Bab 2

1018 Kata
Cahaya putih dari lampu operasi menyorot tajam ke wajah Alena yang kini berbaring dengan tubuh gemetar. Hari ini, proses penanaman embrio itu akan dilakukan. “Tenang, Mbak Alena. Ini prosedur singkat dan tidak akan terasa sakit,” ujar dokter perempuan paruh baya yang berdiri di samping tempat tidur. Namun, ketenangan itu sirna saat pintu ruangan terbuka dan dua sosok masuk. Seorang pria dengan setelan jas mahal, dan seorang wanita berwajah tajam mengenakan coat putih gading. “Permisi, Dok. Kami keluarga biologis embrio,” kata pria itu. Tristan. “Dia sudah siap?” tanya Melina, si wanita, tanpa menyembunyikan rasa tak sukanya saat memandang Alena dari ujung kaki sampai kepala. “Prosedur akan segera dimulai. Kami sudah mendapat izin lengkap dan tanda tangan kontrak,” jawab dokter tenang. Alena berusaha menghindari tatapan mereka, tapi Tristan malah mendekat. “Kau yakin bisa melakukan ini sampai akhir?” tanyanya pelan namun tegas. “Kau tahu ini bukan sekadar menyewakan rahim. Hidup anak kami ada di tanganmu.” Alena mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku yakin bisa menjaganya dengan baik.” Melina mendecih. “Pastikan dia tidak melakukan hal bodoh. Aku tidak ingin anakku tumbuh dalam tubuh perempuan yang labil emosinya.” Alena menoleh perlahan, tatapannya menusuk. “Saya tahu, Ibu tidak menyukai saya. Saya melakukan ini juga karena ada yang lebih penting dari harga diri saya—adikku.” Tristan mengangkat alis. Ekspresi wajahnya tak terbaca, namun ada sebersit kekaguman tersembunyi di balik sorot matanya. “Kau punya alasan yang kuat. Tapi kami juga punya sesuatu yang berharga yang sedang kami pertaruhkan.” “Kalau begitu kita sama,” jawab Alena dingin. Dokter memberi isyarat agar semua menjauh. “Kami mulai prosedurnya sekarang. Silakan tunggu di luar.” Tristan dan Melina pun mundur, tapi sebelum keluar, Tristan sempat menoleh sekali lagi. Sorot matanya tak terbaca. Prosedur pun dimulai. Tak ada rasa sakit, hanya rasa asing saat alat medis mulai bekerja. Di layar monitor, dokter menunjukkan embrio yang akan ditanamkan. “Embrio berhasil ditanamkan,” ujar dokter akhirnya. Alena membuka matanya perlahan, tubuhnya masih lemas. “Selamat, Mbak Alena. Sekarang, kita tinggal menunggu proses penempelan berjalan sempurna.” Ia mengangguk, mata memandang ke langit-langit. Pikirannya kosong, tapi juga penuh. Bukan hanya tentang Aldi. Tapi juga tentang pria bernama Tristan—dan rasa aneh yang mulai merayap masuk dalam hatinya. Karena entah kenapa, ia merasa semua ini, lebih dalam dari sekadar kontrak. --- Reyhan berdiri di depan jendela kantor rumah sakit lantai delapan, matanya menatap langit Jakarta yang muram. Di tangannya, secarik kertas konfirmasi hasil transplantasi embrio. Di ujung meja, seorang pria bersetelan putih dengan name tag bertuliskan "Dr. Aditya" berdiri kaku, menunduk. “Sudah dilakukan sesuai perintah?” tanya Reyhan datar. Dr. Aditya menelan ludah. “Iya, Pak Reyhan. Embrio yang ditanamkan ke rahim Alena adalah embrio dari s****a Anda. Bukan embrio milik pasangan Tuan Tristan dan Nyonya Melina.” Reyhan menarik napas dalam. Tangannya mengepal. “Bagus.” Ia berbalik, menatap tajam ke arah dokter. “Kepala rumah sakit sudah tutup mulut, kan?” “Sudah, Pak. Semua dokumen administratif tetap mencantumkan nama Melina dan Tristan. Secara hukum... bayi itu milik mereka.” Reyhan tersenyum kecil. “Secara hukum, mungkin. Tapi secara biologis… bayi itu milikku. Dan dia akan tumbuh di rahim perempuan yang seharusnya menjadi istriku.” “Tuan...” Dr. Aditya ragu. “Kalau ini sampai ketahuan... bisa jadi masalah besar.” Reyhan melangkah mendekat, tatapannya dingin. “Kalau begitu, jangan sampai ketahuan. Karena saya membayar Anda bukan untuk bicara. Ingat posisi Anda.” Dokter itu langsung mengangguk, keringat mengalir di pelipisnya. “Iya, Tuan. Saya mengerti.” Setelah pria itu keluar, Reyhan duduk di kursi kulitnya. Ia membuka ponselnya, melihat foto Alena yang tersenyum malu-malu dalam potret lama mereka berdua. Reyhan menganbilnya secara diam-diam. “Kamu tahu sayang ... seberapa dalam aku mencintaimu,” gumam Tristan lirih. Reyhan tak rela Alena mengandung benih lelaki lain. Tak akan pernah. Dia satu-satunya yang berhak memiliki Alena—jiwa dan raganya. --- Sementara itu di depan ruang operasi, perawat keluar “Operasi sukses!” serunya. “Dokter bilang embrio sudah menempel dengan baik.” Tristan menyambutnya dengan senyum tipis. “Syukurlah.” Melina sempat menatapnya curiga. “Kenapa kamu terlihat begitu bahagia?” Tristan berdiri dan menepuk bahu wanita itu. “Karena kali ini... aku yakin semua akan berjalan sesuai rencana.” Melina menyipitkan mata. “Jangan main api, Tristan. Bayi ini adalah milik kita berdua. Dan kamu, jangan sampai jatuh hati pada wanita miskin itu!” Tristan menatap lurus ke arahnya. “Tentu saja, Melina. Itu tidak akan pernah terjadi.” --- Cahaya putih dari lampu plafon membuat Alena mengerjapkan mata, mencoba memulihkan kesadaran. “Alena...” Sebuah suara berat menyapanya. Suara itu familiar, tapi tidak seharusnya berada di sini. Begitu matanya terbuka sempurna, sosok pria itu berdiri di sisi ranjang. Tristan. Mengenakan setelan hitam rapi, tangan di saku, dan senyum licik menghiasi wajahnya. “Selamat datang kembali,” ujarnya pelan, tapi sorot matanya membuat Alena merinding. “Tristan? Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alena dengan suara parau, mencoba duduk namun tubuhnya masih terlalu lemah. “Aku menunggumu sadar,” jawabnya santai. Alena mengernyit. “Kenapa kamu harus repot-repot menungguku? Tristan mendekat, tangannya meraih gelas air di nakas lalu menyodorkannya pada Alena. “Minumlah dulu. Kau butuh istirahat.” Alena menatap gelas itu dengan curiga sejenak sebelum menerimanya. Ia meminumnya perlahan, mencoba menenangkan debar jantungnya yang mendadak tak terkendali. Tristan duduk di tepi ranjang. Tatapannya menusuk. “Kau akan menjadi milikku, Alena. Apa pun yang terjadi.” Kalimat itu membuat tubuh Alena menegang seketika. Ia memandang Tristan dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu?” Tristan tersenyum samar, matanya tak lepas dari wajah Alena. “Kau akan tahu nanti... cepat atau lambat.” “Tristan, kamu jangan bercanda. Setelah aku melahirkan bayi ini, tugasku selesai. Kita tidak akan bertemu lagi. Itu sudah tertulis di kontrak.” Pria itu tertawa kecil, seolah mengejek. “Kontrak bisa diubah. Apalagi kalau isi di rahimmu ..” Alena membeku. “Apa maksudmu?” Tristan berdiri, lalu berjalan pelan menuju jendela ruangan. Ia memandangi langit mendung, tangannya menyelip di saku celana. "Anak itu ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN