Setahun sebelum peristiwa berdarah itu.
"Halo!"
Jovanka—yang sedang menulis untuk blog—mendengarkan suara asing dari seberang.
"Selamat sore, dengan orang tua dari Javier?"
Jovanka tercekat, wanita itu memiliki firasat buruk tentang si sulung. Hati si ibu beranak dua itu seperti diremas di detik yang sama, saat kalimat lainnya menelusup telinga. Bibir Jovanka tak bisa berkata-kata.
"Jev....!"
Orang di seberang sudah tak didengar lagi.
"Bu...?"
Orang di seberang sana memanggil si wanita.
"Aku harus kasih tahu Julian," gumam Jovanka.
"Ya?"
"Javier masuk rumah sakit," ujar sang istri.
Julian di seberang sana terkejut. Pria itu sampai spontan berdiri dari duduk langsung bertolak pinggang. Wajah si ayah dari Javier Abinawa pun pasi.
***
"Gimana keadaan Javier, Jov?" tanya Julian.
"Dokter bilang Jev butuh darah cepat, Lian."
Julian menepuk jidatnya. Bertambah pusing mendengar kabar terbaru ini. Ia tak menyangka sang anak terpaksa harus merasakan kesakitan.
Julian duduk di samping Jovanka. Tak ingin berlarut-larut terkejut. Jadilah si pria yang masih mengenakan setelan kantor itu pun memutuskan untuk ia menemui dokter guna mengonfirmasi keadaan sang anak.
Julian bertemu dengan si dokter yang dicarinya.
Sang dokter pun menerangkan bahwa Javier butuh darah secepatnya supaya bisa dilakukan transfusi. Sebab darah Javier banyak keluar akibat luka-luka yang dialaminya terbilang parah. Jika mereka terlambat, maka Javier akan kehabisan darah. Hal itu tentu sangat berbahaya bagi nyawa sang anak.
"Persediaan darah A+ sedang kosong, Pak."
"A+?"
Julian tertegun. Merasa janggal. Hati si pria mendadak merasa sakit tanpa kejelasan.
"Ananda Javier Abinawa bergolongan A+."
"Ka-kalau begitu biar saya cari donor segera."
"Baik."
Sang dokter meninggalkan Julian. Tak ada gerakan apa pun yang dilakukan Julian beberapa saat setelah ditinggal dokter tadi. Ia seperti orang linglung.
Baru setelah sekitar 3 menit ke depan, Julian tersadar. Ia segera menemui si istri di ruang tunggu. Menatap wanita itu dalam keraguan yang besar.