Bab 3

1069 Kata
"Anak itu-" Belum sempat Tristan melanjutkan kalimatnya, Melina dan dokter jaga masuk ke dalam kamar. “Shh...” bisik Tristan sambil menyentuh bibirnya sendiri, memberi isyarat diam. “Diamlah, ada Melina disini!" "Selamat pagi! Bagaimana keadaan Bu Alina pagi ini?" tanya dokter itu dengan senyum ramah. Alena pun membalasnya dengan senyuman manis. Tristan yang biasanya acuh pun memandang wajah teduh Alina. "Saya merasa sudah cukup baik, Dok," jawabnya. Dokter itu pun memeriksa catatan yang diberikan oleh perawat, kemudian mengangguk. “Embrionya sudah menempel dengan sempurna. Sekarang tugas kalian adalah menjaga suasana hati Alena. Jangan sampai dia stres atau merasa tertekan. Itu bisa membahayakan kehamilan ini. Bu Alena sudah boleh pulang. Kalau ada keluhan, bisa langsung ke rumah sakit untuk periksa.” Tristan mengangguk mantap. “Tentu, Dok. Kami akan menjaganya sebaik mungkin.” Melina hanya tersenyum kaku. Tangannya mengepal di balik gaun mewah yang dikenakannya. Tatapan matanya menusuk ke arah Alena, seolah kehadiran perempuan itu harus segera dimusnahkan. Sementara Alena hanya diam. Di kepalanya penuh tanda tanya. Mengapa ia merasa ada yang tidak beres sejak bangun dari prosedur itu? Mengapa Tristan terlihat begitu perhatian padanya? Dan kenapa Melina seperti tidak sepenuhnya senang dengan kehamilan ini? “Kalau begitu, kami permisi, Dok,” ujar Tristan sembari berdiri. Tangannya secara refleks membantu Alena bangkit dari ranjang. Alena sempat menolak halus, tapi Tristan bersikeras. “Kau harus hati-hati sekarang. Ada kehidupan yang harus kau jaga di dalam tubuhmu,” ucapnya lembut, tapi Alena merasa itu sebuah perintah yang harus dia jalankan. Saat sampai di parkiran, Tristan membukakan pintu untuk Alena di samping kemudi. Sementara lelaki itu, menyuruh istrinya untuk duduk di belakang dengan isyarat matanya. Tak ingin berdebat, Melina pun masuk ke dalam dengan wajah bersungut kesal. Tristan pun melajukan mobilnya menuju ke kediaman keluarga besar Adiprana. --- Mobil mewah berhenti di depan rumah megah keluarga Adiprana. Begitu pintu dibuka, mata Alena langsung dimanjakan dengan perabot mahal yang mengisi rumah bak istana itu. Langit-langit yang tinggi dengan lampu kristal yang menggantung, dan aroma bunga segar menguar dari vas-vas di berbagai sudut. “Mulai sekarang kau tinggal di sini,” ucap Tristan. Alena menoleh cepat. “Tapi... bukankah aku hanya perlu datang untuk kontrol rutin? Mengapa harus tinggal di sini?” “Perintah dokter,” jawab Tristan cepat. “Lebih mudah mengawasi perkembangan kehamilanmu. Dan aku tak ingin mengambil risiko.” Melina yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat suara dengan nada dingin. “Tentu saja. Kita semua ingin bayinya lahir sehat, bukan?” Alena menelan ludah. Ia tahu ada sarkasme dalam suara itu. Tapi ia mencoba tersenyum sopan. “Terima kasih, Ibu Melina.” Wanita itu melirik tajam. “Jangan panggil aku ‘ibu’. Kita tidak punya hubungan sedekat itu.” Tristan memotong cepat. “Melina.” Melina mendengus, lalu melangkah pergi. Langkahnya berat, penuh emosi yang tertahan. Di balik pintu, ia menghentakkan kakinya pelan dan bergumam, “Gagal sudah rencanaku. Sekarang gadis itu malah jadi pusat perhatian semua orang.” Tristan menuntun Alena ke kamar utama yang telah disiapkan. Kamar yang besar, dengan ranjang empuk dan jendela yang menghadap ke taman. “Kamu bisa istirahat di sini. Kalau kamu butuh apa-apa, cukup tekan bel.” Alena menatapnya curiga. “Kenapa kamu begitu peduli padaku, Tristan?” Tristan tersenyum, matanya menatap tajam. “Karena kamu sedang mengandung sesuatu yang sangat berarti... anakku. Generasi penerusku” Alena terdiam. Degup jantungnya menggila seperti genderang yang mau perang. Alena memegang dadanya. Kenapa justru dia deg-degan saat berdekatan dengan Tristan. Padahal, Tristan bukan siapa-siapa baginya. --- "Mana, Tuan?" tanya Melina pada asisten rumah tangganya. "Ada di kamar Nona Alena, Nyonya," jawab wanita paruh baya itu dengan wajah ketakutan. Melina menyipitkan matanya. Tidak biasanya sang suami itu mau berdekat-dekatan dengan yang namanya perempuan, terlebih orang yang baru saja dia kenal seperti Alena. Wanita itu berdiri di balik pintu kamar Alena yang sedikit terbuka. Wajahnya berubah sendu saat melihat suaminya—Tristan—sedang duduk di sisi ranjang, membawa nampan makan malam. "Yuk, makan dulu. Dokter bilang kamu harus makan teratur supaya janin kamu tetap sehat," ucap Tristan lembut, menyuapkan sesendok sup hangat ke mulut Alena. Alena menolak pelan, namun Tristan tetap tersenyum sabar. "Hanya beberapa suap. Aku yang suapin, kamu nggak usah capek-capek." “Tristan, aku bisa makan sendiri…” “Tapi aku ingin melakukannya,” potong Tristan cepat, sorot matanya hangat dan... anehnya, Alena langsung mengangguk. Di balik pintu, tangan Melina mengepal. Dadanya naik turun menahan amarah yang membuncah. Hatinya seperti disayat. Perhatian itu seharusnya jadi miliknya. Tapi sekarang, ia melihat lelaki yang sudah menjadi suaminya memberikan semua perhatian dan kelembutan itu kepada wanita lain. Tak tahan lagi, Melina mendorong pintu dan melangkah masuk. “Ngapain kamu disini?” tanyanya tajam. Tristan menoleh tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Menyuapi Alena.” “Dia bisa makan sendiri, bukan bayi yang harus disuapi.” “Dia sedang mengandung bayi kita, Melina. Dan dokter sudah bilang, dia tidak boleh terlalu banyak bergerak. Aku hanya mengikuti anjuran dokter.” Melina mendengus, melipat tangan di d**a. “Oh ya? Jadi, sekarang kamu jadi perawat pribadi Alena? Atau... lebih dari itu?” Alena buru-buru menunduk. Ia tak ingin ikut campur dalam konflik rumah tangga majikannya. “Melina, cukup. Jangan mulai membuat masalah,” kata Tristan tenang, tapi tegas. Melina melangkah mendekat, berdiri di antara mereka. “Kamu berubah, Tristan. Sejak gadis ini hamil, kamu jadi... gila.” “Gila karena aku ingin calon anakku lahir dengan sehat?” balas Tristan cepat. “Gila karena aku ingin memastikan ibu yang menjadi tempat tumbuh anak kita tidak stres karena sikap dinginmu?” Tatapan Melina bergetar. “Kau tak pernah bersikap seperti ini... bahkan padaku.” Tristan berdiri. Sorot matanya tajam dan tidak bisa ditawar. “Karena kamu tak pernah memberikan aku kesempatan menjadi ayah. Kamu... kamu terlalu sibuk dengan shooting dan pemotretan. Sekarang biarkan aku melakukan ini dengan caraku.” Melina tercekat. Nafasnya sesak oleh luka yang ia coba sembunyikan. “Baik. Aku mengerti, tapi ingat, kalau sampai kamu jatuh cinta pada gadis ini! Aku tak akan tinggal diam!” Tristan tidak menjawab. Ia hanya kembali menoleh ke arah Alena yang masih menunduk, lalu berkata pelan, “Istirahatlah. Aku akan pastikan kamu dan bayi ini baik-baik saja.” Lalu ia keluar dari kamar, membiarkan Melina berdiri disana dengan luka yang menganga di hatinya. Melina menggigit bibir, lalu menoleh menatap Alena penuh benci. "Awas, kalau sampai kamu jatuh cinta pada suamiku! Aku tidak akan segan-segan berbuat lebih pada adikmu kalau sampai kamu berani melakukannya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN