Bab 5.1: Sakau

427 Kata
"Selamat pagi, Den!" seru Pak Dadi tak kencang. Devian yang baru saja keluar kamar, langsung menoleh ke arah suara. Satu mangkuk mi instan dengan telur ada di tangan Pak Dadi. Senyum pria itu berbeda. Devian menyambut hal itu semringah dan penuh syukur. Rasanya sudah tak terhitung waktu yang dilalui tanpa si makanan sejuta umat, mi instan. Rasa lain pun ikut muncul. Rasa rindu nan menyesakkan jiwa. Senyum Jovanka kembali muncul dari awang-awang. "Repot-repot banget, Pak Dadi," jawab Devian. "Saya cuma pengen Den Devian betah tinggal." "Terima kasih banyak, Pak, sudah jadi repot." Pak Dadi hanya tersenyum. Satu hal lagi yang dilakukan pria tua itu untuk menunjukkan betapa ia peduli adalah dengan menawarkan Devian joging di jalanan depan vila. Hal yang sudah ia yakin tak akan pernah Devian tolak. "Setelah siap, langsung ke depan saja, Den!" "Siap!" Devian membawa mangkuk beruap yang ia yakin rasanya nikmat itu. Ia sempat teringat Julian, tetapi tak lama otaknya sudah bisa diajak untuk tidak memikirkan sang adik. Rasa kesal dan sakit hatinya masih bercokol di dalam sana. Sayangnya niat baik Devian untuk tak menggubris Julian sepertinya mentah saja. "Mana mi instan gue?" tanya Julian di sana. "Siapa yang bikinin lo?" tanya Devian balik. "Kenapa lo terus menghindar dari gue gitu?" "Gue lagi enggak berselera buat bikin lo babak belur, jadi tolong minggirlah, Lian!" "Gue juga lagi enggak berselera lihat bokap nyokap berantem gegara lo ini, Dev!" "Kenapa jadi gegara gue?" bela Devian semangat. "Lo tahu sendiri kalau bokap gimana, kan?" "Gimana?" Julian memutar bola mata lelah. Ia itu paham sebenarnya Devian mengerti apa yang dimaksudnya. Devian hanya sedang berusaha memprovokasinya. "Udahlah!" Julian menyerah. Ia akhirnya memilih pergi ke luar vila, menyisakan suara pintu yang terbanting dengan keras. Devian menyeringai. Devian merasa menang. Ia memang si ahli memanipulasi perasaan Julian. Si adik memang segampang itu kalah. Si adik malang yang sayangnya selalu di sampingnya. "Kalau bukan karena bokap, lo pasti kalah!" "Den Devian, kok, mi masih utuh gitu, sih?" "Biasalah Si Kupret bikin saya hilang selera!" Devian segera mencicipi mi yang tak lagi banyak beruap itu. Matanya tiada bisa dibuka. Ia seolah lengket. Rasa di hati Devian seperti sedang memasuki masa lalu. Rasa familier yang selalu ia rindukan dalam hati kecilnya. "Jangan terlalu hanyut, Den!" seru Si Penjaga. Suara itu seolah-olah menarik paksa Devian. "Pak Dadi tahu aja," jawab Devian tak malu. Kehilangan Jovanka memang seperti sakau. Setidaknya itu yang sedang dirasakan Devian. "Habiskan cepat, lalu mari kita joging, Den!" "Siap!" Devian menyeruput kuahnya, lalu ia menyendok mi dengan terburu-buru sekali. Devian hanya tak ingin kenangannya kembali. "Jangan buru-buru begitu juga, atuh, Den!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN