sempat melakukannya, ponsel Ravi berdering tanda ada panggilan masuk. Akhirnya Ravi lebih memilih menjawab telepon dulu karena yang menghubunginya adalah Nurita sehingga tak bisa ia abaikan begitu saja. Selain itu, Ravi juga penasaran. Kira-kira apa yang akan Nurita katakan?
“Ya, Bu?” sapa Ravi pada Nurita di ujung telepon sana.
“Ravi, kamu sudah di kamar ya sekarang?”
Sejenak Ravi melirik jam dinding dan waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam.
“Ya, Bu. Saya sudah di kamar hotel sejak setengah jam yang lalu.” Ravi tidak berbohong. Ia memang langsung pergi mandi dan sekarang baru selesai. Tanpa sadar ia mandi hampir setengah jam. Lebih tepatnya mandi sambil memikirkan banyak hal, terutama tentang status barunya yang kini resmi menjadi suami Sara.
“Apa Sara juga sudah ke kamar?”
“Sara akan menyusul karena tadi dia diajak bicara oleh orangtuanya dulu. Mungkin sebentar lagi dia ke sini,” jelas Ravi.
“Ravi sebelumnya maaf, ya. Ibu bukan bermaksud lancang, ibu juga sebenarnya tidak enak mengatakannya, tapi ibu pikir ibu harus memberi tahu kamu tentang sesuatu karena kamu berhak tahu.”
Tunggu, maksud Nurita apa? Ravi masih meraba-raba arah pembicaraan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu.
Jujur saja Ravi bukan hanya penasaran, tapi juga deg-degan.
“Ada apa, Bu? Apa yang harus saya ketahui?”
“Kemarin ibu sengaja membawa Sara ke dokter spesialis kandungan untuk melakukan USG dan pemeriksaan kehamilannya secara menyeluruh. Memang benar Sara hamil, tapi baru terlihat kantung kehamilannya saja. Dokter bilang, butuh waktu untuk tumbuh dan berkembang sampai janin benar-benar terlihat. Itu sebabnya dokter menyarankan setidaknya dua atau empat pekan lagi Sara kembali ke sana,” jelas Nurita.
“Baik, Bu. Saya paham. Untuk itu saya akan mengantarnya untuk pemeriksaan selanjutnya.”
“Dan yang pasti kondisi Sara juga sehat, meskipun ada beberapa PR yang harus dilakukan seperti mulai memperhatikan pola makan dan pola tidur yang sangat berantakan. Sara juga harus rutin minum vitamin untuk menunjang tumbuh kembang janinnya.”
“Saya juga akan memastikan dia makan, tidur dan minum vitamin secara teratur.”
“Ravi, hal penting yang tadi ibu maksud dan berhak kamu tahu adalah … kondisi Sara memungkinkan untuk melakukan sesuatu bersamamu malam ini.”
“Ma-maksud Ibu?” tanya Ravi yang masih mencerna perkataan Nurita sampai kemudian ia tersadar … jangan-jangan yang Nurita maksud adalah melakukan hubungan selayaknya suami istri pada malam pertama?
“Intinya dokter bilang … boleh jika kalian ingin melakukan hubungan suami istri. Dengan catatan hati-hati dan dalam batas yang wajar, ya. Ibu yakin kamu paham maksud ibu,” jelas Nurita. “Sekali lagi maaf menelepon untuk membahas hal semacam ini, ibu hanya takut kamu ragu. Jadi intinya boleh, ya. Silakan.”
Ravi bahkan sampai tak bisa berkata-kata. Setelah itu, Nurita pamit lalu sambungan telepon pun terputus beberapa saat setelahnya.
Sungguh, Ravi masih tidak habis pikir dengan yang Nurita katakan. Namun, hal itu seakan menjadi lampu hijau untuk dirinya bisa melakukan hal yang sangat wajar dilakukan oleh pengantin baru.
Sekarang pertanyaannya … apakah Sara bersedia?
Bersamaan dengan itu, pintu kamar hotel dibuka dari luar. Sara juga memang memegang kartu kuncinya sehingga bisa langsung masuk. Wanita itu tampak terkejut atau … takut saat melihat Ravi hanya mengenakan handuk saja dan bertelanjang bagian dadanya.
“Maaf saya baru selesai mandi. Saya sedang mengambil pakaian ganti ini,” ucap Ravi seraya meraih setelan tidur miliknya. “Ini piama punya kamu,” tambahnya sambil menunjuk setelan tidur wanita yang diletakkan berdampingan dengan setelan tidur Ravi.
“Oke, makasih,” jawab Sara canggung. “Silakan lanjutkan kegiatannya,” sambungnya agar Ravi segera mengenakan setelan tidurnya. Jujur saja, rasanya aneh melihat Ravi hanya memakai handuk dan dadanya bertelanjang seperti itu.
“Kamu mau mandi?” tanya Ravi kemudian.
Tentu saja Sara mau mandi. Ia juga sangat butuh kesegaran setelah seharian menjadi pengantin. Walaupun hanya dihadiri oleh keluarga dan orang terdekat saja, bukan berarti Sara tidak merasa lelah. Ia benar-benar butuh guyuran air membasahi rambut dan seluruh tubuhnya.
“Ya, aku mau mandi,” balas Sara seraya berjalan mengambil handuk. Setelah itu, Sara bergegas menuju ke kamar mandi.
Tepat Sara menutup pintu kamar mandi dari dalam, Ravi langsung melirik setelan tidur milik Sara yang masih tergeletak pada tempatnya. Padahal Ravi kira Sara akan membawa serta pakaian gantinya ke kamar mandi sehingga bisa langsung memakainya di sana setelah mandi. Ternyata Sara meninggalkan pakaian gantinya. Atau Sara memang lupa?
Berusaha tidak peduli, Ravi segera memakai setelan tidurnya. Ia tidak mungkin terus melilitkan handuknya di pinggang seperti ini. Tepat selesai memakai setelan tidurnya, Sara keluar dari kamar mandi. Tentu sudah bisa Ravi duga kalau wanita pasti hendak mengambil pakaian ganti miliknya.
“Kamu mau mengambil ini?” tanya Ravi seraya meraih pakaian ganti untuk Sara.
Sara mengangguk. Wanita itu berterima kasih setelah pakaian itu berpindah ke tangannya.
Tidak lama kemudian, Sara berjalan kembali menuju kamar mandi. Ravi sempat memperhatikan punggung wanita itu yang mulai menjauh, sampai kemudian … Sara memutar kembali tubuhnya dan membuat Ravi cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Mas Ravi,” panggil Sara kemudian.
“Ya?”
“Aku mau minta tolong.”
“Minta tolong apa? Silakan.” Ravi menjawab seraya mendekat pada Sara.
Dengan wajah ragu, Sara berkata, “Tolong turunkan ritsleting gaunku. Aku … kesulitan membukanya.”
Tunggu, Ravi berusaha memahami apakah Sara benar-benar meminta tolong atau sengaja memberi kode?
“Sekarang, Mas. Aku mau mandi,” kata Sara lagi karena Ravi malah terdiam.
“Eh? Iya….” Ravi kemudian menurunkan ritsleting pada gaun Sara, membuat punggung putih mulus wanita itu mulai terekspos.
Ravi tak bisa memungkiri kalau darahnya berdesir, ada sensasi aneh yang dirasakan tubuhnya yang mulai bereaksi ke arah nafsu. Sensasi aneh itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya, terutama bagian bawah miliknya yang tanpa diberi aba-aba langsung mengeras tanpa permisi.
Ravi tak habis pikir. Bisa-bisanya ia nafsu hanya dengan melihat punggung mulus seorang wanita. Apa karena Ravi sudah sangat lama tidak melakukannya? Sekalipun ia baru satu tahun menduda, tetap saja sebagai pria normal … miliknya di bawah sana seolah meronta-ronta ingin segera diberi jatah.
Rasanya, Ravi ingin melucuti pakaian wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya. Tapi memangnya boleh? Memangnya Sara akan bersedia?
“Makasih,” ucap Sara lalu berjalan menuju kamar mandi.
Selama beberapa saat Ravi hanya bisa menatap wanita itu sampai kemudian … akal sehatnya berhasil dikalahkan oleh nafsu. Ia berjalan cepat dan dengan gesit menahan pintu kamar mandi sehingga gagal ditutup.
Sontak Sara merasa bingung. “Ada apa, Mas?”
“Saya perlu bertanya sesuatu padamu.”
“Mas Ravi mau tanya apa?”
“Sebelumnya maaf, apakah kamu merasa nyaman kalau saya ingin menyentuhmu malam ini?”