Bab 4

1124 Kata
"Sayang, cepat! Kita harus segera berangkat! Papa dan Mama sudah nungguin kita dari tadi!" teriak Melina dari bawah Tristan yang baru saja selesai berganti pakaian langsung turun. Tristan tersenyum saat melihat istrinya yang tampil memukau, mengenakan dress hitam pendek. Wanita itu terlihat anggun dan seksi. Dress warna hitam dengan potongan diatas lutut memperlihatkan kaki jenjangnya yang indah. Sementara Tristan sendiri tampak gagah dalam setelan jas senada. Mereka pun sampai di halaman belakang villa, orang tua Melina. Pesta bergaya pool party itu ramai dengan kolega bisnis Tristan dan juga ayah Melina. Mereka semua bercengkerama membicarakan bisnis yang mungkin akan mereka jalani. “Melina, kamu benar-benar cantik malam ini,” bisik Tristan mendekat sambil mencium pipi sang istri “Terima kasih, Sayang. Malam ini, kamu juga terlihat tampan,” jawabnya sambil memandang sekeliling, menikmati pemandangan sekitar. Mereka berdua menikmati hidangan, tertawa bersama, dan berbincang ringan dengan tamu-tamu dan kolega bisnis lainnya. Namun, suasana mulai berubah saat Tristan mulai menikmati minuman yang beralkohol. Sedikit demi sedikit, nada bicaranya mulai melantur. “Ah, dunia ini begitu indah bila kau bisa melupakannya sejenak…” kata Tristan ketika meneguk gelas whisky, matanya sedikit merah karena pengaruh alkohol. Melina menatap suaminya dengan perasaan gundah. “Yuk, kita pulang. Aku sudah mulai merasa lelah,” ajaknya sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Sesampainya di dalam mobil, Tristan yang sudah dalam keadaan agak mabuk langsung menarik tengkuk sang istri. Ciuman itu begitu dalam dan menuntut hingga membuat wanita itu mendesah. “Melina… kamu selalu membuatku b*******h. Aku nggak bisa berhenti memikirkan betapa nikmatnya tubuhmu,” bisik Tristan dengan penuh hasrat. Tristan pun menarik rok Melina ke atas lalu mulai bermain-main di sana. Suara erangan dan desahan terus memenuhi mobil hingga membuat mobil itu sedikit bergoyang. Namun, di tengah keintiman tersebut, telepon Melina berbunyi nyaring. Suara nada dering yang khas memecah keheningan di dalam mobil. Dengan cepat, Melina melepaskan diri dari pelukan Tristan, mengambil teleponnya, dan melihat layar dengan ekspresi yang berubah menjadi serius. “Maaf, Tristan,” ucapnya sambil menjawab panggilan itu. “Halo?” Tristan menatap wajah Melina yang kini tampak cemas dan tegang. “Ada apa, sayang?” Melina tak menjawab sejenak. Suasana dalam mobil hening. “Aku harus pergi sebentar, ya. Nanti kita lanjutkan lagi,” ucapnya dengan suara dingin, membuat Tristan semakin penasaran dan marah. “Melina, jangan tinggalkan dalam keadaan begini! Kau sudah membangkitkan gairahku lalu kamu tinggalkan begitu saja?” seru Tristan, matanya mulai menuntut. Namun, Melina sudah menatap tajam ke arah Tristan. “Maafkan aku, Sayang. Aku harus menyelesaikan ini,” jawabnya singkat, sebelum menekan handel pintu mobil. Setelah mengenakan kembali dressnya, dan merapikan riasannya, Melina pun melangkah keluar dari mobil, meninggalkan Tristan yang masih terdiam dengan tatapan penuh campuran kecewa dan amarah. Tristan memandang istrinya yang masuk ke dalam sebuah mobil mewah kemudian meninggalkan area rumah mewah orang tua Melina. Tristan menghela napas panjang kemudian melajukan mobilnya kembali ke rumah dengan gairah yang tertahan. Ketika mobil itu sudah sampai di rumah, Tristan hanya bisa menatap kosong, kamar yang seharusnya menjadi saksi malam panas mereka. Namun, senyum licik terbit di bibirnya Tristan yang semula berniat masuk ke kamarnya sendiri, kini berbalik arah. Tanpa pikir panjang, ia pun membelokkan langkahnya dan mendekati kamar Alena. Pintu kamar gelap itu terbuka. Di dalamnya, Wanita yang sedang hamil itu terlelap begitu pulasnya. Tubuhnya meringkuk dengan damai di atas ranjang. Tristan mendekat dengan langkah perlahan. Takut jika suara langkah kakinya membangunkan Alena. Dengan hati berdebar, Tristan duduk perlahan