“Apa rencana kamu?”
“Aku punya rencana,” bisik Melina. “Tapi kita harus main bersih. Kita hancurkan Alena dari dalam. Perlahan-lahan. Kamu dekati dia. Buat dia terlihat seperti w************n yang tak hanya menjual dirinya pada Tristan, tapi juga padamu. Seolah-olah, dia menikah dengan Tristan hanya ingin mengejar kekayaan dan status. Dan Tristan... akan muak padanya.”
Reyhan mengangguk pelan. “Kalau itu tujuanmu, aku ikut. Aku ingin membuat Alena menyesal karena telah mengkhianatiku.”
Melina menyentuhkan gelas sampanyenya ke d**a Reyhan, lalu tersenyum puas. “Selamat datang di dunia gelap ini, Reyhan.”
---
Pagi di Bali terasa hangat dengan hembusan angin laut yang lembut. Di sebuah resort mewah di Uluwatu, Alena dan Tristan duduk berdua di restoran outdoor, menikmati sarapan sambil memandang laut biru yang membentang luas.
Alena mengenakan gaun putih tipis, wajahnya berseri meski masih tampak gugup. Sementara Tristan, dengan kemeja putih santai dan celana pendek, tampak lebih santai dari biasanya.
"Enak?" tanya Tristan sambil menyuapkan sepotong pancake ke mulut Alena.
Alena mengangguk. "Iya... terima kasih. Tempat ini indah sekali."
Tristan tersenyum kecil. "Aku ingin bulan madu ini membuatmu melupakan semua hal buruk yang pernah terjadi."
Belum sempat Alena menjawab, sebuah suara yang tak asing membuatnya tersentak.
"Alena? Wah, kebetulan sekali, kita bisa bertemu disini! Aku sangat merindukanmu. Padahal, dulu kita sangat dekat. Bahkan dekat sekali. Namun, karena aku harus kuliah dan kerja di luar negeri, kita terpaksa berpisah."
Alena menoleh, dan matanya membelalak melihat sosok Reyhan berdiri hanya beberapa meter dari mereka, mengenakan kemeja hitam dan celana panjang krem. Sorot matanya tajam, namun senyumnya sinis.
Tristan bangkit dari duduknya. "Siapa kamu? Dan apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu bilang pernah dekat dengan istriku, apa dia mantan kekasihmu?"
Reyhan mengangkat alis. "Perkenalkan, namaku Reyhan. Aku adalah sahabat Alena saat kita masih SMA. Kalau kamu tanya kenapa aku disini,? Jawabannya tentu liburan. Bali tempat umum, bukan? Atau kalian sudah menyewanya untuk berdua?"
Alena berdiri gugup, pandangannya berpindah dari Tristan ke Reyhan. "Rey... kenapa kamu—"
"Aku menginap di hotel ini juga," potong Reyhan cepat. "Kebetulan. Atau... mungkin takdir yang mempertemukan kita?"
Tristan melipat tangan di depan d**a. "Pergi, Reyhan. Jangan ganggu kami."
"Tenang Bro! Aku tidak bermaksud mengganggu," ucap Reyhan santai. "Aku cuma ingin bicara sebentar dengan Alena. Empat mata."
"Tidak mungkin," tegas Tristan. "Kami adalah suami istri. Kalau kamu ingin berbicara dengannya, harus ada aku di sampingnya."
Reyhan menatap Alena dalam. "Kamu sendiri bagaimana, Lena. Apa kamu setakut itu dengan suamimu, hingga tidak bisa bicara sebentar dengan sahabatmu?"
Alena menggigit bibir bawahnya. Ada kegelisahan yang tak bisa dia sembunyikan.
"Tristan," ucapnya pelan. "Biar aku bicara dengannya, sebentar saja. Setelah itu, aku kembali. Please, boleh ya, Sayang?"
Tristan menatapnya tajam, tak rela membiarkan istrinya bicara dengan lelaki lain. Namun akhirnya dia mengangguk perlahan. "Lima menit. Setelah itu kamu harus kembali. Lebih dari itu, kamu tahu sendiri akibatnya!"
Alena berjalan menjauh bersama Reyhan ke sudut restoran yang lebih sepi. Udara di antara mereka terasa penuh ketegangan.
"Kamu gila, Rey," ucap Alena, hampir berbisik. "Kenapa kamu ke sini? Kamu sengaja ya membuntuti aku?"
Reyhan menyeringai. "Aku belum selesai denganmu, Lena. Kamu pikir semuanya selesai hanya karena kamu menikah dengannya? Kamu salah."
Alena menggigit bibir. "Aku sudah memilih jalanku, Rey. Jangan buat ini makin rumit. Mari kita akhiri hubungan kita sampai disini. Maafkan aku jika aku telah menyakitimu."
Reyhan mendekat, suaranya melembut namun penuh ancaman. "Kalau kamu pikir bisa bahagia setelah mengkhianati orang yang benar-benar mencintaimu... maka kamu belum tahu arti balas dendam, Lena."
Setelah itu, Reyhan pergi meninggalkan Alena. Tak ingin dihukum oleh Tristan, Alena pun segera kembali ke tempatnya. Namun sayang, saat dia mendudukkan bokongnya, wajah Tristan langsung berubah drastis. Sorot matanya tak lagi hangat seperti saat mereka tiba di Bali. Kini, dia seperti bara api yang siap membakar siapa saja yang mendekati Alena—termasuk Alena sendiri.
"Kamu terlambat 2 menit, Alena. Dan kamu harus dihukum!"
Tristan pun menyeret wanita yang telah menjadi istri keduanya itu.
Begitu mereka tiba di kamar suite mereka, Tristan langsung mengunci pintu dan melemparkan kunci ke meja. Alena diam di ambang pintu, cemas.
"Tristan..." panggilnya pelan.
Lelaki itu tak menjawab. Ia membuka kemejanya perlahan, lalu mendorong Alena hingga tubuh wanita itu terjatuh di ranjang. Tristan langsung menindihnya agar wanita itu tak bisa lagi bergerak. Alena hanya bisa menggigit bibir, tahu kalau Tristan sedang marah.
"Aku cuma bicara, Tristan. Dia datang tiba-tiba—"
"Aku lihat," potong Tristan tajam, berbalik dan menatapnya dingin. "Kamu bicara padanya, dan kalian berpelukan."
"Kami hanya bicara, tidak ber—"
"Diam, Alena."
Alena tercekat. Nafasnya mulai berat.
"Kau tahu kenapa aku membawa kamu ke sini?" tanya Tristan sambil mengusap lembit wajahnya. "Untuk membuatmu lupa semua masa lalumu. Tapi ternyata, masa lalu itu yang kamu pilih untuk kamu sambut dengan hangat!"
Alena memejamkan matanya. "Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya bicara padanya dan menyuruhnya untuk tidak menggangguku lagi."
"Mulai sekarang," katanya seraya mendekap wajah Alena dengan tangan dinginnya, "kamu tidak akan ke mana-mana tanpa seizin aku."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku," katanya seraya menciumi pipi Alena, "mulai sekarang kegiatan kita hanya makan, tidur, dan... ya, memuaskan rasa cemburuku."
Alena terdiam. Ia ingin protes, ingin melawan, tapi ekspresi Tristan terlalu dingin. Seperti tak ada ruang sedikit pun untuk kompromi.
Seharian penuh, Alena tak diizinkan keluar kamar. Bahkan saat room service datang, Tristan yang membukakan pintu. Mereka hanya makan, minum. Lalu bercinta. Tidur sebentar, lalu bangun lagi dan bercinta lagi. Tak ada percakapan lembut seperti sebelumnya. Semua terasa seperti hukuman yang menakutkan.
Saat malam tiba dan Alena meringkuk di tepi tempat tidur, tubuhnya terasa remuk redam.
"Tristan... sampai kapan kamu akan seperti ini?"
Tristan yang duduk di sofa hanya menatap ke arah jendela.
"Aku tidak suka dibohongi, Alena. Dan aku lebih tidak suka berbagi milikku dengan siapa pun."
"Aku bukan benda."
Tristan menoleh, sorot matanya masih tajam namun suaranya melembut. "Tapi kamu adalah istriku. Dan aku tidak akan membiarkan pria lain menyentuhmu, bahkan hanya dengan kata-kata."
Alena menggigit bibir. “Lalu... kamu akan memperlakukanku seperti ini terus?”
“Selama kamu masih memikirkan pria lain, ya.” Tristan berdiri, lalu masuk ke kamar mandi. "Tidurlah, karena setelah ini, aku akan kembali menyerangmu.”
Alena hanya bisa menatap punggung suaminya yang menjauh. "Ini bukan bulan madu, tetapi penjara!"