9. Demam

1124 Kata
Zegan mengangkat tubuh Lova dan merebahkannya ke atas ranjang. Ia sudah bisa menebak apa yang akan Lova lakukan sebelumnya. Namun, ia tetap menolong wanita itu yang jatuh pingsan sebelum melaksanakan niat menghabisinya. Zegan masih berdiri di sisi ranjang sambil mengamati Lova. Wanita itu tidak terlalu buruk tapi, juga belum bisa disebut cantik. Akan tetapi, semakin lama diperhatikan, wajah Lova sama sekali tak membosankan. Ia justru seperti tersedot ingin terus memandang wajahnya. Dengan bentuk wajah oval, bibir sedikit tebal, hidung kecil dan jidat mulus yang sedikit lebar, wanita itu memiliki kesempurnaan bentuk wajah yang wanita idam-idamkan. Tiba-tiba Zegan membungkuk mendekatkan wajahnya dengan wajah Lova. Diamatinya bulu mata Lova yang tampak lentik dan bulu mata itu asli, bukan ekstension. Alisnya juga asli, bukan hasil sulam. Zegan menegakkan punggungnya kembali dan terus memperhatikan wajah Lova. Ingatan saat Lova menatapnya pun terbesit dalam kepala. Matanya tampak jernih dan meneduhkan. Namun, di lain waktu juga bisa tampak tajam saat melotot padanya. Entah sadar atau tidak, tangan Zegan terulur membelai rambut Lova. Rambut berwarna dark brown sepunggung tampak begitu halus dan berkilau. Apa Lova sering merawat rambutnya ke salon? Tapi, Zegan merasa itu tidak mungkin. Ia menilai Lova bukan wanita yang senang menghabiskan waktunya hanya untuk perawatan. Tiba-tiba Zegan tersadar akan sesuatu. Ia merasa telah menyiakan waktunya selama beberapa menit hanya untuk mengamati wajah Lova. Merasa menyesal, ia segera membalikkan badan dan mengambil langkah setelah sebelumnya menempelkan punggung tangannya di jidat Lova. Keesokan harinya, Lova membuka mata perlahan dan merasakan matanya berkunang-kunang. Sambil berusaha meraih kesadaran, ia bangun menegakkan punggungnya dan duduk. Lova mendesis dan berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Namun, belum sempat mengingat semuanya, pikirannya buyar mendengar derap langkah Zegan yang memasuki kamar. Zegan meletakkan satu kaplet obat dan segelas air putih ke atas nakas di sisi ranjang. Sontak, apa yang dilakukannya itu membuat Lova terkejut sekaligus terheran-heran. Lova menatap Zegan cukup lama, ia tengah berpikir, apakah tengah bermimpi? Namun, saat melihat Zegan mengambil satu tablet obat dan diberikannya padanya, ia yakin ini bukan mimpi. “Jangan menatapku seperti orang bodoh. Minum!” titah Zegan. Ia cukup kesal melihat Lova terus menatapnya dengan wajah bodoh. Lova menatap sebutir obat di tangan Zegan dan bertanya, “Apa ini?” Rahang Zegan mengeras. “Apa kau buta?” Alis Lova berkerut saat kembali menatap Zegan. “Ini racun, dan kau mau meracuniku?” Kesabaran Zegan mulai habis. Ia meletakkan obat itu ke atas nakas dengan kasar kemudian membalikkan badan dan melangkah keluar kamar. Lova menatap punggung Zegan dengan pandangan tak terbaca sampai tiba-tiba merasakan sesuatu di dahinya. “Eh? Plester demam?” batin Lova mengambil benda berbentuk persegi panjang dengan gel biru dari jidatnya. Ia kemudian mengambil kaplet obat yang sebelumnya Zegan letakkan. Itu, adalah obat untuk demam. Lova memeras otaknya, berpikir apa yang sebenarnya terjadi sampai ia menyadari, ia demam dan Zegan memberinya obat. Lova terus berpikir, kenapa? Pria itu jahat, kenapa peduli padanya? Zegan melangkah ke dapur, menggunakan bahan dan barang di dapur seperti di rumahnya sendiri meski saat masih tinggal di rumahnya, ia tidak pernah melakukan itu. Tak lama kemudian, Zegan baru saja meletakkan hasil masakannya ke atas meja sampai ia menyadari Lova berdiri di sisi pintu dapur dan sesekali mengintip. Dan saat ia duduk, Lova menunjukkan diri keluar dari persembunyiannya. “Umh, kau … sedang masak?” tanya Lova sambil memainkan jari telunjuk di