Bahtiar sudah menunggu begitu aku turun dari bus. Kami sempat berpelukan sesaat lalu adik lelaki ini menyalamiku. Mataku sudah pasti sembab, karena sepanjang perjalanan tadi aku terus menangis. Berat sekali rasanya meninggalkan anak-anak, tapi menurutku ini adalah keputusan terbaik. Pram tidak akan merecokiku lagi, karena aku pergi tanpa membawa anak-anaknya. Meski aku harus bersiap dengan kemungkinan terburuk, jika Satria dan Elok akan membenciku karena aku pergi tanpa berpamitan padanya. Bukan semata karena aku tega. Tetapi, jika aku berpamitan dan melihat mereka menangis di hadapanku, merengek memintaku jangan pergi. Langkahku tidak mungkin sampai di kota ini. “Biar aku bawakan, Teh.” Bahtiar mengambil alih tas berisi pakaian dari tanganku. Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah Ba