Sebulan sesudah kejadian di vila, adik kakak itu tidak lagi saling menyapa. Si adik tak sudi melihat kakaknya. Tatap muka jika kebetulan bertemu pun tak pernah.
Intinya kedua laki-laki itu mulai adu ketidakacuhan.
Julian juga sudah kembali ke rutinitas sehari-hari.
Devian pun sama sibuknya mengurus perusahaan.
Kedua orang tua mereka berkali-kali mencoba mempertemukan anak-anak itu.
Sayangnya usaha kedua orang tua itu tak membuahkan hasil. Devian hanya melengos apabila tak sengaja ketemu Julian di mana pun tempatnya, tidak terkecuali di rumah. Julian pun sama.
"Devian sama Julian sebenarnya ada apa?"
"Kamu tahu sendiri lah pasti masalah mereka."
"Masalah Jovi?" tanya sang nyonya itu serius.
"Emangnya ada yang lebih buruk dari itu?"
Nyonya Hartawan menghela napas. Si nyonya pun memejam hingga kerutan di sekitar mata tua itu tampak jelas. Si nyonya pelan-pelan merasa bersalah.
"Nanti biar aku ke rumah Julian, deh, Har."
"Mau ngapain kamu?" tanya suami si nyonya.
Nyonya Hartawan membuka matanya perlahan-lahan.
Mata tuanya menatap sang suami tak paham.
"Menurut kamu apa hal ini sebaiknya dibiarkan?"
Hartawan tentu saja tidak setuju. Dua anak yang selama ini biasa berbagi di segala situasi, kini harus berseteru. Di sisi lain, Hartawan paham situasinya.
Mata Nyonya Hartawan masih terus menatap sang suami. Mencoba untuk menunggu jawaban lelaki tua itu. Apa ia akan mendengar sebuah larangan?
"Aku ikut kamu," jawab Hartawan tak bertenaga.
Nyonya Hartawan hanya manggut di depannya.
"Kalau mungkin aku mau nginep, Har semalam."
"Aku ikut kamu aja," sahut Hartawan lagi.
Tangan Nyonya Hartawan terulur ke suaminya.
"Kamu yang sabar, ya, Har!" kata sang nyonya.
Hartawan menyambut uluran tangan istrinya.
"Kamu juga harus lebih sabar!" balas Hartawan.
"Aku kurang sabar gimana, Har?" lirih Nyonya.
"Kamu memang tiada duanya," kata Si Tuan.
Mau tak mau, pipi Nyonya Hartawan memerah.
"Kamu dari dulu jago ngerayu," kata Nyonya.
Hartawan hanya tertawa garing. Tak ingin membantah hal yang memang jelas adanya. Kemampuan merayu Si Tuan nyatanya menurun ke anak.
Sebutlah Julian yang begitu pandai di bidang rayu merayu. Dari urusan hati wanita sampai para rekan kerja. Dari anak-anak hingga lansia.
"Kalau aku enggak jago, emang kamu mau?"
"Entah."
Nyonya Hartawan bangkit dan pergi menjauh.
Hartawan di tengah gundah hatinya hanya bisa memandangi sang istri. Ia berharap semua akan baik-baik saja setelah mereka ke rumah Julian. Biar bagaimana pun, amarah kedua anak itu harus segera diredam.
Jam sudah menunjukkan pukul 14:30 WIB.
"Udah siap belum?" tanya Hartawan kencang.
Tak ada sahutan. Hartawan curiga. Ia segera mengintip ke kamar. Alangkah terkejut pria tua itu mendapati si istri tergeletak di lantai.
"Napasku se-sesak, Har," lirih Nyonya Hartawan.
"Tahan dulu, aku cari bantuan!" kata Hartawan.
Hartawan memanggil ambulans dan tak lupa mengabarkan kondisi si istri kepada kedua anaknya. Mereka tentu sangat kaget mendengar laporan sang ayah di siang bolong begitu. Tanpa ini itu dan begini begitu, mereka segera meluncur.
Ada kecemasan yang sama besar. Ada kekhawatiran yang sama kuat. Kedua anak yang usianya sudah sama-sama kepala empat itu begitu menyayangi ibunya.
"Gimana keadaan Mama, Pa?" tanya Devian.
"Masih dikasih pertolongan pertama, Dev."
Detik selanjutnya, Julian juga datang ke rumah sakit. Tangannya membawa plastik berisi makan siang. Ia yakin si ayah belum makan.
Melihat Devian yang sudah lebih dulu ada di sisi sang ayah, Julian jadi agak sebal.
"Makan dulu, Pa!" ujar Julian datar di telinga.
"Papa enggak lapar, Lian," jawab sang ayah.
Baru saja Julian ingin menarik tangan yang tadi terulur ke arah sang ayah, si kakak ternyata merebut plastik itu. Ia kaget bukan main. Berusaha merebut.