di sisi ranjang. Ia mendekatkan wajahnya untuk memperhatikan setiap lekuk wajah wanita yang mengandung benihnya. Perlahan, jemarinya meraba pipi lembutnya. Namun, apa yang dia lakukan justru mengobarkan gairah yang sedari tadi susah payah dia redam. "Kamu cantik sekali saat tidur, sayang," bisik Tristan lembut. Alena, yang tengah tertidur pulas, tak terasa saat lelaki yang memberikan benih di rahimnya menyatukan bibir mereka. Tristan tak bisa menahan diri lebih lama. Dengan lembut ia pun mulai melepas satu per satu pakaian yang melekat di tubuhnya dan juga tubuh Alena. "Alena, kamu adalah milikku selamanya," ujar Tristan hampir berbisik, seolah takut suaranya terdengar. Tristan pun menghujani leher Alena dengan ciuman, membuat wanita itu tak hanya melenguh, tapi juga belingsatan seperti cacing kepanasan karena geli dan nikmat yang dia rasakan. Saat Alena membuka mata, matanya melebar saat melihat wajah Tristan ada di depan matanya. Dia pun berusaha mendorong tubuh Tristan sekuat tenaga. Namun sayang, tenaga Tristan lebih kuat mengungkungnya. "Tristan, apa yang kamu lakukan? Kita tidak boleh melakukan ini! Ini tidak sesuai dengan perjanjian kita." Alena berusaha memberontak. "Kenapa tidak boleh, kamu sedang mengandung anakku, kan? Itu artinya kamu adalah ibu dari anakku! Jadi, aku berhak melakukan apapun sama kamu!" bisiknya lalu kembali menyatukan bibir mereka. Alena menggelengkan kepalanya berusaha menolak ciuman Tristan. "Tristan, ini tidak benar!" Lelaki yang sudah berkabut gairah itupun menghentikan aksinya. "Nikmati saja apa yang aku lakukan atau aku batalkan semua perjanjian kita! Persetan dengan bayi yang ada di kandunganmu! Memangnya, kamu bisa mengembalikan uangku?" Alena menggelengkan kepalanya. Dalam hati, Alena ingin menolak, tetapi, bagaimana dengan biaya operasi Aldi jika uang itu harus dikembalikan. Melihat Alena yang hanya diam, Tristan pun tersenyum licik dan mulai menyatukan tubuhnya penuh kelembutan. Ingin rasanya Alena berteriak menolak, tapi sentuhan Tristan begitu memabukkan membuat dia pun ikut terhanyut dalam kabut gairah. Malam itu untuk pertama kalinya, keduanya bersatu. Suara erangan dan desahan pun tak dapat lagi mereka tahan. Keduanya meluapkan gairah yang selama ini mereka pendam. Keesokannya, Tristan yang bangun lebih dulu tersenyum melihat wajah lelah Alena setelah pertempuran panas mereka semalam. Meski dia dalam keadaan mabuk, dia masih mengingat dengan jelas rasa yang diberikan oleh Alena. "Kamu begitu nikmat baby, rasanya, aku ingin terus lagi dan lagi menyentuhmu!" Saat Alena mengerjapkan matanya, Tristan buru-buru memejamkan mata. Lelaki itu berpura-pura mengerang sambil mengeratkan pelukannya. Alena pun mencoba melepaskan diri. Namun sayang, pelukan Tristan begitu erat membuat dia pun engap. "Tristan, bangun! Aku mau ke kamar mandi!" ujarnya sambil menyingkirkan tangan Tristan. Namun, bukannya melepaskan, lelaki itu justru bangkit dan menggendong tubuh Alena ke kamar mandi. "Kita mandi bareng, ya!" Tak hanya membersihkan diri, Tristan pun kembali mengulang kenikmatan yang disuguhkan oleh Alena semalam. Alena tak sanggup menolak sentuhan Tristan yang mampu membuat dia melayang. Hatinya ingin menolak, tapi tubuhnya seolah mengkhianatinya. Wanita itu justru mendamba sentuhan Tristan. "Sial, kenapa aku justru mendesahkan namanya saat dia menyentuhku!" rutuk Alena dalam hatinya. Setelah mandi, Tristan kembali menggendong tubuh Alena ke kamar. Dia juga menyiapkan pakaian untuk Alena karena hari ini, dia berencana membawa Alena makan di restoran sekalian dia meeting dengan klien. "Pakai ini! Karena kamu akan ikut aku pergi meeting, setelah itu kita makan bareng!" ucap Tristan sambil memberikan baju di hadapan Alena. Saat Alena akan berganti pakaian, tiba-tiba, suara gedoran keras di pintu kamarnya terdengar. "Tristan! Keluar kamu! Ngapain kalian berdua di dalam? Pakai di kunci lagi kamarnya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN