Bab 1
“Kau hanya perlu mengandung benih kami selama sembilan bulan. Setelah itu, lupakan. Anggap saja kau tak pernah mengenalnya.”
Suara berat itu bergema di ruangan berwarna putih itu. Alena menatap pria di depannya dengan d**a sesak—Tristan Adipradana, pewaris tunggal rumah sakit swasta tempat dia bekerja sebagai cleaning service. Dingin, tenang, dan nyaris tanpa ekspresi. Pria itu menatapnya seolah ia bukan manusia, hanya wadah, untuk melahirkan keturunannya.
“Satu miliar. Langsung cair setelah kamu tanda tangan,” lanjutnya, sambil meletakkan map cokelat bersegel di atas meja.
Alena tak langsung menjawab. Ingatannya beralih pada tagihan rumah sakit adiknya yang diberikan perawat tadi pagi. Angka delapan puluh juta tertera disana, dan harus secepatnya dia bayar.
“Kenapa aku?” tanyanya dengan suara serak.
Tristan bersandar santai di kursinya, tetapi tatapannya seolah menguliti tubuh Alena.
“Karena kamu sehat, dan masih muda.”
Darah Alena berdesir dingin. Ingin rasanya dia menolak, tetapi, saat dia mengingat kembali kondisi adiknya, membuat dia urung melakukannya.
“Bagaimana dengan status anak itu setelah lahir?” tanyanya lagi, pelan.
Tristan menatapnya tajam. “Bukan urusanmu.”
Alena menunduk, menggigit bibir. Ada suara di kepalanya yang menyuruhnya agar ia pergi. Tapi ia tetap duduk di sana. Tetap mendengarkan. Tetap bertahan.
“Baik,” bisiknya. “Aku akan lakukan.”
Tristan tersenyum tipis, penuh kemenangan. Ia membuka laci, mengeluarkan pena hitam dan mendorongnya ke arah Alena.
“Selamat datang dalam keluarga Adipradana,” katanya, sebelum menambahkan dengan suara rendah, “Tapi ingat, setelah bayi itu lahir… kamu tidak punya hak apa-apa.”
Alena meraih pena itu dengan tangan gemetar. Saat ujung tinta menyentuh kertas, ia tak tahu bahwa ia baru saja menandatangani kontrak tergelap dalam hidupnya.
Tangan Alena masih gemetar saat keluar dari ruangan itu. Map berisi kontrak sudah berpindah ke dalam tas lusuhnya, tapi napas Alena belum stabil. Dia melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, melewati para suster dan pasien, menuju ruang rawat kelas III di ujung koridor.
“Kakak!” seru suara kecil yang langsung membuat langkahnya berhenti.
Di atas ranjang, tubuh mungil dengan wajah pucat tersenyum lemah padanya. Aldi, adik semata wayangnya yang baru berusia sepuluh tahun, mencoba duduk tapi langsung meringis kesakitan sambil memegang dadanya.
Alena buru-buru menghampiri dan menahan tubuh adiknya agar tetap bersandar.
“Jangan dipaksakan, Sayang. Kamu harus banyak istirahat,” ucap Alena, mencoba terdengar kuat meski hatinya hancur.
“Dokter bilang aku harus operasi, ya?” Aldi menatapnya lurus.
Alena terdiam. Ia ingin berbohong, mengatakan semua akan baik-baik saja. Tapi matanya menatap laporan medis yang baru saja ia ambil dari bagian administrasi. Kata-kata "operasi pasang ring jantung—harus segera dilakukan" tercetak jelas di halaman pertama.
“Iya,” jawabnya lirih. “Tapi kamu nggak usah khawatir, Kakak bakal cari cara.”
Aldi menunduk, suaranya pelan, “Aku denger perawatnya bilang, biayanya mahal banget…”
Alena menggenggam tangan adiknya erat. “Jangan pikirin itu. Kamu cuma perlu sembuh.”
Beberapa menit kemudian, pintu kamar diketuk. Seorang dokter muda masuk dengan wajah serius.
“Permisi, Mbak Alena. Boleh bicara sebentar di luar?”
Di koridor, dokter itu menjelaskan dengan nada tegas, “Pasien harus segera dioperasi. Detak jantungnya melemah. Kalau terlambat, risikonya tinggi.”
“Bisa pakai BPJS, kan, Dok?”
“Bisa. Tapi prosesnya lama. Surat rujukan, antrean rumah sakit rujukan jantung, belum lagi approval-nya. Bisa dua minggu atau lebih.”