"Gue kagak bawain lo!" bentak Julian kencang.
Devian tak peduli karena ia langsung pergi.
"Ini rumah sakit, Lian, jangan keras-keras!"
Julian mengabaikan perkataan si pria tua.
Langkahnya menyusul Devian. Enak saja ia merebut makanan yang bukan diperuntukkan baginya. Apalagi saat ini mereka sedang perang dingin.
"Berhenti lo, Dev!" teriak Julian tidak acuh.
"Kejar sini kalau lo bisa jangan cuma teriak!"
Devian sengaja mempercepat langkah bertujuan agar Julian juga sama. Pria itu menuju ke arah basemen yang tak begitu ramai. Ia ingin ngobrol dengan Julian.
Julian benar-benar terpancing untuk melakukannya.
Sesampainya di basemen, Devian dan Julian saling berpandangan. Jarak tak lebih dari 10 meter. Keduanya seperti dua anak kecil yang dalam mode tak bersahabat.
Keduanya sama-sama menatap penuh benci.
Namun, di menit yang ke-5 Devian tak lagi memperpanjang durasi adu tatap itu.
Langkahnya mendekati sang adik. Ia melepaskan tatapan penuh kebencian dari mata. Berganti dengan tatapan si kakak yang rindu adiknya.
"Kagak usah main-main, Dev!" ujar si adik.
Devian menghentikan langkah tepat di depan sang adik. Ada tatapan aneh Devian yang membuat Julian bingung untuk mengartikannya. Beberapa saat mereka masih saling diam. Devian tak jua bersuara.
"Apa lo enggak kasihan sama bonyok, hah?"
Julian membuang pandangan. Tidak ingin menggubris kalimat tanya yang dilontarkan sang kakak. Baginya jalan satu-satunya untuk membalas semua yang sudah dilakukan Devian adalah dengan cara begini.
"Bukan berarti nyokap sakit begini itu karena gue! Gue yakin nyokap cuma lagi nyesel karena sangat menyayangi lo sampai setua ini. Kasihan."
"Anjing!"
Devian tak bisa menahan diri. Sebuah tonjokan bersarang di pelipis si adik dengan sangat keras. Devian juga tak lagi sadar di mana mereka berada.
Dengan penuh amarah, Devian terus menonjok.
Julian berdarah-darah. Seseorang tak sengaja melihat perkelahian itu. Tak menunggu lama, ia melerai keduanya.
Julian kesakitan. Orang itu membawa Julian menjauh dari Devian seraya ia menanyakan apa yang terjadi. Julian tak ingin menjawab dengan segera.
"Saya enggak bisa jawab sekarang ini si maaf."
"Kalau gitu, mari kita ke dokter buat diobati!"
"Terima kasih banyak, biar nanti aja, Pak."
"Jangan begitu, Mas, ini bahaya kalau dibiarin."
"Bapak enggak usah khawatir," ujar si Julian.
"Okelah kalau begitu, Mas, tapi kalau butuh bantuan, saya bakal bantu. Mas telepon aja. Ini kartu nama saya, Mas, tolong diterima!"
Lelaki yang usianya sekitar 50-an itu pergi.
Julian mengamati kartu nama orang itu.
Tertera namanya Sakti Aditama. Pria muda itu terhenyak. Nama belakang pria penolongnya sama dengan Papa, sama-sama Aditama.
"Ada hubungan apa pria itu dan Papa, ya?"
Julian masih meringis kesakitan, saat Devian kembali mendekat. Seringai si kakak yang tersungging di wajahnya membuat Julian bersiaga kalau-kalau ia bakal diserang lagi. Perlahan-lahan Julian bangkit.
Keduanya kembali berpandangan tak bersahabat.
"Gue tadinya pengen ngobrol-ngobrol aja—"
"Lantas?"
Julian masih memegangi wajahnya. Ia merasakan denyut kesakitan yang tak lagi santai. Darah pun merembes kian banyak dan mulai menderas.
Tetes-tetes darah dari wajah Julian itu jatuh ke lantai semen berdebu. Baju si pria 42 tahun itu pun sudah tidak lagi enak dipandang. Malah mungkin bisa membuat orang pingsan saking ngeri.
"Mulut lo sekali-kali butuh dirobek itu memang."
Julian mengusap darah di pelipis yang hampir mengalir ke arah mata. Takut kalau-kalau darah itu bakal masuk ke mata dan membuatnya makin kacau di mata orang-orang yang melihatnya. Gusi Julian pun rupanya pecah.
"Cih!"
Julian berseru setelah meludah tepat di depan Devian. Ludah yang sudah si adik keluarkan itu mendarat tepat di depan kaki sang kakak. Devian hanya melengos.
Untuk yang kesekian kalinya mereka hening.