Papa dan Mama saling pandang, lalu mata keduanya sama-sama melebar. "Yang benar?!" tanya keduanya begitu antusias. Aku mengangguk cepat. "Iya bener, lah, masa boong. Tinggal nunggu tes." Papa beranjak berdiri, menggeser kursi di sampingku, mendudukinya, lalu ia merangkul pundakku. Mama melakukan hal yang sama. Keduanya merangkulku lalu mencium pipiku dengan lembut. Aku tersenyum karenanya. Aku senang melihat keduanya bahagia setelah sebelumnya aku membuat mereka sakit hati karena ancamanku ingin bunuh diri jika gak dibolehin nikah dengan Om Angga. "Ini baru anaknya Papa." Papa kembali menciumku. Mama juga. "Berarti kalau aku gak daftar kuliah, aku bukan anaknya Papa, dong?" tanyaku sambil manyun. "Bukan anak Papa, tapi anaknya Mama," sahut Papa yang membuat Mama gantian manyun. "Gil