Devian mengendarai mobilnya demi melarikan diri dari kegerahan rumah yang baru saja dirasakannya. Devian yang biasanya begitu akrab di rumah, kini jadi merasa terasingkan. Bahkan, ibu tirinya saja tak bersikap semanis biasa.
Pria itu merasa hidupnya kini teramat suram.
Jalanan ramai yang tadi dilaluinya tak lagi ada. Kini, rodanya menggelinding di aspal sepi. Lampu jalan pun hanya satu dua yang menyala.
"Mungkin gue harus menepi," gumam Devian.
"Selamat malam, Den," sapa seorang pria.
"Selamat malam, Pak," jawab Devian ramah.
Mobil berlogo banteng itu masuk, saat pintu pagar sebuah vila dibuka lebar untuknya.
Mobil itu parkir tepat di sisi vila yang sepi.
"Den Devian kenapa enggak ngabarin dulu?"
"Saya enggak ada rencana ke sini, Pak sebenarnya."
"Kemarin saya nonton berita di TV itu dan kaget setengah mati. Turut sedih dan berduka saya, Den. Semoga Aden dan keluarga diberikan kesabaran."
Devian tertegun mendengar ocehan penjaga vilanya itu. Ia sebenarnya ke sana untuk menenangkan diri. Ia tak menyangka jika pria penjaga vila itu justru menyinggungnya. Mau tak mau ingatan Devian kembali.
Pria itu teringat nasib tragis Jovanka dan kedua anaknya. Tiga orang yang sangat Devian sayang. Wanita manja yang harusnya tak dimiliki oleh pria bodoh.
Jovanka jatuh ke tangan yang bahkan tak paham cara menjaga miliknya itu, Julian.
"Saya mau istirahat dulu, Pak," pamit Devian.
Penjaga vila yang bernama Pak Dadi itu pun mengangguk seraya mundur. Ia membiarkan Devian masuk ke vila. Pak Dadi menatap punggung tinggi si majikan dengan perasaan tak tentu. Si penjaga paham betul apa yang dirasa Devian.
Pak Dadi tahu sejarah masa lalu dua anak majikannya itu, Devian dan sang adik.
Diingatnya dengan jelas, saat itu, sang adik yang datang ke sisi gadis pujaan Devian.
Jovanka adalah gadis asli daerah situ yang setiap pagi mengantar s**u dari peternakan.
Gadis itu menawan hati Devian dan si adik.
"Selamat pagi, Pak Dadi," sapa si gadis ceria.
"Selamat pagi, Neng Geulis," jawab si penjaga.
Sebotol s**u murni diserahkan oleh si gadis.
Pak Dadi menerima s**u itu. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Akan tetapi, baru saja pria itu berbalik, satu tepukan di bahu menghentikannya.
Ternyata Devian yang saat itu masih remaja.
Remaja berusia 17 tahun itu terlihat berbinar-binar.
"Hai, Neng Geulis," sapa Devian agak malu-malu.
"Hai."
Tatapan dan senyum gadis itu sangat menarik.
"Terima kasih susunya, Neng!" seru si remaja.
"Sami-sami."
Pak Dadi hanya tersenyum jadi saksi bisu.
Kedua remaja berbeda jenis kelamin itu saling menyunggingkan senyuman manis.
Sejak pagi itu, Devian menjadi remaja bahagia.
Devian yang biasanya tak berolahraga di luar area vila, kini jadi rajin keluar joging.
"Si Neng Geulis belum datang, ya, Pak Dadi?"
Pak Dadi yang sedang menyapu pun menggeleng.
"Belum keliatan, Den," sahut penjaga itu.
"Ke mana, ya?" Devian menoleh kiri kanan demi menemukan gadis yang ia cari. Namun, nyatanya tetap tiada.
Nyawa Pak Dadi seperti ditarik balik dari lamunan masa lalu oleh sebuah suara.
"Selamat malam, Pak, pesanan makan atas nama Devian Aditama," ujar sang kurir.
"Benar ini rumah Pak Devian," jawab penjaga.
"Silakan."
"Sudah dibayar belum, Pak?" tanya Si Penjaga.
Baru saja kurir itu ingin menjawab, si anak majikan sudah keluar dari pintu pagar.
Pria itu mengangsurkan uang sebagai tip.
Devian menerima makanannya yang sudah ada di tangan Pak Dadi. Sebuah diberikan Devian kepada Pak Dadi. Si penjaga kembali ditinggal sendirian.
Sedangkan Devian segera masuk vila membawa bungkusan lainnya. Wajah pria itu terus menunduk. Hatinya tak kunjung membaik.
Devian membuka bungkus makanan itu.
"Aku kangen makan burger sama Jovi, astaga!"
Devian menggumam seraya menatap hamburger.
"Aku pengen tahu rasa hamburger itu, Dev!"
"Kamu tunggu di sini sebentar!" seru Devian.
"Kamu mau ke mana?" tanya Jovanka takut.
Devian hanya menggeleng mengingat itu.
Lalu, dengan mata berkaca-kaca dan bibir bergetar, Devian mencaplok itu hamburger.
"Makasih hamburgernya, Dev, kapan-kapan beliin lagi, ya!" cerocos si gadis tersenyum.
"Selama kamu suka, aku bakal beliin terus."
"Janji?"
"Iya."
Devian kembali mencaplok burger itu rakus.
Namun, Devian tetap tak bisa untuk diam.
"Memangnya kalau mama kamu tahu tentang ini enggak apa-apa?" tanya si gadis.
Devian hanya menggeleng. Ia tak tahu pasti apa yang dimaksud Jovanka. Ia hanya tahu bahwa sang mama pasti tak akan marah hanya karena hal itu.
"Mamaku itu baik banget, kok," jawab Devian.
"Masa?"
"Kapan-kapan aku kenalin kalian, ya, Jov!"
Devian mencaplok sisa hamburger itu pelan.
Hatinya benar-benar larut dalam asa masa lalu yang terkoyak. Tercabik di penghujung rajutan. Terampas penuh oleh tangan mungil sang adik.
"Maafin aku, Dev... enggak bisa terima kamu."
Andai Devian boleh bertanya, apa itu hal yang membuat Jovanka menolak cintanya?
Jika saja Devian boleh menawar, pasti dilakukannya.
"Kenapa?"
Nyatanya hanya itu yang keluar dari bibir.
Mata Devian menatap sendu gadis di depannya.
Jovanka tak berani menatap balik ke Devian.
"Yang jelas ada cowok lain yang lebih segalanya."
"Siapa?"
Jovanka tak sanggup menjawab. Satu hal yang ia takutkan terjadi. Jovanka takut melihat kekecewaan di mata itu.
Gadis itu hanya mampu menitikan air mata.
Langkah gadis itu menjauh bersama gerimis.
Gerimis yang akhirnya menjadi satu momen paling dibenci Devian. Sebab, gerimis identik dengan perpisahan. Ia tak suka.
Devian sedang meratapi gerimis hati kecilnya.
"Di sini ternyata lo!" seru satu suara kencang.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Devian tak suka.
"Nyusul abang gue yang pengecut lah, apalagi?"
Julian membanting p****t ke sofa itu keras-keras.
Devian menggeser p****t, berharap tak bersenggolan dengan Julian. Pria itu sedang tak ingin mengadu apa pun malam ini, apalagi dengan adiknya. Ia hanya sedang ingin sendiri, menepis kegundahan di hati.
Devian merapikan bungkus burger itu buru-buru.
"Gue lagi enggak pengen ribut," kata Devian.
"Gue juga kagak ngajak ribut elah, Si Kampret!"
Julian menggerutu karena merasa tak diterima.
Padahal ia tak ingin ribut sama sekali
sebenarnya.
Julian hanya tak suka melihat kedua orang tuanya bersitegang seperti tadi itu.
Namun, ternyata kedatangan Julian di sana benar-benar tak diharapkan. Ia bahkan mendengar jelas betapa keras Devian membanting pintu kamar. Hal itu sudah menjadi pertanda kakaknya benar-benar tak ingin diganggu.
"Den Julian sudah makan?" tanya Pak Dadi.
Julian menoleh ke arah pintu samping tempat suara berasal. Terlihat pria itu membawa bungkusan kertas warna cokelat yang Julian tebak isinya tidak lain adalah hamburger. Perutnya tak menginginkan makanan itu.
Makanan yang selalu membuat ia tak nyaman.
Hamburger adalah makanan yang tak ingin ia makan lagi seumur hidupnya itu.
"Saya udah makan, Pak," jawab Julian ramah.
Lapar atau tidak, makan atau belum, Julian tetap tak akan memakannya. Ia sudah benar-benar berjanji. Baginya, lebih baik lapar daripada harus mati cemburu.
Hamburger identik dengan Jovanka, istrinya.
"Aku kalau makan hamburger inget Si Devian."
Kalimat itu terus terngiang di telinga Julian.
"Kalau gitu, saya makan aja," kata Pak Dadi.
Julian tentu saja mengangguk sangat setuju.
"Saya mau istirahat dulu, Pak," pamit Julian.
Julian bangkit dan menuju kamar lain yang letaknya di bagian depan. Di situ dulu adalah kamar masa kecilnya. Si Julian kecil yang selalu senang tidur dalam keadaan tirai jendela terbuka.
Julian kecil senang menatap bintang malam.
Bagi Julian, malam adalah waktu terbaik.