depan dadanya. Zegan hanya diam dan dengan tenang mulai menyantap omelette buatannya. Lova masih berdiri di sisi meja makan, sesekali menatap Zegan dan juga satu omelette di atas piring yang tersisa. Ia lapar. Namun, sikap canggung yang ia tunjukkan saat ini karena ingin mengucapkan terima kasih, bukan karena ingin meminta omelette itu. Lova memberanikan diri menarik kursi dan duduk. Duduk berhadapan dengan Zegan dibatasi meja makan. “Umh, begini. Apa kau … apa kau yang sudah menempel plester demam untukku?” tanya Lova dengan hati-hati. Zegan tak segera menjawab, tetap mengunyah hingga omelette dalam mulutnya halus lalu menelannya. “Bukan. Plester itu terbang sendiri dan menempel di jidatmu,” ucap Zegan setelah menelan makanannya. “Hee?” Lova terkejut. Tapi, ia tahu ucapan Zegan itu sama sekali tidak mungkin. “Aku sudah membuang gunting yang ingin kau gunakan membunuhku.” Jleb! Sebilah katana seolah menembus jantung Lova. “Bagaimana bisa dia tahu?” jerit Lova dalam hati. “Ingin menyerangku saat aku tidur? Benar-benar wanita yang licik.” Jleb! Lagi, Lova seakan tertusuk katana dari belakang menembus ke jantungnya. Keringat mulai bercucuran. Ia pun hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Zegan mengakhiri sarapannya dengan menghabiskan segelas air putih. Derit kursi pun terdengar saat ia bangkit dari duduknya lalu melangkah meninggalkan dapur. Lova masih diam dalam posisi. Tubuhnya masih berkeringat dingin. Sekarang ia semakin sadar, bahwa ia telah kalah telak. Ia tidak bisa melawan Zegan. Tak lama setelahnya, Lova telah bersiap berangkat bekerja. Meski kepalanya sesekali masih berkedut ngilu, ia tetap pergi tak ingin lagi absen kedua kali. Achu! Lova mengusap hidungnya yang mengeluarkan ingus saat ia bersin. Sepertinya ia terkena demam karena tidur di kamar mandi kemarin. Meski Zegan sudah menempel plester demam dan memberinya obat, tapi sepertinya ia masih butuh istirahat. “Ke mana dia?” batin Lova yang tak menemukan Zegan di manapun. “hah ….” Lova mengembuskan napas lelah nan panjang. Meski Zegan menghilang setelah menghabiskan sarapannya, ia tak berani merasa senang berpikir pria itu mungkin akan kembali lagi. Tak ingin mengulur waktu, Lova menyelempangkan tasnya di bahu lalu keluar rumah dan mengunci pintu. Lova berjalan ke mobilnya dan saat membuka pintu, begitu terkejut mendapati Zegan telah duduk di depan kemudi. Ia sampai terjingkat. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Lova sambil menepuk-nepuk dadanya. “Masuk.” Bukannya menjawab, Zegan menyuruh Lova masuk lewat pintu sebelah dan duduk di sebelahnya. Lova mendelik. Namun, pada akhirnya menuruti perintah Zegan. “Beri aku uang.” Baru saja duduk, Lova telah dibuat melotot dengan ucapan Zegan. “Apa? Uang? Untuk apa?” Lova seperti masih trauma Zegan telah menghabiskan uang tabungannya kemarin dan sekarang, pria itu kembali meminta uang? Zegan menoleh, menatap Lova dengan tatapan amat datar. “Beri aku uang, akan kuperbaiki mobilmu.” Lova menatap Zegan dengan mata masih melotot. “Aku tidak punya uang. Kau sudah menghabiskannya untuk beli AC dan ranjang kemarin, apa kau ingat?!” Lova memberanikan diri menolak. Sejak Zegan datang, ia sudah kehilangan banyak uang. Meski memang harus memperbaiki mobilnya, ia tak percaya pada Zegan. Bisa saja Zegan akan mengkorupsi uangnya. Zegan hanya diam tanpa mengalihkan pandangan dari Lova. Ia lalu mengatakan, “Lima juta seratus tiga puluh lima ribu rupiah.” Mata Lova kian melotot mendengar Zegan menyebut sisa saldo rekeningnya. “Ba- bagaimana kau tahu?!” Zegan diam tak menjawab, hanya melempar seringai tipis yang membuat Lova berdebar-debar. Bukan karena terpesona tapi, begitu takut Zegan bisa membobol tabungan dalam rekeningnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN