Napas Lova terengah, kakinya gemetar. Dipandangnya pintu di hadapan dengan degup jantung yang menggila.
Gebrakan pintu terdengar. Zegan menggebrak pintu dari luar dan berteriak.
“Wanita sialan! Buka pintunya dan biarkan aku menghajarmu!”
Di luar, napas Zegan juga terengah. Ia menggebrak pintu kamar mandi meluapkan kekesalannya sambil menahan nyeri pada selangkangannya.
Nyeri pada selangkangannya? Ya. Dan semua itu disebabkan oleh Lova. Saat Zegan mendekap Lova dari belakang dan membisikkan kalimat ancaman, wanita itu mengangguk pasrah. Zegan sempat kecewa, ia pikir Lova akan memberontak dan melakukan perlawanan. Cukup terkejut dengan jawaban Lova itu membuat Zegan lengah. Di saat itu lah, seperti kecepatan cahaya, Lova membalikkan badannya lalu menendang selangkangannya kemudian berlari secepat kilat masuk ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam.
“Argh!”
Gebrakan terakhir Zegan pada pintu di depannya diakhiri dengan teriakan kemarahan. Sebenarnya, bisa saja ia mendobrak pintu kamar mandi itu lalu menyeret Lova keluar dan memberinya pelajaran. Akan tetapi, ada alasan yang membuatnya tak akan melakukannya.
“Sampai kapan kau akan bersembunyi?” geram Zegan disertai seringai bengis. Ia kemudian menyingkir dari depan pintu kamar mandi.
Sementara itu di dalam kamar mandi, Lova terus merapalkan doa berharap ia selamat kali ini dan seterusnya. Dan saat tak lagi mendengar Zegan menggebrak pintu, ia mulai bisa bernapas lega.
“Oh, ya Tuhan ….” desah Lova sambil menepuk jidat. Entah mendapat Ilham dari mana, ia yang merasa terdesak, tiba-tiba terpikir menyerang Zegan pada titik lemahnya.
Tiba-tiba tubuh Lova menegang saat menyadari sesuatu. Sekarang, bagaimana ia tidur? Ia berada di kamar mandi sekarang. Jika saja di luar, itu mungkin lebih baik. Ia bisa tidur di teras atau dalam mobil atau pergi ke kantor polisi dan melaporkan Zegan. Akan tetapi, ia berada dalam kamar mandi sekarang. Dalam kamar mandi!
Lova menepuk jidatnya dengan keras. Tak mungkin ia keluar, bukan? Zegan pasti akan melakukan sesuatu padanya.
Waktu terus berjalan hingga tak terasa malam semakin larut. Lova yang berada dalam keresahan, pada akhirnya tertidur dalam kamar mandi, terduduk di sudut kamar mandi dengan bersandar dinding.
Sementara itu di luar, Zegan tampak tidur dengan pulas di ranjang Lova. Ia seolah tak peduli pemilik ranjang itu tertidur dalam kamar mandi.
Keesokan harinya, Lova menggeliat dan mulai membuka mata. Ia pun terkejut saat kesadaran menerpa dan menyadari ia tidak berada dalam kamarnya melainkan di dalam kamar mandi.
“Ya Tuhan!” Lova seketika bangkit berdiri saat teringat apa yang terjadi semalam. Seketika rasa gelisah pun merasuki pikiran. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia harus pergi bekerja. Tapi, jika ia keluar, apa yang akan Zegan lakukan?
Brak!
Lova terjingkat hingga berteriak kaget saat pintu kamar mandi terbuka lebar. Zegan membuka pintu kamar mandi hanya dengan satu tendangan kaki.
Lova menutup mulut saat Zegan memasuki kamar mandi. Kakinya gemetar. Bukan hanya takut karena Zegan merusak pintu kamar mandinya tapi, takut Zegan melakukan sesuatu padanya. Namun, pria itu justru seperti mengabaikannya. Entah tak melihat, atau pura-pura tak melihat. Zegan bahkan dengan santai membuka tutup kloset lalu menurunkan celananya dan buang air kecil. Sontak, Lova segera menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan berteriak.
“Apa yang kau lakukan?!”
Zegan hanya diam dan melirik Lova di sudut kamar mandi dengan ekor mata. Tanpa rasa malu sedikitpun ia buang air kecil di depannya.
“s**t!” Zegan mengumpat saat melihat alat vitalnya sedikit bengkak dan pastilah dikarenakan tendangan Lova semalam. Membersihkan salah satu bagian tubuhnya itu dan kembali memakai celana, ia kemudian menoleh pada Lova yang masih menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Zegan mengambil langkah dan saat telah berdiri di hadapan Lova, ditariknya tangan yang menutupi wajahnya.
Lova berteriak, ia memejamkan mata rapat-rapat.
“Maaf! Tolong maafkan aku! Jangan lakukan apa-apa padaku! Kumohon maafkan aku!” jerit Lova yang tak berani membuka mata. Ia benar-benar takut Zegan melakukan sesuatu padanya.
Zegan menyentak tangan Lova membuat wanita itu meringis.
Lova merosot, berlutut di lantai dan meminta maaf sekali lagi mengabaikan tangannya yang perih.
“Aku minta maaf untuk semalam. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kumohon maafkan aku. Kau boleh tinggal di sini tapi biarkan aku hidup. Kumohon, kumohon.”
Kedua tangan Lova menyatu di depan wajahnya, memohon agar Zegan tak menghabisinya. Ia tidak mau mati dalam keadaan memiliki hutang, tak mau ditagih cicilan saat di akhirat. Ia juga ingin merasakan memiliki keluarga, ingin menikah dan dibahagiakan lelaki yang mencintainya.
Zegan menatap Lova dalam diam dengan tangan terkepal. Gemeretak giginya terdengar.
“Jika kau berani lagi melawan, aku tak akan segan memperkosamu sampai kau tewas.”
Tubuh Lova menegang. Mata yang sebelumnya terpejam seketika terbuka lebar. Apa yang Zegan katakan berhasil menembus ke dalam otak dan menciptakan khayalan yang amat mengerikan.
Melihat Lova terpukul dengan ucapannya. Zegan membalikkan badan dan melangkah keluar dari kamar mandi.
Sementara itu, Lova masih mematung. Ia baru terkesiap saat mendengar bunyi alarm dari kamar. Jika alarmnya sudah berbunyi, itu artinya, ia harus segera mandi dan bersiap pergi bekerja.
Lova menampar pipinya sendiri cukup keras, memaksanya agar tersadar dan kembali menjalani aktivitas seperti tak terjadi apapun sebelumnya. Meski dirinya tengah menjadi sandera, ia harus tetap hidup demi masa depannya. Ia tidak mau menyerah begitu saja, berpikir kematian adalah jalan keluar dari masalah yang dihadapinya.
Tak lama kemudian, Lova menyembulkan kepala dari celah pintu kamar mandi, melihat apakah Zegan berada di kamarnya atau tidak. Melihat kamarnya sepi tiada tanda kehidupan, Lova melangkah keluar dari kamar mandi.
Lova berjalan cepat menuju lemari, mengambil pakaian kerjanya lalu memakainya dengan terburu-buru sebelum Zegan kembali.
Tiba-tiba gerak tangan Lova terhenti saat mengancingkan kemejanya. Ia, mencium aroma lezat. Ia pun menoleh ke arah pintu kamar dan berpikir, apakah mungkin aroma masakan yang sepertinya lezat itu berasal dari dapurnya?
Aroma lezat kian menggelitik hidung Lova membuat rasa laparnya tergugah. Ia segera melanjutkan kegiatannya memakai pakaian kemudian berjalan keluar kamar mencari aroma lezat yang menggoda.
Lova berjalan seperti seorang pencuri, mengikuti aroma lezat yang seolah memanggil hingga akhirnya langkahnya pun terhenti di ambang pintu dapur.
Lova menutup mulut tak percaya apa yang ia lihat. Saat ini ia melihat Zegan tengah memasak. Entah apa yang dimasaknya tapi, aromanya begitu lezat hingga Lova terus menerus menelan ludah.
Sementara itu, meski menyadari keberadaan Lova, Zegan mengabaikannya. Ia melanjutkan membuat sarapan untuknya, hanya untuknya.
Tak lama, Zegan duduk di kursi meja makan setelah meletakkan sepiring omurice ke atas meja. Ia pun mulai menyantap sarapannya itu dengan tenang.
Lova masih berdiri di sisi pintu dapur dan sesekali mengintip. Untuk kesekian kalinya ia kembali menelan ludah terlebih saat melihat Zegan mengiris telur di atas nasi gorengnya. Telur itu tampak begitu creamy, lembut dan lezat.
Plak!
Lova kembali menampar pipinya hingga memerah. Sekarang bukan saatnya tergiur oleh masakan Zegan. Saat ini pria itu tengah menikmati sarapannya, kesempatan baginya untuk pergi tanpa perlu ada drama.
Zegan melirik ke arah pintu dapur saat melihat Lova tiba-tiba pergi setelah berdiri di sana seperti gelandangan kelaparan. Seakan tak peduli, Zegan melanjutkan sarapannya dengan tenang.
Tak lama setelahnya, Lova telah mengendarai mobilnya menuju tempatnya bekerja. Ia bekerja sebagai salah satu admin di sebuah perusahaan yang cukup besar.
Tiba-tiba Lova menghentikan mobilnya saat pikirannya bercabang. Bercabang antara melanjutkan perjalanan ke kantor atau, pergi ke kantor polisi untuk melaporkan Zegan. Jika ia ke kantor polisi, ia akan absen. Jika tetap pergi ke kantor, pria jahat itu akan terus berada di rumahnya.
Love menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Ia terus berpikir langkah apa yang harus dilakukannya sampai akhirnya ia mengambil satu keputusan. Bukan mengambil arah menuju tempatnya bekerja, ia mengambil arah berlawanan menuju kantor polisi.