Devian keluar dari pintu depan dan ia tidak menemukan mobil milik Julian. Ia lalu segera mendekati Pak Dadi, tak lain ingin menanyakan di mana mobil Julian berada. Pria tua itu mengulas senyum demi menyambut Devian.
"Mobil Lian di mana, Pak, kok enggak kelihatan?"
"Semalam di garasi, Den," jawab Pak Dadi.
"Ke mana dia sekarang?" gumam sang kakak.
"Mungkin Den Julian sudah pulang itu tadi."
Devian mengangguk-angguk setuju. Ia juga memiliki pemikiran serupa. Adik tiri itu pasti sebal terhadapnya lantas memilih untuk pulang.
"Biarin lah kalau di pulang, bagus itu malah!"
"Jadi kita mulai joging sekarang, Den Devian?"
Devian mengangguk setuju. Sang pria muda itu pun mengencangkan ikatan tali sepatu ketsnya. Berharap agar tak terlepas saat ia nanti joging.
Udara pagi itu terasa sangat dingin di kulit Devian yang terbiasa di Jakarta. Bulu kuduk pria itu berdiri. Kulitnya pun tampak berbintik-bintik.
Mereka berdua mulai menapaki jalan di depan vila yang sedikit berkerikil. Keduanya tampak sambil mengobrol. Membahas hal-hal ringan.
"Juragan Hartawan sehat-sehat, kan, Den?"
"Sehat."
Devian mendapatkan pertanyaan itu mendadak teringat sang ayah. Tanpa diberi aba-aba, rasa bersalah tiba-tiba menyelinap dalam hati. Ia merasa tak dewasa.
"Nanti siang saya balik ke Jakarta, ya, Pak."
Pak Dadi yang napasnya terdengar di telinga Devian, seketika menoleh. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba melanda. Ia merasa salah menanyakan keadaan majikannya.
"Maaf atuh, Den kayaknya saya salah nanya."
Devian hanya menggeleng. Ia makin mempercepat larinya sehingga si pria tua di sampingnya jadi tertinggal jauh di belakang. Apalagi ini jalanan agak menanjak.
"Ayo kejar saya, Pak!" teriak Devian di depan.
Baru saja ia menantang Pak Dadi tiba-tiba matanya menangkap sesuatu. Di depan sana, jarak puluhan meter ada sebuah mobil yang sepertinya dikenal Devian dengan sangat baik. Mobil itu seperti milik Julian.
"Kenapa berhenti, Den?" tanya Si Pria tua.
Napas pria tua itu terengah-engah. Ia baru saja berhasil menyusul Devian dari jarak puluhan meter. Akibatnya ia merasakan napas yang agak sesak.
***
"Lian!"
Devian menarik Julian yang hampir terjatuh.
Pria itu tak menyangka sang adik bisa nekat.
Andai saja Devian terlambat melihat sang adik, mungkin semua tidak akan sama.
Mungkin saja Julian kini sudah ada di dasar jurang. Mungkin saja, keluarga tak ada yang tahu. Mungkin saja tak ada lagi sosok adik satu-satunya itu.
Julian berhasil ditarik oleh Devian. Ia terkapar berdekatan dengan Devian. Matanya terpejam. Mulutnya sedikit meracau yang entah apa.
Devian menoleh ke samping. Menatap sang adik yang keadaannya membuat hati ngilu. Apalagi aroma alkohol ada di tubuh itu.
"Semua gara-gara lo, Devian!" teriak si adik.
Dalam ketermenungan yang singkat, Devian justru seperti dibenturkan ke tebing.
Rasanya begitu sedih saat semua ikut menuduhnya.
Di mana letak salahnya? Apa karena ia mencintai Jovanka? Bukankah tak ada yang salah dengan cinta? Lalu ini kenapa semua menyalahkannya atas kematian Jovanka dan kedua anaknya yang masih belia?
Perlahan-lahan Devian bangkit, ia tak ingin berlama-lama berada di posisi itu.
Pak Dadi yang tadi hanya mematung, kini sigap membantu Devian. Tangan Pak Dadi terulur ke depan Devian. Ia berusaha untuk kuat menahan tubuh Devian.
"Terima kasih, Pak!" ujar Devian agak tersengal.
"Sama-sama."
Setelah menolong Devian, pria tua itu beranjak ke Julian. Ia mencoba untuk memapah adik Devian itu sekuatnya. Meskipun kecil, ternyata tubuh Julian berat.
"Tolong bawa dia ke vila, Pak!" teriak Devian.
"Siap!"
Dengan susah payah, si penjaga vila yang sudah puluhan tahun bekerja di keluarga Pak Hartawan itu memapah si bungsu ke mobilnya.
Sementara Devian sudah lebih dahulu kembali.
"Devian itu emang b******k, kan, Pak Dadi?"
"Den Devian itu sayang banget sama Aden."
Julian tertawa sumbang. Ia merasa iri mendengar kalimat bernada memuji yang dilontarkan Pak Dadi. Ia merasa buruk di mata orang lain.
"Jadi menurut Pak Dadi, saya enggak begitu?"
Baru tadi ia salah bertanya ke Devian, kini ia pun melakukan hal sama lagi. Parahnya yang diajak bicara adalah si adik yang memang agak sensitif. Pak Dadi jadi merasa salah berlipat ganda.
"Den Julian juga sama," jawab si pria tua.
Julian berhasil didudukkan di jok kiri depan.
"Devian itu yang bikin Jovi meninggal konyol kayak gitu, Pak!" teriak Julian kesal.
"Ini maaf, Den, tapi sebaiknya jangan begitu!"
"Jangan begitu gimana?" tanya Julian pelan.
Pak Dadi mulai menyalakan mesin. Ia fokus ke jalanan berkerikil. Mencoba untuk tak terlalu menanggapi Julian.
Tak lama kemudian, Julian bersandar lemah.
Mata pria muda itu agak tertutup. Ia tampak begitu kumal dan lelah. Sang penjaga vila yang kini menjadi sopir itu menjadi iba.
"Banyak-banyak istirahat, Den, jangan begini!"
Tak bisa ditahan lagi, kalimat itu pun meluncur.
Pak Dadi paham apa yang sedang pria di sampingnya itu alami. Kehilangan orang-orang terdekat dalam hidup tak seringan kala kita putus cinta. Apalagi cara meninggalnya begitu tragis. Pak Dadi sampai merinding memikirkan itu.
Tak terasa bangunan vila yang tidak begitu mewah itu pun sudah tampak. Terlihat Devian menunggu di depan. Tampak tidak ada kekhawatiran.
Devian bahkan diam saja, saat Julian dipapah Pak Dadi masuk ke vila. Raut datar tetap ditampilkan oleh Devian. Melihat itu tentu saja Pak Dadi tidak berkomentar.
"Habis ini saya langsung siap-siap ke Jakarta."
"Tenang saja, Den Julian aman di sini, kok!"
"Terima kasih banyak kalau gitu, Pak Dadi!"
Devian segera meninggalkan Julian. Si adik pasti akan aman. Lagipula ia tak ingin berlama-lama di sana. Baginya sudah cukup pelarian yang dilakukan semalam.
Usia 45 tahun harusnya Devian lebih bijak.
Devian malu dengan umur. Malu tak bisa mengendalikan emosi. Apalagi ia kabur.
"Mau kabur ke mana, lo, Dev!" teriak Julian.
Devian dan Pak Dadi menoleh ke arah Julian.
"Udeh jangan banyak bacot, lo!" balas Devian.
Pak Dadi merasakan aura dingin dari Devian.
"Den Devian katanya mau siap-siap ke Jakarta?"
Pak Dadi sebisa mungkin membujuk Devian.
"Mabok aja terus sampai nyusul bini lo!"
Sekali lagi, Pak Dadi membujuk agar Devian segera meninggalkan ruangan itu.
"Kenapa kagak lo aja yang mati?" seru Julian.
"Anjing!"
Devian hampir saja menghajar Julian, andai Pak Dadi tak sigap menariknya menjauh.
Dengan susah payah, tubuh besar itu diseret.
"Den Devian jangan mudah dipancing begini!"