Apa-apaan ini? Ravi sendiri tak paham kenapa dirinya cederung omes begini. Maksudnya, Ravi memang setuju untuk menikahi Sara karena merasa itu adalah pilihan terbaik yang bisa ia lakukan. Namun, Ravi sama sekali tidak pernah membayangkan akan langsung melakukan hubungan selayaknya suami istri dengan wanita itu. Ravi menganggap itu urusan belakangan, terutama jika Sara memberi izin pada Ravi untuk menyentuhnya.
Sekarang bisa-bisanya Ravi langsung blak-blakan seperti tadi. Apa ini karena Ravi sudah lama tidak melakukannya dengan wanita mana pun sejak menjadi duda? Entahlah, yang pasti jika Sara tidak keberatan, Ravi tanpa ragu akan melakukannya.
Terlepas dari Sara yang sedang hamil muda, bukankah dokter mengizinkan dengan catatan tidak berlebihan? Tentu Ravi akan sangat berhati-hati.
“Sadarlah, Rav. Bagaimana caramu melakukannya? Dia awalnya calon istri Bima,” batin pria itu.
Sementara itu, di dalam kamar mandi, Sara masih berusaha menetralkan jantungnya yang berdetak sangat cepat. Ya, jantungnya semakin berdebar hebat saat Ravi terang-terangan mengajaknya untuk melakukan ritual malam pertama yang biasa dilakukan oleh pengantin baru.
“No, ini gila!” gumam Sara. “Aku nggak bisa melakukannya dengan Mas Ravi,” sambungnya.
Sara mulai berpikir … perlukah ia melayani Ravi sekali saja? Anggap saja ini malam pertama dan terakhir sebelum dirinya kabur. Ya, jika mereka melakukannya lalu Ravi kelelahan dan tidur, bukankah akan semakin mudah bagi Sara untuk melarikan diri?
Namun tetap saja, bisakah Sara melakukannya?
“Ini membuatku gila,” gumam wanita itu lagi.
Sara kemudian menyelesaikan kegiatan mandinya. Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi dengan memakai piama. Sementara lingerie pemberian ibu tirinya masih utuh berada di dalam paperbag yang langsung ia letakkan di dekat laci.
Sejenak, Sara memperhatikan sekeliling ruangan. Ravi ada di mana? Kenapa tidak ada di sini? Bukannya apa-apa, Sara hanya penasaran.
“Kamu udah selesai mandi rupanya.” Itu suara Ravi.
Pria itu muncul dari arah balkon dan saat ini sedang berjalan ke arah Sara. Jangan ditanya betapa deg-degannya Sara. Hati dan pikiran wanita itu seolah sedang berperang antara … coba saja dulu toh hanya sekali atau bersikeras tidak bisa. Apa yang harus Sara lakukan?
“Kamu nggak memakai baju dinas yang tadi?” tanya Ravi kemudian.
Sara hanya menggeleng.
Ravi sudah berdiri tepat di depan Sara, pria itu bertanya lagi, “Kenapa? Kamu malu pada saya?”
Kali ini Sara mengangguk cepat.
“Kamu yakin, tidak apa-apa kalau saya menyentuhmu?” Ravi bertanya setidaknya untuk memastikan satu kali lagi, karena ia cukup peka dengan raut wajah Sara yang begitu tegang seolah tidak siap.
Meskipun ragu, tapi Sara mengangguk, memberikan akses untuk Ravi semakin mendekat padanya. Ravi pun maju selangkah, jangan ditanya apakah si gagah di bawah sana sudah bereaksi atau belum. Tentu saja sudah bersamaan dengan Sara yang tadi mengangguk, miliknya pun seolah langsung menunjukkan eksistensinya dengan menjadi sangat-sangat-sangat keras.
Sepertinya Ravi benar-benar tak tahan akibat terlalu lama membiarkan miliknya terus menganggur tanpa pernah diberikan perhatian lebih untuk melepaskan hasratnya dengan seorang wanita. Apakah sekarang waktunya? Waktu bagi Ravi mendapatkan rasa nikmat yang terkadang membuat orang kecanduan.
Namun saat Ravi hendak mencium bibir Sara, spontan wanita itu menggeleng. Sara juga mundur. Jelas sekali kalau wanita itu menghindar.