Alena menelan ludah. Dua minggu? Aldi mungkin tak akan kuat selama itu.
“Kalau pakai biaya mandiri?”
“Sekitar delapan puluh sampai seratus juta. Harus dibayar sebelum jadwal operasi ditetapkan.”
Tubuh Alena limbung.
Delapan puluh juta.
Satu-satunya jalan tercepat yang ia miliki hanyalah kontrak sialan itu. Bayaran satu miliar. Uang yang cukup bukan hanya untuk menyelamatkan Aldi, tapi juga melunasi utang dan mengubah hidup mereka.
Namun harga yang harus ia bayar jauh lebih mahal—membawa anak orang lain dalam rahimnya.
Alena kembali masuk ke kamar Aldi. Anak itu sudah tertidur, nafasnya tersengal, sesekali dadanya naik turun tak beraturan.
Ia duduk di sisi ranjang, memandangi wajah polos itu. Lalu menyeka air matanya diam-diam.
“Maaf ya, Di,” bisiknya. “Kakak akan lakukan apapun… asal kamu bisa hidup.”
---
Senja mulai turun saat Alena duduk di kafetaria rumah sakit, menunggu Reyhan yang baru pulang dari tempat kerja. Rambutnya masih terikat asal, mata sembab karena terlalu banyak menangis sejak pagi. Hatinya gamang, tapi tekadnya sudah bulat.
“Alena!” Suara Reyhan memanggil dari kejauhan.
Begitu laki-laki itu mendekat, Alena langsung berdiri dan memeluknya erat. Di pelukan itu, ia ingin menghilangkan rasa takutnya.
“Ada apa, Sayang? Kenapa kamu kelihatan... kacau gini?” tanya Reyhan sambil mengelus punggungnya.
Alena menelan ludah, lalu berkata pelan, “Aku sudah menemukan cara untuk biaya operasi Aldi.”
Reyhan menatapnya penuh harap. “Serius? Bagaimana? Kamu pinjam uang ke siapa?”
Alena menggeleng. “Aku... aku akan jadi surrogate mother. Mereka butuh perempuan untuk menitipkan embrio mereka, dan aku cocok.”
Reyhan mendadak terdiam. Matanya membelalak, ekspresi wajahnya berubah dari kaget menjadi bingung, lalu marah.
“Tidak bisa?!”
“Dengar dulu—”
“Alena, kamu nggak bisa main-main sama tubuh kamu sendiri kayak gitu! Kamu pikir ini cuma soal uang?”
“Mereka hanya menitipkan embrionya saja, Sayang,” kata Alena tenang, meski hatinya mencelos. “Bukan meniduriku. Aku akan tetap menjaga diriku hanya untukmu!”
“Tetap aja! Kamu akan hamil anak orang lain, dan... dan itu gila, Alena!” Reyhan menunduk, mencengkeram rambutnya frustrasi. “Kamu nggak perlu lakuin itu, aku bisa minta uang ke Ayah.”
Alena langsung menatapnya tajam. “Sayang, aku nggak mau kamu jadi bahan cemoohan keluargamu cuma karena pacarmu minta bantuan buat operasi adiknya.”
“Siapa yang peduli omongan mereka? Ini soal nyawa, Len!”
“Tapi aku peduli.” Suaranya lirih, namun tegas. “Aku nggak mau jadi perempuan yang hanya bisa numpang. Nanti kalau kita benar-benar menikah, mereka akan bilang aku cewek matre yang hanya mengejar hartamu. Aku nggak mau, Rey.”
Reyhan menarik napas panjang, menahan gejolak emosinya. Ia menatap Alena sejenak, lalu memegang wajahnya dengan kedua tangan.
“Kamu tahu aku cinta kamu, kan? Aku rela jual mobil, kerja lembur, apapun, asal kamu nggak perlu... ngelakuin ini.”
Air mata menetes di pipi Alena. Tapi ia tersenyum. “Justru karena aku tahu kamu cinta aku, aku nggak mau kamu kehilangan harga diri karena aku.”
“Dan kamu pikir kamu nggak kehilangan harga diri dengan cara ini?”
Alena menunduk. Suara Reyhan membuat hatinya remuk. Tapi ia tahu ini satu-satunya jalan.
“Aku nggak jual diri, Rey. Aku hanya ingin menyelamatkan nyawa Aldi.”
Reyhan memeluknya erat. Tak berkata apa-apa. Ia tahu Alena tak akan berubah pikiran. Tiba-tiba, sebuah pikiran gila terlintas di kepalanya.