Satu jam sebelumnya….
Pernikahan yang dilakukan di ball room sebuah hotel ini sebenarnya sangat mewah, tapi jumlah tamunya sedikit sekali. Bahkan, kebanyakan itu hanya tamu formalitas untuk meramaikan acara. Bukannya Sara atau Ravi tidak punya teman, mereka memang tidak mengundang banyak orang. Lebih tepatnya, hanya Ravi yang mengundang beberapa kenalannya sedangkan Sara memilih tidak mengundang siapa pun.
Sara hanya tidak ingin semua orang merasa aneh karena ia tetap menikah sekalipun Bima telah meninggal. Ya, Sara tidak mau menjadi bahan omongan karena tetap melangsungkan pernikahan dengan pria lain. Bukankah itu akan membuat para kenalannya merasa aneh? Itu sebabnya, dari pihak Sara yang datang hanyalah keluarganya. Padahal sebenarnya Sara sudah merencanakan akan mengundang banyak orang jika yang bersanding dengannya adalah Bima.
“Mas Ravi mau ke kamar sekarang?” tanya Sara tepat setelah mereka berdua selesai makan malam.
“Memangnya kamu nggak?” Ravi malah balik bertanya.
“Mas Ravi duluan aja, ya. Aku mau bertemu orangtuaku dulu,” kata Sara. “Sekalian menghapus riasan. Mereka kayaknya udah nunggu di ruang pengantin,” sambungnya.
“Kalau begitu silakan, tapi kalau ada apa-apa atau perlu bantuan saya … kamu bisa menelepon atau mengirim chat. Kamu sudah menyimpan nomor saya, kan?”
Ravi berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Ia tahu bagaimana orangtua Sara dan tidak menutup kemungkinan Sara dibuat tak nyaman oleh mereka. Makanya ia sengaja menawarkan bantuan lebih dulu agar Sara tak ragu menghubunginya apalagi orangtuanya membuat ulah.
“Udah. Aku udah save nomor Mas Ravi.” Sara mengangguk-angguk.
“Kalau begitu saya duluan.”
Setelah mengatakan itu, Ravi bergegas ke kamar hotel yang sudah disiapkan untuk mereka berdua bermalam malam ini. Sedangkan Sara menuju ruang pengantin di mana ibu tirinya sudah menunggu di sana. Sebenarnya Sara malas bertemu dengan Rinda, tapi mau bagaimana lagi?
Begitu Sara membuka pintu, Rinda langsung berdiri dari posisi duduknya.
“Bapak mana?” tanya Sara.
“Nunggu di luar, tadi bilangnya mau merokok,” jawab Rinda. “Jangan heran deh, kamu pikir bapak kamu peduli sama kamu? Apa kamu sangat berharap bapakmu bicara denganmu di ruang ini?” lanjutnya.
Sara terdiam.
“Lagian apa yang perlu dibicarakan coba? Hari-hari biasa saja kalian nggak pernah mengobrol. Asal kamu tahu, Sara … bapakmu itu loh, mau kamu hidup atau mati sekalipun nggak bakalan peduli. Dengan kamu menikah, bapakmu pasti sangat bersyukur karena setidaknya berkurang satu beban di rumah.”
Beban apanya? Sara bahkan menghidupi dirinya sendiri dan membiayai mereka semua. Bisa-bisanya Rinda berkata seperti itu. Namun, Sara tidak serta merta ingin membalasnya karena berdebat dengan Rinda adalah ide paling buruk karena ibu tirinya itu tak pernah mau kalah sekalipun salah.
“Lalu sekarang apa yang mau Ibu katakan?” tanya Sara, berusaha tidak terlihat sedih sekalipun dirinya benar-benar tak dipedulikan sampai akhir.
“Beruntung banget jadi kamu, meskipun Bima udah meninggal … keluarganya tetap bertanggung jawab dengan menikahkan kamu dengan Ravi. Meskipun dia duda, tapi saya akui dia lumayan juga dari segi wajah maupun isi dompet.”
“Ibu memanggilku ke sini cuma mau bilang itu?” Sara mulai duduk lalu menghapus riasan di wajahnya dengan make-up remover. Meskipun riasannya tipis, tetap saja perlu dibersihkan.
“Saya ingin sekalian mengingatkan. Jangan lepas tanggung jawab walaupun kamu sudah menikah.”
Sara mengernyit. “Tanggung jawab?”
“Sepuluh juta per bulan seharusnya kamu mampu mengingat suamimu pasti punya banyak uang. Pokoknya saya nggak minta banyak-banyak. Cukup sepuluh juta setiap tanggal satu.”
Sara sudah hafal dengan karakter ibu tirinya, tapi tetap saja ia masih terkejut dengan permintaannya yang terkadang tak masuk akal. Namun, Sara memutuskan mengiyakannya. Supaya cepat dan tidak ada perlu perdebatan sekalipun ujung-ujungnya Sara tidak akan memberikan sepeser pun uang pada ibu tirinya.
Sejak dulu, jauh sebelum Bima melamar Sara dan akan menikahinya, Sara sudah merencanakan untuk kabur meninggalkan keluarganya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Sialnya, ia belum menemukan cara yang aman agar tidak ketahuan oleh siapa pun. Andai Sara tidak menikah dengan Ravi, wanita itu akan tetap melarikan diri.
Jujur, Sara seharusnya kabur saat orangtua Bima memintanya menikah dengan Ravi. Sayangnya, Sara tinggal di rumah orangtua Bima dan sama sekali tidak ada celah baginya untuk melarikan diri. Setelah ini, Sara yakin bisa menemukan kesempatan untuk kabur. Meskipun statusnya telah menjadi istri Ravi, Sara tak peduli. Ia merasa tidak bisa menjalani pernikahan ini.
Sebaik dan se-sempurna apa pun cerita tentang Ravi yang Sara dengar, tetap saja … bagi Sara pria itu hanyalah orang asing.
“Transfer aja biar mudah. Saya yakin kamu nggak mau bertemu saya atau bapak kamu lagi,” tambah Rinda. “Ingat, sepuluh juta per bulan,” lanjutnya.
Sara tidak menjawab. Ia fokus menghapus riasan di wajahnya.
“Untungnya kamu hamil. Kalau nggak, mana mungkin kamu punya suami ganteng dan kaya yang bisa menggantikan Bima,” kata Rinda lagi.
Bagiku, Mas Bima tetap nggak tergantikan….
“Sar, layani dia yang bener ya. Dia ATM berjalan keluarga kita mulai sekarang,” pungkas Rinda. “Saya juga sudah menyiapkan hadiah yang pastinya berguna buat kamu malam ini. Wajib dipakai, ya. Soalnya saya udah bela-belain keluarin uang buat beli itu.”
“Apa maksud Ibu?”
“Tunggu aja. Hadiahnya nanti dikirim ke kamar kamu sama Ravi, atau bisa jadi hadiahnya udah nyampe duluan? Wah, kalau sampai Ravi lihat hadiahnya … pikirannya pasti langsung liar.”
Hadiah apa, sih, yang ibu tirinya maksud? Sara benar-benar tak mengerti.
Bahkan, sampai di kamar pun Sara tidak menemukan hadiah yang Rinda maksud. Sara malah dibuat salah fokus dengan perut six pack suaminya yang baru selesai mandi. Untungnya Sara masih punya akal sehat sehingga tidak lancang dengan terus menatapnya.
Sara yang sudah masuk kamar mandi, keluar lagi untuk mengambil pakaian gantinya yang ketinggalan di luar. Ia tidak mungkin memakai piamanya di hadapan Ravi sehingga perlu membawa setelan tidurnya itu ke kamar mandi agar bisa sekalian memakainya setelah selesai mandi.
Selain itu, Sara juga ingin meminta tolong menurunkan ritsleting-nya karena ia sudah mencobanya beberapa kali, tapi tidak bisa membukanya sendiri. Sara benar-benar perlu bantuan Ravi sekalipun ini sangat memalukan.
Ravi memang membantunya dan kini ritsleting itu telah berhasil diturunkan, tapi kenapa pria itu memberikan pertanyaan aneh? Ravi dengan sopan meminta izin untuk menyentuh Sara? Sungguh, Sara tidak menyangka Ravi akan langsung blak-blakan begini.
Sara sampai bertanya-tanya … memangnya Ravi bisa melakukannya dengan wanita yang seharusnya menjadi istri sahabatnya? Jujur saja kalau Sara tidak sanggup melakukannya dengan sahabat Bima.
Belum sempat Sara menjawab, tiba-tiba suara bel membuyarkan pembicaraan mereka. Seketika Sara bersyukur ada yang datang, dengan begitu pembicaraan mereka bisa teralihkan.
“Tunggu sebentar. Biar saya yang buka pintunya,” kata Ravi karena mustahil Sara membuka pintu dalam keadaan gaun yang ritsleting-nya sudah diturunkan.
Selama beberapa saat Ravi membuka pintu. Dari tempat Sara berdiri, wanita itu bisa melihat kalau yang datang ternyata staf hotel. Jujur, Sara sempat kepikiran untuk langsung ke kamar mandi saja, tapi saat melihat Ravi sudah menutup pintu dari dalam sambil membawa sebuah paperbag, Sara langsung teringat ucapan Rinda tadi. Jangan-jangan itu hadiah yang ibu tirinya maksud.
“Kiriman dari ibu kamu,” ucap Ravi seraya menyerahkan paperbag itu pada Sara.
Dengan cepat, Sara mengambil alih dan melihat isinya.
“Pakailah baju dinasmu malam ini untuk menggoda suamimu,” ucap Ravi yang membuat Sara tercengang.
Sara bukan hanya tercengang melihat isi paperbag-nya berupa lingerie warna merah menyala, melainkan juga tercengang dengan kalimat yang barusan Ravi ucapkan.
“Ma-maksud Mas Ravi apa?” gugup Sara.
“Itu pesan yang ibumu tuliskan. Maaf terbaca karena suratnya ada di luar, terpisah dengan isi hadiahnya,” jawab Ravi. “Ini suratnya….”
Ucapan Ravi terpotong karena Sara langsung merebut surat di tangannya.
Astaga. Sungguh, Sara benar-benar malu!
“Jangan hiraukan ibu tiriku!” kata Sara cepat, lalu bergegas ke kamar mandi. Soal lingerie, ia akan menyembunyikannya nanti. Sekarang yang terpenting adalah menghindar dari Ravi dulu. Sara masih sangat malu.
“Bagaimana dengan pertanyaan saya tadi? Kamu belum menjawabnya,” ucap Ravi tepat saat Sara tiba di depan pintu kamar mandi.
Sara tidak langsung menjawab. Ia sedang berpikir … bagaimana cara menolak yang sopan dan tidak membuat tersinggung?
“Berhubung kamu hanya diam, saya anggap itu adalah izin. Ya, kamu mengizinkan saya untuk menyentuhmu malam ini,” kata Ravi lagi.
“Sekarang mandilah. Saya akan menunggumu di sini,” pungkas pria itu.
Oh tidaaaak!