“Maaf, Mas…,” ucap Sara takut-takut.
Ravi kemudian berbicara, “Kalau misalnya kamu nggak mau … nggak apa-apa. Saya nggak akan maksa.”
“Bukannya aku nggak mau nih, Mas. Jujur aja aku belum siap,” jawab Sara akhirnya, jawaban yang membuatnya jauh lebih lega karena telah mengatakannya dengan jujur. “Maaf ya, Mas,” sambungnya tak enak hati.
Jujur, Sara merasa tidak enak. Tapi mau bagaimana lagi? Semua tidak bisa dipaksa.
Ravi tersenyum. “Santai aja, kamu nggak perlu merasa bersalah.”
“Gimana kalau besok?” tanya Sara kemudian.
“Dengan senang hati,” balas Ravi.
Sara ini apa-apaan coba? Bisa-bisanya ia menjanjikan besok. Sungguh, barusan itu Sara benar-benar spontan mengatakannya. Padahal bagaimana caranya ia memberikan hak Ravi besok sedangkan Sara sudah berencana kabur malam ini saat pria itu terlelap.
Maafkan aku ya, Mas. Padahal kamu sepertinya orang baik, tapi aku nggak bisa menjalani pernikahan ini….
Kuncinya … Sara harus berhasil kabur. Jika gagal, ia mau tidak harus menepati janjinya pada Ravi.
“Sekarang tidurlah, istirahat. Ini hari yang melelahkan, bukan?” tanya Ravi.
“Mas Ravi juga tidur,” balas Sara.
“Ngomong-ngomong, kamu juga nggak nyaman misalnya kita berbagi ranjang sekalipun kita nggak melakukan apa-apa?” tanya Ravi lagi. “Kalau misalnya kamu nggak nyaman apalagi pasti belum terbiasa juga, kan? Bukan masalah kalau saya tidur di sofa karena sejujurnya … saya udah lumayan lama nggak pernah tidur di kasur,” sambungnya.
“Mana sofanya?” Sara malah balik bertanya.
Setelah diperhatikan dengan saksama, ternyata memang benar tidak ada sofa di kamar hotel yang sebetulnya sangat mewah dan tipe khusus honeymoon ini. Jelas ini disengaja. Selain Bima, tentu Nurita dan Hadin juga tahu kalau pasca Ravi memergoki Monik memadu kasih dengan pria lain di tempat tidur mereka, semenjak saat itu Ravi lebih memilih tidur di sofa.
Dan kini Nurita dan Hadin berupaya agar Ravi tidurnya di kasur bersama Sara. Pantas saja sejak masuk ke kamar hotel ini, Ravi merasa ada yang kurang. Ternyata sofa yang seharusnya menjadi fasilitas di sini secara sengaja disingkirkan. Bukankah Nurita dan Hadin itu sungguh niat?
“Bu Nurita dan Pak Hadin pasti tahu kalau saya kemungkinan akan tidur di sofa, makanya meminta staf hotel agar menyingkirkannya sebelum kita masuk,” jelas Ravi. “Mereka sangat gigih untuk mendekatkan kita,” sambungnya.
“Kasurnya besar. Tidurlah di kasur, Mas,” jawab Sara.
“Kamunya nggak apa-apa?”
“Bukan masalah, toh hanya tidur. Enggak lebih.”
“Baiklah….”
Sampai kemudian, saat ini Sara dan Ravi sama-sama berbaring di kasur berdampingan. Ada bantal guling yang menjadi batas atau penghalang mereka. Ravi tampak memejamkan mata, tapi Sara yakin pria itu sekadar memejamkan mata dan belum benar-benar tidur. Sedangkan Sara sedang membuka ponselnya, lebih tepatnya membaca ulang riwayat chat dalam sebuah obrolan grup.
Perjalanan Liburan ke Senjaratu
Admin : Jangan lupa ya teman-teman, besok jam 06.00 sudah berkumpul di depan kantor kami.
