7. Lapor Polisi

1204 Kata
“Apa anda berusaha mempermainkan kami?” Lova terus menundukkan kepala saat mendapat wejangan dari polisi. Ia benar-benar pergi ke kantor polisi melaporkan keberadaan Zegan di rumahnya. Polisi pun datang ke rumah Lova untuk melakukan pemeriksaan sekaligus penangkapan. Akan tetapi, sesampainya di rumah Lova, tidak ada siapapun. “Ta- tapi … tapi aku serius, Pak.” Lova berusaha membela diri, menegaskan bahwa semua yang dikatakannya benar. “Tapi tidak ada siapapun di rumah ini. Tidak ada tanda-tanda pencurian atau perampokan,” ujar polisi itu. Sebelumnya ia dan beberapa anggota melakukan penggeledahan di rumah Lova dan sama sekali tak menemukan hal yang janggal. Tidak ditemukan tanda-tanda pencurian, Lova juga mengakui bahwa ia tidak kehilangan barang. Semua barang-barangnya berada di tempat biasa sama saat ia meninggalkan rumah. “Ta- tapi–” “Sudah cukup. Setelah ini jangan mencoba lagi mempermainkan institusi kepolisian,” potong anggota polisi itu kemudian menyuruh rekan-rekannya kembali ke kantor. “Tu- tunggu, Pak! Tunggu! Aku serius, Pak. Kumohon, percaya lah padaku. Dia benar-benar di sini semalam dan mengancam melakukan sesuatu yang buruk padaku.” Lova masih berusaha menahan polisi itu pergi. Andai saja ia punya cctv, mungkin digunakannya sebagai bukti. Sayangnya, tidak ada. Polisi-polisi itu tak menggubris Lova, segera masuk ke dalam mobil dan pergi. “Tunggu, Pak! Tunggu!” Lova terduduk bersimpuh di tanah dengan tangan terulur seolah hendak menggapai mobil polisi yang telah melaju. Ia menangis bombay menangisi nasibnya. Ia sudah absen masuk kantor dan sialnya, orang yang dilaporkan tiba-tiba menghilang dari rumahnya. “Huhuhu, kenapa kalian tak percaya padaku? Huhuhu.” Tiba-tiba tangisan bawang Lova terhenti saat ia menyadari sesuatu. “Eh, bukankah berarti dia sudah pergi?” gumam Lova kemudian bangkit berdiri. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumah dan kembali memastikan. Dan benar saja, Zegan benar-benar tidak ada di rumahnya. Sama seperti saat polisi memeriksa rumahnya sebelumnya, Zegan tidak ada di mana pun. Lova mengakhiri pencariannya di kolong tempat tidur dan tak menemukan apapun, ia bernapas lega. Tangan Lova menepuk pelan dadanya saat ia menarik embuskan napasnya. Dan tak lama kemudian, tawa lebarnya memenuhi kamar. “Hahaha! Akhirnya! Akhirnya dia pergi dari rumahku! Akhirnya dia pergi! Yeay!” Lova meluapkan rasa bahagianya dengan melompat kegirangan. Ia sampai tak menyadari bahwa Zegan telah berdiri di ambang pintu kamarnya dan menatapnya dengan tatapan tajam. “Ye ye, dia sudah pergi, ye ye!” Lova masih belum menyadari keberadaan Zegan yang berjalan ke arahnya tanpa menimbulkan suara. Rasa senang karena berpikir Zegan telah pergi membuatnya menari-nari seperti orang gila. Satu tangannya mencubit hidung dan satu tangannya terangkat tinggi, menari-nari dengan menggoyangkan tubuhnya ke atas dan ke bawah. Tap! Zegan menghentikan langkahnya, berdiri tepat di hadapan Lova yang masih menari kegirangan. Wanita itu memejamkan matanya membuatnya tak menyadari keberadaan Zegan. Tariannya baru terhenti saat ia membuka mata dan seketika matanya melebar sempurna. Ia terlonjak hingga terduduk kasar di ranjang. Wajah Lova memucat, jantungnya berdebar tak karuan. Kakinya yang sebelumnya menari-nari, kini gemetar hebat. Keringat dingin pun mulai timbul di pelipisnya. “Ka- kau … kau ….” Suara Lova seakan tercekat. Dirinya benar-benar terkejut kembali melihat Zegan. Ia kira Zegan benar-benar telah pergi dari rumahnya. Zegan membuka hoodienya membuat roti sobek yang menghiasi perutnya terlihat. “Sudah kukatakan, jika kau berani melawan, aku akan memperkosamu sampai kau tewas.” Keringat dingin kian membanjiri tubuh Lova. Dan mendengar apa yang Zegan ucapkan, ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk lari menyelamatkan diri. Sayangnya, rasa takut membuatnya seakan tak bisa bergerak. Lova berusaha sekuat tenaga menggerakkan tubuhnya. Ia membalikkan badan dan merangkak berniat turun dari ranjang. Akan tetapi, Zegan menahannya, mencengkram pergelangan kakinya lalu menyeretnya ke arahnya. “Ti- tidak! Lepaskan aku! To- tolong lepaskan aku!” Lova berusaha melepaskan diri, menarik kakinya dalam cengkram tangan Zegan dan satu kakinya yang lain terus menendang. “to- tolong! Tolong!” Lova berteriak meminta pertolongan saat usahanya melepaskan diri gagal. Ia harap ada keajaiban, polisi itu akan kembali dan menangkap Zegan. “To–” suara Lova terbungkam saat tangan besar Zegan membekap mulutnya. Zegan berhasil menarik Lova membuatnya berdiri dan saat wanita itu berteriak, segera dibungkamnya mulutnya dengan tangannya. Air mata terus mengalir deras, keringat membasahi tubuh Lova. Demi apapun, dirinya benar-benar takut Zegan melakukan ancamannya. Ia tidak mau ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan, dalam keadaan tanpa busana. “Aku sudah memeringatkanmu sebelumnya, Azzura Lovanya. Jadi, jangan salahkan aku jika hari ini adalah hari terakhirmu hidup.” Lova menggeleng keras berusaha melepaskan bekapan Zegan, berharap Zegan memberinya kesempatan bicara. Namun, seperti tiada ampun, Zegan mendorong Lova dengan kasar ke ranjang lalu menindihnya. Zegan mencengkram sebelah kerah kemeja Lova lalu dalam sekali tarik membuka seluruh kancing kemejanya, seluruh kancing terlepas. Alhasil, terpampanglah tubuh indah Lova yang sebelumnya tersembunyi di balik kemeja. Lova berteriak meminta pengampunan melihat Zegan tidak main-main dengan ucapannya. “Kumohon! Kumohon maafkan aku! Aku janji, aku janji tidak akan melaporkanmu ke polisi lagi, aku janji!” Teriakan Lova membuat kegiatan Zegan terhenti. Pria itu baru saja hendak menarik paksa bra yang menutupi kue mochi milik Lova. “Aku akan memberikan apapun yang kau mau, kau juga boleh tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Tapi kumohon, kumohon padamu, tolong … tolong maafkan dan lepaskan aku, kumohon ….” Lova memohon dengan lirih berharap Zegan mengasihinya dan mengurungkan niat menodainya. Jikapun ia dibunuh, ia ingin meninggal dalam keadaan yang baik. Ia tak ingin ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan. Zegan menatap Lova dalam diam selama beberapa saat hingga akhirnya, ia beranjak dari atas tubuh Lova. “Ini kesempatan terakhirmu. Jika kau berani macam-macam lagi denganku, tidak ada lagi kesempatan, aku akan membuatmu sengsara seumur hidup,” ucap Zegan dengan suara dingin sedingin raut wajahnya saat ini. Setelah mengatakan itu, Zegan membalikkan badan lalu berjalan menuju kamar mandi. Lova masih menangis terisak, menangisi nasibnya. Kenapa dirinya bisa begitu sial dipertemukan dengan Zegan? Setelah ini hidupnya pasti tidak akan baik-baik saja. Lova menutupi tubuhnya dengan kemejanya yang hampir koyak. Ia kemudian meringkuk tanpa bisa menahan air mata, tanpa bisa meredam tangisnya. Hingga tak terasa, tak lama kemudian ia pun jatuh terlelap. Tak terasa matahari telah di atas kepala, sudah saatnya jam makan siang. Dering ponsel Lova yang terus berbunyi mengganggu tidurnya membuatnya perlahan membuka mata. Lova berusaha membuka mata yang terasa berat karena sembab setelah menangis cukup lama. Ia berusaha meraih kesadaran lalu mencari ponselnya di dalam tas yang tergeletak di tepi ranjang. “Halo,” jawab Lova dengan suara sedikit serak setelah mengangkat panggilan. “Hei, ada apa denganmu? Kenapa absen?” Lova memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut. Pertanyaan rekannya dari seberang sana membuatnya teringat apa yang terjadi pagi tadi. “Aku … tidak enak badan. Besok aku akan bawa surat dokter.” “He–” Belum sempat mendengar apa yang rekannya ingin katakan, Lova lebih dulu menutup panggilan, mengakhiri panggilan sepihak lalu menjatuhkan tubuhnya membuatnya terlentang di ranjang. Lova menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan sedikit buram. Matanya masih sedikit pedas akibat menangis sebelumnya. “Kukira kau mati. Cepat bangun.” Lova tersentak mendengar bariton yang mulai familiar di telinga. Ia pun segera bangun menegakkan punggungnya dan menemukan Zegan berdiri di depannya, di depan ranjang dengan tangan bersedekap d**a dan pandangannya yang dingin tertuju lurus ke arahnya. Zegan hanya diam saat Lova telah bangun. Ia kemudian membalikkan badan dan mengambil langkah seraya memberi isyarat menuntun Lova mengikutinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN