"Apa benar Jovi depresi?" tanya Devian serius.
Ruby yang terkejut, segera menoleh ke arah suara. Ia sibuk menghapus air matanya menggunakan tisu. Akan tetapi, mata itu tetap tak sedap dipandang.
Ruby mengangguk saat melihat Devian di depannya.
"Julian nuduh dia selingkuh," jawab Ruby lirih.
"Sial!"
Devian mengumpat dengan geram. Ia merasa benar-benar hancur. Wanita setia seperti Jovanka bisa-bisanya dituduh selingkuh sang suami.
***
Julian dan Devian terlihat sedang berduaan.
Kakak beradik itu sedang dalam suasana panas. Sebabnya tentu saja kejadian tempo hari. Kematian Jovanka, Javier dan Jasmin.
Keduanya saling menyalahkan. Ada amarah yang jelas terlihat dari kedua wajah tampan itu. Keduanya saling menyimpan kemarahan.
"Gue tahu dari awal lo suka sama bini gue!"
"Lantas?"
"Gue enggak nyangka kalian bakal ngelakuin sejauh itu!" teriak Julian marah.
Devian mengerutkan kening. Tak paham dengan apa yang dimaksud sang adik. Ia merasa tak pernah melakukan hal di luar batas dengan Jovanka.
Belum lagi Devian ingin menanyakan apa maksud adiknya, ternyata sebuah tinju bersarang di pelipisnya. Kepala Devian merasakan hantaman cukup keras hingga ia terhuyung. Hampir saja ia jatuh. Sialan!
"Lian!"
Devian segera berusaha menangkap tubuh adiknya. Ia memutar tangan sang adik hingga pria yang tubuhnya sedikit lebih kecil itu terkunci. Sang kakak mengatur napas seraya menggeleng-gelengkan kepala supaya rasa sakitnya hilang. Beberapa detik kemudian, Devian melepaskan Julian.
"Gue tahu enggak ada gunanya lawan lo, Dev!"
"Terus kenapa tiba-tiba nyerang gue begitu?"
Julian mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Gue kehilangan Jovi gara-gara lo, sialan!"
"Hah?"
Devian ternganga. Ia tak tahu apa yang dipikirkan adiknya itu. Bahkan, kemarin mama tirinya pun mengatakan hal aneh tentang Devian dan Jovanka. Mata pria itu mengerjap, mencoba mencari jawaban atas keanehan yang terjadi.
"Intinya, kehadiran lo itu kayak duri buat gue!"
Devian semakin ternganga mendengarnya.
Pria itu mengerjap berkali-kali. Tak menyangka bahwa adik yang disayanginya akan berpikiran begitu. Padahal, selama ini ia selalu mengalah demi sang adik. Dalam hal apa pun. Ia bahkan rela melawan rasa sukanya terhadap Jovanka demi Julian. Sialan lo!
"Ternyata kalian enggak pernah benar-benar nganggap gue keluarga, ya!" desis Devian.
"Enggak kebalik, ya?" tanya Julian agak sinis.
"Gue kurang apa sama lo dan nyokap, hah?"
Devian yang sudah terpancing amarahnya maju dan membuat Julian mundur.
Ditatapnya mata sang adik dengan marah.
"Enggak usah bawa-bawa nyokap, deh, Dev!"
"Terus?"
Devian masih melotot ke arah adiknya itu.
Julian justru melepaskan diri dari hunjaman mata kakaknya. Pria itu masuk ke rumah dan meninggalkan Devian yang masih dipenuhi amarah. Ia merasa sudah tak akan bisa meladeni apabila Devian sudah marah.
Devian akhirnya meninju dinding rumah berkali-kali demi menyalurkan amarahnya.
Devian tak peduli dengan buku-buku jarinya yang meneteskan darah. Lalu, ia pun membenturkan kepala demi menuntaskan hasrat marahnya yang masih menggebu. Kekecewaannya tak terbendung lagi.
"Dev, sudah!" ujar Hartawan tiba-tiba muncul.
"Apa menurut Papa, Devian salah karena punya perasaan lebih ke Jovanka?" tanya Devian.
Hartawan menggeleng. Ia menepuk bahu sang anak. Berharap bisa membuat Devian menyudahi rasa marah yang sedang ia rasakan.
Devian menunduk, jemarinya masih terkepal.
"Rasa cinta dan sayang itu tidak bisa dipaksakan."
Hartawan pun ingat masa lalunya. Ia memilih untuk meninggalkan istrinya karena mencintai wanita lain. Wanita itu adalah istri yang menamaninya sampai saat ini. Nyonya Hartawan, ibu dari Julian alias mama sambung Devian.
Sedangkan, ibu Devian memilih untuk mengejar kariernya ke luar negeri. Ia juga tak pernah menyalahkan Hartawan atas apa yang sudah mereka putuskan. Ia justru memepercayakan Devian kepada Hartawan untuk menjadi orang tua seutuhnya.
Pernikahan pertama Hartawan adalah hasil perjodohan. Tak ada cinta di antara keduanya. Meski begitu, Hartawan sangat menyayangi Devian.
Kini, kedua pria berbeda usia itu sedang saling bicara dari hati ke hati. Dua hati pria yang mencintai wanita dalam waktu terlarang. Meski, sebenarnya mereka lebih dulu mencintai wanita itu sebelum situasinya berubah.
"Harusnya dulu Devian maju," sesal Devian.
Pria itu merasa Jovanka akan baik-baik saja saat ini apabila dulu ia tak mengalah.
Harusnya saat ini Jovanka masih hidup dan bisa meneruskan hobinya menulis fiksi.
"Semua sudah berlalu, Dev," kata Hartawan.
Sayangnya memang benar, semua sudah berlalu.
"Devian enggak lebih dari pecundang pternyata."
"Cobalah buka hati untuk wanita lain, Dev!"
Devian menghela napas berat. Bukan ia tak ingin membuka hati, hanya saja belum ada yang membuatnya tak nyenyak tidur. Wanita-wanita di luar memang cantik, tetapi hanya sebatas itu dan Devian tak menginginkannya.
"Kalau ada yang kayak Jovanka, mungkin."
"Dev...!"
Devian mengeloyor. Ia tak ingin lebih jauh membicarakan wanita lain. Bagi Devian, cinta itu akan datang dengan sendirinya jika sudah saatnya.
"Devian mau keluar, Pa!" ujar Devian kencang.
Hartawan menggeleng-geleng melihatnya.
Setelah Devian pergi, Nyonya Hartawan menghampiri sang suami. Ia mengajak pria itu masuk untuk makan malam. Hartawan menurut.
Di meja makan, Julian tampak sudah menunggu.
"Kamu tahu kakakmu pergi ke mana, Lian?"
"Enggak."
Julian yang tadinya sudah ingin menyendok nasi, seketika urung. Hati pria itu kembali memanas mendengar ayahnya menanyakan Devian yang pergi entah ke mana. Ia merasa senang karena tak harus makan semeja dengan kakaknya.
Hartawan yang paham dengan sikap Julian hanya menggeleng. Ia sebenarnya tak ingin kedua anaknya berseteru seperti ini. Apalagi hanya gara-gara soal cinta.
"Udah biarin aja dia pergi," ucap sang mama.
Hartawan juga mencoba memahami istrinya.
"Ya."
Pria tua itu tak banyak bicara, meski hatinya gelisah. Ia memikirkan kepergian Devian yang tengah kalut. Hingga, acara makan malam itu dilewatinya dengan melamun.
"Pikirin terus anak kesayangannya sana, Pa!"
"Lian...!"
"Emang bener, kok, Ma," ujar Julian marah.
Nyonya Hartawan mencoba menasihati putranya itu. Akan tetapi, Julian yang memang sudah marah sejak awal, justru memilih pergi. Pria itu meninggalkan kedua orang tuanya di ruang makan. Ia tak suka mamanya membela Devian.
"Jangan coba larang aku buat mikirin Devian!"
Kalimat itu terdengar menusuk hati Nyonya Hartawan. Sang suami tampak begitu dingin. Nyonya Hartawan akhirnya meneruskan makan tanpa banyak bicara.
Sesekali wanita itu menoleh ke arah suaminya.
"Aku paham kamu khawatir sama Devian."
Hartawan masih tak menghiraukan istrinya.
Pria tua itu memakan makanan di piringnya.
"Kalau kamu paham, tolong jangan memperkeruh suasana!" ujar Hartawan serius.
"Kapan memangnya aku memperkeruh suasana?"
"Kamu ikut-ikutan nuduh Devian," jawab Hartawan.
"Memangnya salah?" tanya Nyonya Hartawan.
Hartawan membanting sendok dan garpunya.
"Kamu seorang ibu, sudah seharusnya membuat anak-anak rukun!" teriak Hartawan.
"Tapi, Devian udah keterlaluan kali ini, Har!"
"Keterlaluan di mananya?" tanya Hartawan.
Nyonya Hartawan ikut-ikutan meletakkan sendok dan garpunya. Ia tak ingin tinggal diam. Kelakuan Devian harus dibeberkan.
Wanita itu mengelap bibirnya dengan sapu tangan. Ia juga menjauhkan piringnya. Bersiap untuk membongkar borok sang anak tiri.
"Kamu tahu enggak kalau selama ini Devian sering berduaan sama Jovanka, hah?"
Hartawan mengernyit. Ia tahu bahwa Devian menyukai mantunya itu. Akan tetapi, tak tahu kalau sulungnya itu sering berduaan dengan istri dari si bungsu.
"Ngaco!"
Nyonya Hartawan memutar matanya sebal.
"Kamu pasti enggak percaya sama aku, Har!"
"Sudahlah!"
Hartawan yang merasakan kegelisahannya makin menjadi, memilih untuk meninggalkan sang istri untuk menenangkan diri.
Pria tua itu tak ingin ikut-ikutan menyalahkan Devian atas apa yang terjadi.