Dua hari yang lalu, saat Sara ‘tak bisa ke mana-mana’ di rumah orangtua Bima untuk menunggu hari pernikahannya dengan Ravi, wanita itu sengaja mendaftar untuk liburan ke wilayah yang Sara sendiri tidak tahu di mana. Sara memutuskan mengikuti agen perjalanan agar bisa melarikan diri dengan lebih mudah serta kemungkinannya kecil untuk ketahuan.
Bagi Sara, tak peduli ke mana tujuannya karena yang terpenting ia bisa ikut dalam perjalanan tersebut. Di tempat tujuan, barulah Sara akan memisahkan diri dari rombongan dan di sanalah Sara bisa mulai memutuskan ia akan kabur ke kota mana. Sara tahu dirinya sangat nekat, tapi ia hanya berusaha mengikuti kata hatinya untuk pergi dari sini.
“Cepatlah tidur, Mas. Biarkan aku pergi dari sini,” batin Sara penuh harap.
Sara sengaja bersikap welcome pada Ravi agar tidak kentara kalau dirinya hendak melarikan diri. Sara benar-benar mantap dengan keputusannya bahwa ia akan melahirkan dan membesarkan bayinya sendiri. Ya, sendiri.
Sara berharap semoga Ravi bisa menemukan wanita yang jauh lebih baik dan tentunya wanita yang pria itu cintai, bukan hasil perjodohan dadakan yang dilakukan oleh orangtua Bima.
“Jadilah tokoh utama dalam kisahmu sendiri, Mas. Jangan jadi suami pengganti seperti ini,” batin Sara. “Aku akan mencari kebahagianku sendiri dan begitu juga kamu, Mas. Carilah kebahagiaanmu sendiri,” sambungnya, masih dalam hati.
Sara kemudian meletakkan ponsel di samping bantal.
“Sara,” panggil Ravi yang membuat Sara terlonjak kaget.
Padahal Sara tahu Ravi belum tidur, tapi kenapa ia se-terkejut ini?
“Maaf kalau saya mengejutkan kamu,” tambah Ravi.
“Kenapa, Mas? Kenapa memanggilku?”
“Kamu nyaman tidur dengan lampu dimatikan atau tetap menyala seperti ini?”
“Dimatikan saja, Mas,” jawab Sara, sengaja. Barangkali jika lampunya dimatikan, Ravi segera terlelap.
“Oke.” Bersamaan dengan itu, Ravi telah mematikan lampu sehingga kamar mereka menjadi gelap.
“Sebelum tidur, bolehkah aku bertanya satu hal, Mas?” tanya Sara yang entah kenapa ia sangat penasaran tentang perkataan Ravi tadi.
“Tanyakanlah. Jangan sungkan,” balas pria itu.
Mereka berbaring menyamping dengan posisi yang membuat mereka saling berhadapan. Sara menyamping ke arah kanan dan Ravi ke arah kiri sehingga mereka benar-benar bisa saling menatap sambil berhadapan.
“Tadi Mas Ravi bilang, nggak pernah tidur di kasur. Aku penasaran kenapa Mas Ravi tidurnya di sofa terus?”
“Karena suatu hal yang cukup pribadi, saya nggak bisa tidur kalau di kasur. Berbeda dengan di sofa, saya justru merasa kualitas tidur saya menjadi lebih efektif,” jelas Ravi.
Wah, ini bahaya! Jangan sampai Ravi tak kunjung tidur sehingga Sara tak punya kesempatan untuk kabur.
Setelah itu, tak ada pembicaraan lagi di antara mereka dan secara ajaib … Sara mulai mendengar deru napas Ravi yang sangat teratur. Tunggu, Ravi sungguh telah tidur atau berpura-pura tidur?
Bukannya apa-apa, tadi pria itu bilang tak bisa tidur jika di kasur. Namun, buktinya sekarang apa? Pria itu bahkan mulai mendengkur halus. Meskipun dengkurannya pelan, hal itu membuat Sara yakin kalau Ravi sungguh terlelap.
Bagus! Sejenak, Sara memastikan apakah Ravi sungguh tertidur nyenyak.
Sampai pada akhirnya, Sara merasa aman dan dirinya benar-benar bisa meninggalkan hotel itu tanpa ketahuan.
Maaf dan selamat tinggal, Mas. Semoga kita jangan sampai bertemu lagi….
Namun, bagaimana jika takdir mempertemukan mereka lagi?